muamalah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum jual beli sistem dropship

Hukum Jual Beli Sistem Dropship Oleh Ustadz Qomar Suaidi hafizhahullah) DROPSHIP adalah sistem berjualan yang anda tidak perlu memiliki produk untuk dipasarkan, tetapi cukup mempromosikan lewat internet messenger, website, atau media sosial. Jika ada pemesanan, pembeli mentransfer uang ke rekening anda. Anda menghubungi dan mentransfer uang ke supplier untuk mengirimkan barang ke alamat pembeli anda. Ciri khas sistem Dropship adalah supplier akan mengirimkan paket dengan identitas pengirim atas nama anda. Seolah-olah memang anda yang berjualan dan memiliki barang. Dari penjelasan tentang sistem jual beli dropship di atas, sekilas kami melihat paling tidak ada 2 cacat dari sisi syariat. 1. PENJUAL BERPENAMPILAN SEOLAH-OLAH SEBAGAI PEMILIK BARANG Padahal dia bukan pemiliknya dan bahkan barang tersebut tidak bersamanya. Pembeli mengganggapnya sebagai pemilik barang. Transaksi terjadi atas nama pembeli dan penjual tersebut. Hal ini bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang penuh hikmah, وَلَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ "Jangan kamu jual sesuatu yang bukan milikmu." (HR Ahmad) Sabda nabi shallallahu alaihi wasallam ini jelas hikmahnya. Diantaranya untuk menghindari penyebab pertikaian antara penjual dan pembeli. Sebab, ketika seorang menjual barang yang bukan miliknya, bisa jadi barang tidak sesuai yang diinginkan, bahkan ditipu. Bagaimana ia mau menjual kepada orang lain? 2 BARANG LANGSUNG DIKIRIM OLEH PEMILIK BARANG ATAU SUPPLIER KEPADA PEMBELI, TANPA MELALUI PENJUAL. Padahal antara penjual dan pemilik barang hakikatnya juga terjadi transaksi jual beli. Pada kenyataannya, ada 2 transaksi. •Transaksi pertama adalah antara pemilik barang dan penjual. •Transaksi kedua adalah antara penjual dan pembeli. Dalam kondisi seperti ini, mestinya ketika membeli dari pemilik barang pertama atau produsen, penjual tidak boleh menjualnya lagi sampai dia menguasai terlebih dahulu barang tersebut. Diistilahkan dalam syariat dengan istilah QABDH. Setelah itu, boleh dia kirim ke pembeli. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: إِذَا ابْتَعْتَ طَعَامًا فَلَا تَبِعْهُ حَتَّى تَسْتَوْ فِيَهُ "Apabila kamu membeli makanan,  .jangan kamu menjualnya sampai kamu menguasainya." [HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu anhu] Walaupun hadits ini berbicara tentang membeli makanan, secara hukum dan hikmah berlaku pula pada barang lain. Hikmahnya jelas. Diantaranya: •Demi menjaga hak pembeli dan nama baik si penjual, •Menghilangkan sebab pertikaian, •Dan terhindar dari kerugian atau penipuan sehingga terjamin jual beli yang aman dan nyaman. •Penjual tetap terjaga nama baiknya karena dia menjual barang setelah diterima, diperiksa dan dipastikan kualitasnya. •Pembeli juga tidak rugi karena mendapat barang yang kualitasnya terjamin dan sesuai spesifikasi. Dengan 2 cacat pada transaksi dropship, penjualan dengan sistem tersebut TIDAK DIPERBOLEHKAN SOLUSI Usulan solusi, "Penjual" mestinya memposisikan dirinya sebagai WAKIL PRODUSEN. Dengan transparan, dia menampilkan dirinya sebagai wakil penjual, BUKAN pemilik barang. Dia menawarkan berbagai produk sebagai WAKIL PENJUAL atau WAKIL PEMBELI. Ketika ada pesanan, dia menghubungi pihak pemilik barang untuk mengirimkan ke pembeli. Dia dapat menyepakati KOMISI penjualan dengan pemilik barang. Dalam proses semacam ini, hanya ada SATU TRANSAKSI, yaitu antara pemilik barang dan pembeli. "Penjual" hanya sebagai wakil. Dengan demikian, barang dapat langsung dikirimkan kepada pembeli. Dia terlepas dari LARANGAN MENJUAL SESUATU YANG BUKAN MILIKNYA. Allahu a'lam. Dikutip dari MAJALAH ASYSYARIAH Edisi no.111/X/1437H-2015M hal 13-14. Rabu, 11 Rabi'ul Awal 1437 H / 23 Desember 2015 WA syarhus sunnah lin nisaa` Baca : Hukum Menjadi Makelar **** Disebarkan Oleh Happy Islam | Arsip Fawaid Salafy Join Channel Telegram telegram.me/happyislamcom
9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mendatangi undangan

Hukum Mendatangi Undangan  . Mayoritas (Jumhur) Ulama Berpendapat bahwa Undangan Walimatul Urs (Pernikahan) adalah Wajib, sedangkan Undangan lain adalah Mustahab (Sunnah). Namun, Wajibnya mendatangi Undangan itu Memiliki Syarat-Syarat : 1. Tidak ada Kemungkaran di tempat Pelaksanaan Undangan. Jika di tempat Undangan tersebut terdapat Kemungkaran, baik dalam Bentuk Kemaksiatan yang Jelas, atau lebih–lebih lagi Kebid’ahan dan Kesyirikan, maka Tidak Boleh Mendatangi Undangan tersebut, Kecuali jika ia bisa datang untuk Mengingkari Kemungkaran tersebut. 2.  Pihak Pengundang Bukanlah Orang yang Harus Dijauhi (Hajr) Pengundang Bukanlah Seorang Fasik atau Ahlul Bid’ah yang Perlu Dijauhi untuk Diberi Pelajaran. 3. Orang yang Mengundang adalah Muslim. Boleh juga Mendatangi Undangan Seorang Kafir jika Diharapkan ada Kebaikan, seperti ia bisa Dilunakkan Hatinya untuk Masuk Islam. Sebagaimana Rasulullah Shollallaahu Alaihi Wasallam pernah Memenuhi Undangan Makan dari Seorang Yahudi. 4. Makanan dan Minuman yang Dihidangkan Halal. 5.  Memenuhi Undangan tersebut Tidak Menyebabkan Meninggalkan Kewajiban Contoh: Undangan yang Bertepatan dengan Sholat Jumat. Bagi laki-laki Muslim yang tidak Musafir dan tidak Memiliki Udzur tidak boleh Mendatangi Undangan tersebut, karena bisa Meninggalkan Kewajiban Melaksanakan Sholat Jumat. 6. Tidak Menyulitkan/ Membahayakan Pihak yang Diundang. Contoh: Harus Safar dalam Mendatangi Undangan. 7. Undangan Disampaikan secara Khusus Jika diundang secara Khusus (orang per orang) maka Wajib Datang. Contoh: Diberi Undangan Tertulis dan Tertera Namanya dalam Undangan tersebut. Atau, Undangan secara Khusus dengan Ucapan: Anda Harus Datang, ya... Maka yang demikian Wajib Didatangi. api kalau Undangannya secara Umum, Tidak Wajib. Contoh: Seluruh Muslim yang ada di Kampung ini, Silahkan Datang Semua.  (Disarikan dari Penjelasan Syaikh Al-Utsaimin dalam alQoulul Mufiid dan Syarh Riyadis Sholihin) ===================== Dikutip dari Buku "Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat " Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Hafidzahullah  ✍ http://telegram.me/alistiqomah
9 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mlm (multi level marketing)

MLM (Multi Level Marketing) Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dengan orang lain. Bersama orang lain, terwujudlah saling memenuhi dan melengkapi hajat hidup mereka. Bekerjasama, tukar menukar, saling membutuhkan adalah sebagian kecil hikmah diciptakannya manusia dalam status yang bertingkat-tingkat. Ada yang miskin, ada yang kaya, kuat, lemah, pemimpin, dan rakyat biasa. Hubungan antar manusia pun bisa seimbang. Mereka bisa saling melengkapi satu dengan yang lain. Dengan hikmah-Nya pula Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka, syariah yang . kaffah  ini pun mengatur kaidah-kaidah dalam muamalah jual beli. Sehingga manusia bisa bermuamalah dalam asas saling menguntungkan. Pada dasarnya, bisnis dalam Islam termasuk muamalat yang hukum asalnya adalah boleh. Dalam kaidah Fiqih disebutkan,  ‘Al-Ashlu fil ‘adah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha.’ Maksudnya, asal hukum dalam adat (termasuk muamalah) adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya. Berdasarkan kaidah fiqih ini, perkembangan sistem dan budaya bisnis yang begitu cepat, bukanlah hal yang terlarang. Selama hal ini tidak mengabaikan prinsip dan kaidah syariah. Yaitu harus terbebas dari unsur  dharar  (memadharati atau menzhalimi),  jahalah  (ketidakjelasan),  maysir (judi atau untung-untungan),  gharar  (penipuan),  haram , dan  riba  (bunga). Intinya, barang yang diperjualbelikan harus halal, dan caranya pun halal. Di antara sistem bisnis yang berkembang cukup marak belakangan ini adalah MLM. MLM singkatan dari Multy Level Marketing yang bisa dibahasakan dengan sistem pemasaran berjenjang (Network Marketing). Karena begitu banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang ini, persaingan pun tidak dapat dihindari. Masing-masing menawarkan dan menjanjikan fasilitas serta bonus yang menggiurkan kepada konsumen yang sekaligus calon anggota (member). Tidak jarang pula di antara perusahaan ini yang memakai nama islami. Sehingga kaum muslimin banyak yang tersangkut dalam jaringan bisnis piramida ini. Lalu, bagaimanakah tinjauan sisi syariah tentang bisnis model MLM ini? Sebelum membahas lebih jauh, perlu disinggung bahwa secara sederhana, sistem pemasaran suatu produk dari suatu perusahaan ada dua cara: Yang pertama cara konvensional, sebagaimana yang biasa berlaku. Yaitu sampainya suatu produk kepada konsumen setelah melalui setidaknya 4 (empat) tahap; dari pabrik kepada distributor, kemudian kepada agen, lalu kepada grosir, setelahnya kepada pengecer atau toko, baru kepada konsumen. Yang kedua melalui sistem pemasaran berjenjang (Network Marketing) atau kita kenal dengan MLM (Multy Level Marketing). Inilah pembahasan kita. Di sistem ini seorang konsumen harus mampu merekrut konsumen (jaringan) di bawahnya (downline, yaitu jaringan kedua dan seterusnya). Dan ia (upline) akan menerima keuntungan (prosentase) dari setiap pembelanjaan downline tersebut. Semakin banyak jaringan (downline), maka semakin besar pula keuntungan yang akan diterima. Bila mampu mencapai titik tertentu sesuai persyaratan, ia akan menduduki suatu posisi dan akan menerima bonus yang telah ditentukan. Hukum muamalah seperti sistem ini telah diterangkan oleh komite fatwa ulama Saudi. Banyak pertanyaan yang masuk kepada  Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsil Ilmiah Wal Ifta’  seputar bisnis MLM ( At Taswiq Al Haramiy  atau  At Taswiq Asy Syabakiy ), seperti perusahaan MLM Baznas dan Hibatul Jazirah. Sistem penjualan perusahaan tersebut secara garis besar; seseorang yang membeli barang atau sebuah produk dipersyaratkan menjual produk tersebut kepada orang lain (downline). Kemudian masing-masing downline tersebut menawarkan kepada orang lain pula (membuat jaringan downline). Begitu seterusnya. Semakin banyak jaringan, upline (orang yang di atas) akan semakin meraup ribuan real (banyak mendapat keuntungan). Masing-masing anggota (member) mendapatkan keuntungan sesuai jaringan di bawahnya. Jumlah uang besar akan didapat apabila berhasil membuat jaringan yang besar. Ini dinamakan  At Taswiq Al Haramiy (penjualan berjenjang sistem paramida) atau  At Taswiq Asy Syabakiy  (penjualan berjenjang sistem jaringan) . Alhamdulillah, Al Lajnah menjawab soal di atas dengan jawaban berikut: Jenis muamalah ini hukumnya haram. Alasannya, karena tujuan sistem ini adalah uang semata (dari downline), bukan barang yang diperjualbelikan. Nilai keuntungan bisa mencapai angka yang fantastis (puluhan ribu real) padahal harga barang itu sendiri tidak lebih dari beberapa ratus real. Siapa saja, apabila ditawarakan antara dua hal ini; barang atau keuntungannya, pasti akan memilih keuntungan yang puluhan ribu real tersebut (tidak peduli dengan barangnya). Oleh sebab itu, sistem ini bertopang pada jaringan piramidanya. Dan promosi yang ditawarkan kepada calon member adalah keuntungan besar dengan keberhasilan membangun jaringan downline yang besar, keuntungan fantastis dari modal kecil (sebesar nilai produk saja). Barang yang dijualbelikan pun sekadar kedok atau alat untuk mendapat tumpukan real dan keuntungan (dzat barang tersebut tidak dibutuhkan oleh pembeli). Dari kenyataan sesungguhnya sistem muamalah ini, maka hukumnya haram secara syariah dari beberapa sisi: Pertama , sistem ini mengandung dua jenis riba sekaligus;  riba fadhl  dan  nasiah . (Dalam konteks sistem piramida ini, riba fadhl bisa kita definisikan sebagai; membeli uang dalam nominal besar dengan uang bernilai kecil. Adapun nasiah adalah membeli uang dengan uang tidak dengan kontan. Padahal, jual beli uang dengan uang pada mata uang yang sama disyaratkan harus saling kontan dan benilai sama. Kalau tidak terpenuhi dua syarat ini maka dihukumi riba,  red ). Dalam sistem ini, member membayar sejumlah kecil uang untuk mendapatkan uang nominal yang besar. Artinya membeli uang dengan uang dengan selisih nilai dan waktu. Inilah riba yang haram sesuai nash dalil dan ijma’ ulama. Adapun produk yang dijual tidak lebih sebagai kedok saja. Barang tersebut tidak dimaukan oleh anggota, sehingga tidak mempengaruhi hukum. kedua , sistem ini termasuk gharar yang haram menurut syariah. Karena member tidak tahu apakah berhasil membuat jaringan yang diinginkan atau tidak. Sedangkan MLM ini, bagaimanapun besar jaringan downlinenya, pasti ada ujungnya juga. Member tersebut tidak tahu apakah saat bergabungnya ia dalam sistem piramida ini akan mendapat downline yang besar sehingga akan beruntung, atau justru di tingkat terbawah sehingga rugi. Padahal pada kenyataannya, mayoritas member paramida ini rugi kecuali jumlah sedikit pada tingkat upline. Sehingga sebagian besarnya mengalami kerugian. Ini adalah hakikat penipuan, yang berkisar antara dua kemungkinan. Dan kemungkinan terbesarnya adalah kerugian. Sementara Nabi n telah melarang dari gharar sebagaimana riwayat  Muslim  dalam  Shahihnya . Ketiga , dalam sistem ini, (disadari atau tidak) mengandung unsur makan harta orang lain dengan cara yang batil. Dimana tidak ada yang mendapat manfaat dari akad semacam ini kecuali perusahaan saja. Dan setiap anggota yang mau membeli produk ini pun tujuannya adalah menipu anggota yang lain. Inilah yang tegas Allah l larang dalam firman-Nya yang artinya,  “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta orang lain di antara kalian dengan cara yang bathil.”  [ Q.S. An Nisa:29 ]. Empat , dalam muamalah ini terdapat penipuan, kecurangan, dan pengkaburan hakikat sesuatu kepada orang lain. Menampakkan seolah-olah menjual produk tertentu. Inilah yang dikesankan sebagai tujuan sistem ini. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu (namun sebaliknya). Sisi yang lain, penggambaran keuntungan berlipat yang seringnya tidak terwujud. Inilah penipuan yang haram. Rasulullah bersabda yang artinya,  “Siapa yang menipu, bukanlah dariku.”  [ H.R. Muslim dalam  Shahihnya ]. Beliau juga bersabda yang artinya,  “Dua yang terlibat jual beli masing-masing memiliki hak memilih (melanjutkan transaksi ataukah tidak) selama belum berpisah. Apabila jujur dan menjelaskan aib barangnya, maka akan diberkahi dalam jual beli tersebut. Namun, apabila masing-masing dusta dan menyembunyikan aib barangnya, akan dihapus barakah dari keduanya.” [ Muttafaqun’alaihi ]. Adapun yang beralasan bahwa muamalah ini termasuk jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen (samsarah atau makelar), maka hal ini tidak benar. Karena permakelaran adalah akad yang terjadi dengan pihak yang memperantarai terjadinya jaul beli dengan imbalan tertentu. Adapun MLM, member yang membayar untuk pemasaran suatu produk. Sebagaimana makelar maksudnya adalah penjualan barang, sementara MLM maksudnya adalah pembelian uang, bukan barangnya. Makanya MLM hanya menjual kepada orang yang akan menjual kepada orang yang akan menjualnya, dan seterusnya. Berbeda dengan permakelaran yang menjual kepada orang yang benar-benar membutuhkan barang tersebut. Perbedaan antara keduanya sangat jelas. Yang lain lagi menamakannya dengan hadiah. Ini pun tidak tepat. Seandainya dianggap sebagai hadiah, tidaklah semua hadiah itu boleh (halal) menurut syariah. Hadiah yang diberikan karena sebab telah meminjami uang dianggap sebagai riba (haram). Oleh sebab itulah Abdullah bin Sallam berkata kepada Abu Burdah, “Engkau berada di daerah yang riba tersebar luas. Apabila engkau memiliki hak yang harus ditunaikan oleh orang lain kepadamu (piutang), kemudian orang tersebut memberikan hadiah satu ikat pakan hewan, atau gandum, atau makanan pokok, maka itu adalah riba.” [ H.R. Al Bukhari  ]Sehingga hadiah itu mengambil hukum sebab adanya hadiah tersebut. Oleh sebab itu Rasulullah bersabda yang artinya,  “Tidakkah engkau duduk saja di rumah ayah atau ibumu, engkau tunggu apakah engkau akan mendapat hadiah atau tidak?” [ Muttafaqun’alaihi ]. Sedangkan hasil uang tersebut (yang dinamakan hadiah) didapat karena ikut dalam jaringan MLM. Maka nama apapun yang dipakai, hadiah atau hibah, atau yang lainnya tidaklah merubah hakikat dan hukumnya sedikitpun. Yang pantas disebutkan di sini pula, bahwa di sana ada beberapa perusahaan yang memakai sistem MLM ini. Seperti perusahaan Smarts Way, Gold Kuist, dan Sufun Diamond. Hukumnya sama persis dengan perusahaan MLM sebelumnya, walaupun produk yang dijual berbeda.  Wa billahit taufik wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam. [ Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyati Wal Ifta’  No 22935 Tanggal 14/3/1425 H ] . Demikian nukilan dari kamite tetap bidang riset ilmiyah dan fatwa Islam Kerajaan Saudi Arabia. Ada jenis MLM lain yang dipraktikkan dalam dunia bisnis. Yaitu MLM yang tidak menjual produk. Jenis ini biasa disebut money game atau permainan uang. Contoh: Pihak MLM menawarkan sebuah sepeda motor merk tertentu hanya dengan menyetor uang Rp. 2.000.000,- dengan syarat harus bisa menjaring sebanyak sepuluh orang yang masing-masing harus menyetorkan uang sebesar Rp. 2.000.000,- pula. Bila tidak, maka uang tersebut hangus. Demikian pula untuk tingkat downlinenya, masing-masing akan mendapatkan sepeda motor tersebut dengan menjaring sepuluh orang. Demikian seterusnya sampai tidak terbatas. Hukum jenis MLM ini haram, karena jelas ada unsur  dharar  (memadharati atau menzhalimi),  jahalah  (ketidakjelasan),  maysir  (judi atau untung-untungan), serta  gharar  (penipuan). Istilah jual beli dalam sistem ini sekadar polesan saja. Pada hakikatnya adalah memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Bentuk money game yang lain ditawarkan sebagai bentuk investasi. Calon anggota ditawarkan menanam modal usaha misalnya Rp 1.200.000,-. Bagi hasil dan bonus akan semakin besar dengan jaringan downline yang besar. Yang sesungguhnya, uang bagi hasil dan bonus itu diambil dari uang downline. Sementara usaha yang dijalankan adalah kamuflase semata. Atau tepatnya perangkap untuk menjebak calon member. Lebih parah dari ini semua, fenomena yang sangat memprihatinkan belum lama ini adalah munculnya selebaran yang dinisbatkan kepada seorang ‘Ustadz sedekah’ menggunakan sistem ini atas nama keajaiban sedekah untuk menjadi kaya mendadak bagi siapa saja yang menjadi anggota.  Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Pembaca, prinsip muamalah Islami adalah yang berorientasi kepada kemashlahatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat. Orientasi ini menjadi pertimbangan mendasar bagi setiap muamalah yang terjadi. Untuk itulah kaidah syariah begitu ketat menetapkan ketentuannya. Maka kaum muslimin hendaknya mempertimbangkan kaidah-kaidah tersebut dalam kegiatan ekonominya agar berbarakah di dunia dan akhirat.  Wallaahu A’lam Bish Shawaab.  [ Farhan ] Sumber : http://tashfiyah.com/mlm-multi-level-marketing/
9 tahun yang lalu
baca 12 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kondisi darurat bangkai bisa halal, tapi riba, tidak !

AWAS BAHAYA RIBA.. KONDISI DARURAT BANGKAI BISA JADI HALAL, TAPI "RIBA".. TIDAK Pertanyaan : Bolehkah bagiku untuk meminjam pinjaman dari bank ribawi untuk membeli rumah ? Berilah kami faedah, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Dijawab oleh Asy Syaikh Rabi' bin Hady Al Madkhaly hafizhahullah :  . Seandainya saja kamu membutuhkan sepotong roti untuk dimakan demi menyelamatkan dirimu dari kematian maka JANGAN mengambil sedikitpun dari bank, APALAGI untuk membangun rumah atau membeli mobil. Allah menghalalkan untukmu bangkai, daging babi, hewan yang dipukul, hewan yang jatuh, Allah MENGHALALKAN untukmu pada kondisi darurat. Dan Allah TIDAK MENGHALALKAN riba untukmu. Riba SANGAT BERBAHAYA, sangat berbahaya. Maka JANGANLAH bermu'amalah dengan riba, dan BERSABARLAH. Karena sesungguhnya Allah berfirman : وَمَنْ يَّـتَّـقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ "Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya,dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." [QS. Ath-Thalaq: 2-3] Riba itu dosa besar dan perkara yang berbahaya, orang yang menghalalkannya dia dikafirkan. Apabila kamu membutuhkan sebuah rumah maka bersabarlah hingga Allah memberimu rizki. Pasrahkanlah kepada Allah dan lakukanlah sebab (usaha) sampai Allah siapkan untukmu sebuah rumah. Jika tidak (tercapai) maka kamu akan meninggal dalam keadaan SELAMAT DARI PEPERANGAN ALLAH. Karena pelaku riba itu orang yang memerangi Allah -wal'iyadzu billah- sebagaimana Allah 'Azza waJalla berfirman : فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَـكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْ ۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ "Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)." [QS. Al-Baqarah: 279] Allah mengumumkan perang kepada pelaku riba. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, wakilnya, pencatatnya, dan dua saksinya. Apa yang kamu inginkan setelah adanya laknat ini..? Apakah sebuah rumah itu bisa memberimu manfaat, sementara di hadapanmu neraka Jahannam..? Seorang mukmin hendaknya bertakwa kepada Allah dan bersabar atas kefaqirannya dan kebutuhannya, karena sesungguhnya Allah berfirman : وَلَـنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَـوْفِ وَالْجُـوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِ ؕ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ۙ "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar," [QS. Al-Baqarah:155] Bersabarlah niscaya Allah akan memberimu balasan pahala besar ini, sebagai ganti atas dihadapkannya dirimu dengan laknat Allah, murka-Nya, kemarahan-Nya dan siksa-Nya. Tanggunglah beban berat ini di dunia, dan itu tidak ada apa-apanya dibanding kemurkaan Allah dan siksa-Nya. Kita memohon kepada Allah agar mencukupi kita dengan keutamaan dan karunia-Nya dari segala yang membuat-Nya marah dan murka. Sesungguhnya Rabb kita Maha Mendengar Do'a. Semoga shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. [ Mausu'ah Muallafat wa Rasail wa Fatawa Asy Syaikh Rabi' Al Madkhaly (1/134-135) ] ~~~~~~~~~~~~~~~~~ ✏Alih Bahasa » Abu Salim ibnu Shalih Al Jawy Sumber : Al-Itifadhah **** Disebarkan Oleh Happy Islam | Arsip Fawaid Salafy Join Channel Telegram telegram.me/happyislamcom
9 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

silsilah fiqih jual beli

Silsilah Fiqih Mu'amalah Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan: 1. Masalah Pertama: Definisi jual-beli dan hukumnya: A. Definisinya: Jual-beli secara bahasa: mengambil sesuatu, dan memberi sesuatu. Secara istilah: tukar menukar harta dengan harta sekalipun dalam bentuk jaminan atau manfaat yang mubah untuk selamanya, tanpa ada unsur riba maupun pinjaman. B. Hukumnya: Jual-beli adalah boleh. Berdasarkan firman Alloh Ta'ala: وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ .. سورة البقرة 275 "Dan Allah menghalalkan jual-beli" [Qs. Al-Baqoroh: 275] Dan berdasarkan apa yang diriwayatkan Ibnu Umar rodhiallohu 'anhuma, bahwa rasulullah -shollallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا "Jika dua orang melakukan jual beli maka masing-masingnya punya hak khiyar (pilihan) atas jual belinya selama keduanya belum berpisah dan keduanya sepakat". (Muttafaq 'alaihi: diriwayatkan oleh Bukhari pada nomer (2112), dan Muslim pada nomer (1531).) Dan kaum muslimin sepakat atas bolehnya jual-beli secara garis besarnya. Dan hajat manusia mendorong kepada adanya jual-beli. karena setiap insan membutuhkan kepada apa yang ada di tangan orang lain, dan berkaitan dengannya kemaslahatannya, dan tidak ada media baginya untuk sampai kepada hal itu dan untuk mendapatkannya dengan jalan yang shahih, kecuali dengan jual-beli, maka hikmah itulah yang mengharuskan bolehnya jual-beli, dan disyariatkannya jual-beli; untuk dapat mencapai kepada tujuan yang diinginkan. -------------------- Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1/ hlm. 211] Alih Bahasa: Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh حفظه الله 〰 Teks Arabic 〰 الباب الأول: في البيوع، وفيه مسائل: المسألة الأولى: تعريف البيع وحكمه: أ- تعريفه: البيع في اللغة: أخذ شيء، وإعطاء شيء. وفي الشرع: مبادلة مال بمال ولو في الذمة، أو منفعة مباحة على التأبيد، غير ربا وقرض. ب- حكمه: البيع جائز. لقوله تعالى (وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ) [البقرة: 275]. ولما روى ابن عمر رضي الله عنهما، أن رسول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قال: (إذا تبايع الرجلان فكل واحدٍ منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعاً) (1). وأجمع المسلمون على جواز البيع في الجملة. وحاجة الناس داعية إلى وجوده؛ لأن الإنسان يحتاج إلى ما في يد غيره، وتتعلق به مصلحته، ولا وسيلة له إلى الوصول إليه وتحصيله بطريق صحيح، إلا بالبيع، فاقتضت الحكمة جوازه، ومشروعيته؛ للوصول إلى الغرض المطلوب. ---------------- 1 متفق عليه: رواه البخاري برقم 2112، ومسلم برقم 1531. الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة [جزء 1 / صفحة 211] http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230 Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan: Masalah Kedua: Rukun-rukun jual-beli: Rukunnya ada 3: ■ 'Aqid (orang yang melakukan akad jual-beli), ■ Ma'qud 'alaih (barang yang diperjualbelikan) dan ■ Shighoh (ungkapan jual-beli). Maka "Al-'Aqid" mencakup penjual dan pembeli, sedangkan "Al-Ma'qud 'alaih" adalah barang dagangan, sedangkan "As-Shighoh" yaitu ijab-kabul. Dan ijab (maknanya): lafazh yang muncul dari penjual, seperti mengatakan: aku jual. Sedangkan kabul (ialah): lafazh yang muncul dari pembeli, seperti mengatakan: aku beli. Dan inilah yang dinamakan dengan "As-shighoh Al-Qouliyyah" Adapun "As-Shighoh Al-Fi'liyyah" yaitu serah terima, yaitu mengambil dan memberikan, seperti seorang pembeli memberikan senilai barang dagangan kepada penjual, kemudian barang dagangan tersebut diberikan kepada pembeli tanpa ada ucapan. Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1/ hlm. 211-212] Alih Bahasa: Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh حفظه الله 〰 Teks Arabic 〰 المسألة الثانية: أركان البيع: أركانه ثلاثة: عاقد، ومعقود عليه، وصيغة. فالعاقد يشمل البائع والمشتري، والمعقود عليه المبيع، والصيغة هي الإيجاب والقبول. والإيجاب: اللفظ الصادر من البائع، كأن يقول: بعتُ. والقبول: اللفظ الصادر من المشتري، كأن يقول: اشتريتُ. وهذه هي الصيغة القولية. أما الصيغة الفعلية فهي المعاطاة، وهي الأخذ والإعطاء، كأن يدفع المشتري ثمن السلعة إلى البائع، فيعطيه إياها بدون قول. الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة [جزء 1 / صفحة 211-212] http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230 Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan: Masalah Ketiga: Persaksian atas jual-beli: Persaksian atas jual-beli adalah mustahab (dianjurkan) dan bukan wajib, berdasarkan firman Allah Ta'ala: وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ  ..سورة البقرة 282 "Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli". [Qs. Al-Baqoroh: 282] Maka Allah ta'ala perintahkan dengan persaksian ketika jual-beli, hanya saja perintah ini untuk suatu anjuran, dengan dalil firman Allah ta'ala: فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ .. سورة البقرة 283 "Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutang)". [Qs. Al-Baqoroh: 283] Maka (ayat tersebut) menunjukkan bahwa perintah hanyalah merupakan perintah berupa pengarahan; untuk memberikan kepercayaan dan kemaslahatan. Dan dari 'Ammaroh bin Khuzaimah, bahwa pamannya -dan dia termasuk sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli seekor kuda dari seorang Arab dusun, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meminta kepada Arab dusun tersebut untuk mengikutinya sehingga beliau bisa membayar kuda yang dibelinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berjalan cepat sementara orang Arab dusun tersebut berjalan lambat. Setelah itu orang-orang datang kepada Arab dusun itu dan menawar kudanya, dan mereka tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah membelinya. (1) dan makna: يسومونه yaitu meminta untuk bisa dibeli darinya. Dan sisi pendalilannya ialah bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah membeli seekor kuda dari seorang Arab dusun, dan antara keduanya belum ada kejelasan (bukti), dan kalau sekiranya wajib dalam jual-beli tentulah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tidak akan membeli kecuali setelah ada saksi. Dan adalah para sahabat rodhiallohu 'anhum mereka saling berjual-beli di zaman Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam di pasar-pasar, dan tidak pernah terpikirkan dari mereka perbuatannya. Dan dikarenakan jual-beli termasuk perkara banyak terjadi dikalangan orang-orang di Pasar dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan kalau sekiranya mereka bersaksi atas segala sesuatunya, karena akan menghantarkan kepada beban dan kesulitan. Akan tetapi apabila barang dagangannya termasuk dari transaksi yang besar yang pembayarannya secara tempo, yang memang membutuhkan kepada penguat (bukti), maka seharusnya hal itu ditulis, dan dipersaksikan; untuk dapat merujuk kepada surat kesepakatan bersama apabila terjadi perselisihan diantara kedua pihak. ----------------- (1) HR. Ahmad (5/215), dan Abu Dawud dengan nomer (3607), Nasaai (7/301), dan dishahihkan oleh syaikh Albani (Shahih Sunan Nasaai no. 4332. Al-Fiqh Al-Muyassar (juz.1 / hlm: 212) Alih Bahasa: Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh حفظه الله 〰 Teks Arabic 〰 المسألة الثالثة: الإشهاد على البيع: الإشهاد على البيع مستحب وليس بواجب، لقوله تعالى: وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ.. البقرة: 282، فأمر الله تعالى بالإشهاد عند البيع، غير أن هذا الأمر للاستحباب، بدليل قوله تعالى: فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.. البقرة: 283، فدلَّ على أن الأمر إنما هو أمر إرشادٍ؛ للتوثيق والمصلحة. وعن عمارة بن خزيمة، أن عمّه حدَّثه -وهو من أصحاب النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أنه عليه الصلاة والسلام ابتاع فرساً من أعرابي، واستتبعه ليقبض ثمن فرسِه، فأسرع النبيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وأبطأ الأعرابي، وطفق الرجال يتعرضون للأعرابي فَيَسُومُونَه بالفرس، وهم لا يشعرون أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ابتاعه. 1 ومعنى "يسومونه": يطلبون شراءه منه. ووجه الدلالة: أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اشترى الفرس من الأعرابي، ولم يكن بينهما بَيِّنة، ولو كانت واجبة في البيع لم يشتر النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إلا بعد الإشهاد. وكان الصحابة رضي الله عنهم يتبايعون في عصره - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - في الأسواق، ولم يُنقل عنه أنه أمرهم بالإشهاد، ولا نُقِل عنهم فعله. ولأن الشراء والبيع من الأمور التي تكثر بين الناس في الأسواق في حياتهم اليومية، فلو أشهدوا على كل شيء، لأدَّى إلى الحرج والمشقة. لكن إن كان المعقود عليه من الصفقات الكبيرة المؤجلة الثمن، مما يحتاج إلى توثيق، فينبغي كتابة ذلك، والإشهاد عليه؛ للرجوع إلى الوثيقة إذا وقع خلاف بين الطرفين. ---------------- 1 رواه أحمد 5/ 215، وأبو داود برقم 3607، والنسائي 7/ 301، وصححه الشيخ الألباني صحيح سنن النسائي برقم 4332. الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة جزء 1 / صفحة 212 &127758; http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230 Masalah Keempat: Pilihan Dalam Jual-beli: Pilihan (Khiyar): yaitu bagi setiap masing-masing dari penjual dan pembeli memiliki hak dalam melangsungkan akad jual-beli atau membatalkannya. Maka hukum asal dalam akad jual-beli adalah lazim (harus ditunaikan), bilamana terjadi nya akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, dan tidak berhak bagi siapa pun dari kedua belah pihak yang membuat akad untuk menarik kembali darinya. Hanya saja agama islam adalah agama yang murah hati dan mudah, yang menjaga kemaslahatan dan keuntungan bagi setiap individunya. Dan diantaranya ialah bahwa seorang muslim apabila dia membeli sebuah barang atau menjualnya oleh karena sebab tertentu, kemudian dia menyesal atas pembeliannya itu, maka syariat telah membolehkan baginya untuk memilih (khiyar) hingga dia memutuskan perkaranya, dan melihat kepada kemaslahatannya, sehingga dia melanjutkan jual-belinya atau mengembalikannya, berdasarkan apa yang dia lihat sesuai baginya. Pembagian pilihan (khiyar): Khiyar terbagi beberapa bagian, paling pentingnya: PERTAMA: Khiyarul Majlis: yaitu tempat terjadinya jual-beli, sehingga bagi setiap masing-masing dari pelaku transaksi memiliki pilihan (khiyar) selama keduanya masih dalam majelis akad (jual-beli) dan keduanya belum berpisah dari majelis tersebut; berdasarkan hadits Ibnu 'Umar rodhiallohu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا "Dua orang yang melakukan akad jual-beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah". [1] KEDUA: Khiyar As-Syarth: yaitu kedua pelaku jual beli membuat persyaratan (kesepakatan), atau salah satu dari keduanya melakukan khiyar hingga waktu yang sudah ditentukan, untuk melangsungkan akad atau membatalkannya, maka apabila masa yang telah ditentukan habis antara keduanya yang dimulai dari permulaan akad, dan dia tidak melakukan pembatalan maka jadilah (jual beli tersebut) harus ditunaikan. Contohnya: seseorang membeli dari orang lain sebuah mobil, pembeli mengatakan: "saya melakukan khiyar hingga satu bulan penuh, maka jika dia mengembalikan barang dari pembelian ditengah-tengah bulan tersebut maka boleh baginya untuk membatalkan, dan jika tidak maka wajib baginya untuk membeli mobil tersebut hanya dengan habisnya batas waktu satu bulan. KETIGA: Khiyarul 'Aib, yaitu yang dibenarkan bagi pembeli apabila dia temukan sebuah cacat pada barang dagangan, yang tidak diberitahukan oleh penjual, atau yang tidak diketahui oleh penjual dari barangnya, dan dengan sebab cacat ini menjadikan nilai jual barang tersebut menjadi berkurang, dan dikembalikan pengetahuan akan hal cacat tersebut kepada para ahli dari para pedagang yang kompeten, maka apabila para ahli menilainya hal itu sebuah cacat maka dibolehkan bagi pembeli melakukan khiyar, dan jika tidak maka tidak boleh melakukan khiyar. Dan khiyar ini dibenarkan bagi pembeli, maka jika dia ingin dia boleh melanjutkan jual belinya, dan mengambil kompensasi dari cacat tersebut, yaitu berupa perbedaan antara harga barang yang bagus dengan nilai harga barangnya yaitu yang cacat, dan jika dia mau maka boleh dia kembalikan barangnya, dan dikembalikan uang yang sudah dia berikan kepada penjual. KEEMPAT: Khiyar At-Tadlis, yaitu penjual melakukan tadlis (pengkaburan) kepada pembeli yang menyebabkan bertambahnya nilai harga, dan perbuatan ini HARAM; berdasarkan sabda beliau ﷺ : من غَشَّنا فليس مِنَّا "Barangsiapa yang menipu kami maka bukan bagian dari kami". [2] Contohnya: dia memiliki sebuah mobil, pada mobil tersebut terdapat cacat yang banyak di dalamnya, kemudian dia sengaja menampilkannya dengan warna yang cantik, dan jadilah penampilan luarnya mengkilat hingga pembeli tertipu bahwasanya mobil tersebut bagus sehingga membelinya. Maka dalam keadaan demikian bagi pembeli memiliki hak untuk mengembalikan barang tersebut kepada penjual dan meminta kembali uangnya. __________ [1] Muttafaq 'alaih: HR. Bukhari no. (2110), dan Muslim no. (1532). [2] HR. Muslim no. (101). Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1 / hlm. 213-214] Alih Bahasa: Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh حفظه الله 〰 Teks Arabic 〰 المسألة الرابعة: الخيار في البيع: الخيار: أن يكون لكل من البائع والمشتري الحقُّ في إمضاء عقد البيع، أو فسخه. فالأصل في عقد البيع أن يكون لازماً، متى انعقد مستوفياً أركانه وشروطه، ولا يحق لأي من المتعاقدين الرجوع عنه. إلا أنَّ الدين الإسلامي دينُ السماحة واليسر، يراعي المصالح والظروفَ لجميع أفراده. ومن ذلك أنَّ المسلم إذا اشترى سلعة أو باعها لسبب ما، ثم ندم على ذلك، فقد أباح له الشرع الخيار حتى يفكر في أمره، وينظر في مصلحته، فيقدم على البيع أو يتراجع عنه، على ما يراه مناسباً له. أقسام الخيار: للخيار أقسام، أهمها: أولاً: خيار المجلس: وهو المكان الذي يجري فيه التبايع، فيكون لكل واحدٍ من العاقدين الخيار ما داما في مجلس العقد ولم يتفرقا منه؛ لحديث ابن عمر رضي الله عنهما، أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قال: (البيعان بالخيار ما لم يتفرقا) (1). ثانياً: خيار الشرط: وهو أن يشترط المتعاقدان، أو أحدهما الخيار إلى مدة معلومة، لإمضاء العقد أو فسخه، فإذا انتهت المدة المحددة بينهما من بداية العقد، ولم يُفسخ صار لازماً. مثاله: أن يشتري رجل من آخر سيارة، ويقول المشتري: لي الخيار مدة شهر كامل، فإن تراجع عن الشراء خلال الشهر فله ذلك، وإلا لزمه شراء السيارة بمجرد انتهاء الشهر. ثالثاً: خيار العيب، وهو الذي يَثْبُت للمشتري إذا وجد عيباً في السلعة، لم يخبره به البائع، أو لم يَعْلم البائعُ به، وتنقص بسبب هذا العيب قيمة السلعة، ويُرجع في معرفة ذلك إلى أهل الخبرة من التجار المعتبرين، فما عدّوه عيباً ثبت به الخيار، وإلا فلا. ويثبت هذا الخيار للمشتري، فإن شاء أمضى البيع، وأخذ عِوض العيب، وهو الفرق بين قيمة السلعة صحيحة وقيمتها وهي معيبة، وإن شاء ردَّ السلعة، واسترد الثمن الذي دفعه إلى البائع. رابعاً: خيار التدليس، وهو: أن يدلس البائع على المشتري ما يزيد به الثمن، وهذا الفعل محرم؛ لقوله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (من غَشَّنا فليس منَّا) (2). مثاله: أن يكون عنده سيارة، فيها عيوبٌ كثيرة في داخلها، فيعمد إلى إظهارها بلون جميل، ويجعل مظهرها الخارجي براقاً حتى يخدع المشتري بأنها سليمة فيشتريها. ففي هذه الحالة يكون للمشتري الحق في رد السلعة على البائع واسترجاع الثمن. ---------------- 1 متفق عليه: رواه البخاري برقم 2110، ومسلم برقم 1532. 2 رواه مسلم برقم 101. الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة جزء 1 / صفحة 213-214 http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230 WA Salafy Kendari &128225;
9 tahun yang lalu
baca 13 menit