Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

agar bahtera selamat sampai tujuan (bagian 1)

12 tahun yang lalu
baca 9 menit
Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan (bagian 1)

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Ishaq al-Atsariyah)

Rumah tangga yang dibina bisa saja kandas di tengah jalan apabila suami istri tidak pandai mengantisipasi problem yang muncul menghadang perjalanannya.

Karena problem pasti akan datang, tinggal setiap pihak perlu tahu perkara apa saja yang dapat memicunya, yang dapat merusak hubungan keduanya, dan bagaimana sikap yang tepat saat ada masalah.

Membanding-bandingkan keadaan diri atau pasangan hidup dengan orang lain termasuk sebab terbesar yang merusak kehidupan rumah tangga. Bisa jadi, sikap ini datang dari pihak suami. Tergambar pada dirinya sosok wanita lain yang punya kelebihan yang tidak didapatkan pada istrinya. Padahal apabila ia melihat hakikatnya, bisa jadi ia dapati istrinya memiliki sifat-sifat yang puluhan wanita tidak mampu memilikinya. Akan tetapi, memang jiwa itu selalu berhasrat untuk beroleh sesuatu yang jauh, yang dalam anggapannya terkumpul pelbagai sifat kebagusan yang tidak ada pada apa yang telah dimilikinya. Ibarat rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri. Kenyataannya, tidak lain hanya fatamorgana.

Sikap membandingkan bisa pula datang dari pihak istri, di mana ia membandingkan hidupnya dengan kehidupan wanita lain. Membandingkan suaminya dengan suami orang lain.

“Fulanah bisa begini, bisa begitu…. Diberi ini dan itu oleh suaminya…. Sementara aku…?”

Terus-menerus kalimat seperti itu ia ulang-ulang di depan suaminya hingga suaminya jengkel.

Orang Arab mengatakan, “Bagi lelaki yang ingin menikah, hendaklah ia tidak memilih tipe wanita; annanah, hannanah, dan mannanah.”

Annanah adalah wanita yang banyak menggerutu dan berkeluh kesah, setiap saat dan setiap waktu, dengan atau tanpa sebab.

Hannanah adalah wanita yang banyak menuntut kepada suaminya, ia tidak ridha apabila diberi sedikit. Ia suka membandingkan suaminya dengan lelaki lain.

Mannanah adalah wanita yang suka mengungkit-ungkit apa yang dilakukannya terhadap suaminya. Misal dengan mengatakan, “Aku telah lakukan ini dan itu karena kamu….”

Betapa banyak perbuatan membanding-bandingkan tersebut merobohkan bangunan rumah tangga. Seorang muslim semestinya ridha dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuknya. Hendaklah ia percaya bahwa siapa yang membanding-bandingkan keadaannya dengan orang lain, niscaya ia akan menganggap kurang apa yang ada padanya. Karena, kesempurnaan itu sesuatu yang sulit diperoleh. Orang yang suka membanding-bandingkan keadaannya dengan orang yang di atasnya, ia tidak bisa mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepadanya. Padahal sebenarnya masih banyak orang yang keadaannya berada jauh di bawahnya, yang karenanya ia patut memuji Allah Subhanahu wa ta’ala atas karunia-Nya.

Pokok masalah sekarang bukanlah banyaknya harta yang dimiliki, bisa melancong dari satu tempat ke tempat lain, pakaian-pakaian yang indah, perabot-perabot yang mewah, dan semisalnya. Akan tetapi, masalahnya adalah kelapangan jiwa menerima pembagian Allah Subhanahu wa ta’ala serta sebuah rumah yang tegak di atas cinta dan kasih sayang. Apabila semua itu sudah terkumpul, apa lagi yang diinginkan? Mengapa harus menyibukkan diri mengamati keadaan orang lain hingga mengundang kesedihan dan kegundahgulanaan jiwa?

 

Menyembunyikan Masalah dari Orang Lain

Andai terjadi “keributan” di antara suami istri, seorang yang cerdas adalah yang menjadikan problemnya sebagai sesuatu yang disimpan dan dirahasiakan dari orang lain. Ia tidak akan menampakkannya. Hal ini karena problem di antara suami istri sebenarnya pemecahannya mudah. Namun, apabila sampai keluar, semua orang akan “mengulurkan timbanya”, hingga rusaklah cinta dan jauhlah yang semula dekat serta bercerai-berailah keutuhan.

Karena itulah, hendaknya perkara ini menjadi pegangan yang disepakati di awal perjumpaan suami istri, yaitu apabila di kemudian hari sampai terjadi perselisihan di antara keduanya, hendaknya tidak ditampakkan kepada seorang pun, siapa pun dia. Hal ini karena jika sebagian orang ikut campur dalam masalah keduanya, justru lebih merusak daripada memperbaiki, walaupun itu kerabat istri sendiri. Bisa jadi, ia melakukannya karena dorongan semangat membela keluarga.

Adabeberapa hal yang biasa dilakukan oleh sebagian orang, yaitu merusak hubungan istri dengan suaminya. Perbuatan ini termasuk dosa besar. Oleh karena itu, seorang muslim harus berhati-hati agar tidak menjadi orang yang bersifat demikian sehingga ia berhadapan dengan ancaman yang keras. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Siapa yang merusak seorang wanita dari suaminya, ia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad 2/397, sanadnya sahih sebagaimana dinyatakan demikian dalam ash-Shahihah no. 324)

Betapa banyak masalah yang kecil di antara suami istri menjadi besar karena adanya sebagian orang yang terus-menerus “meniup api”. Seorang wanita datang dan berkata kepada si istri, “Kamu jangan mau mengalah… Kamu jangan mau dibodoh-bodohi…. Minta dong ini dan itu sama suamimu! Masa hidupmu begini begini saja?”

Demikianlah, kalimat-kalimat ini akan merusak dan mengguncang ketenteraman rumah tangga.

Terkadang yang turut andil merobohkan rumah tangga adalah ibu atau saudara perempuan istri. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya tidak lemah akalnya sehingga menghancurkan rumah tangganya karena ucapan orang-orang, yang terkadang mereka berbuat demikian karena hasad terhadap kehidupannya.

Kemudian, perlu disadari bahwa menampakkan perselisihan yang ada di antara suami istri kepada orang lain termasuk hal yang menjatuhkan kewibawaan suami istri di hadapan orang lain dan di depan anak-anak. Maka dari itu, suami istri tidak baik bertengkar atau adu mulut dalam sebuah masalah di depan anak-anak. Hal ini termasuk yang menjatuhkan kepribadiannya di mata anak-anak dan akan bermudarat karena membuat cacat bagi tarbiyah mereka. Setiap pihak harus menjaga agar kehormatan pasangannya tidak jatuh di depan anak-anak. Apabila anak-anak tidak lagi segan kepada ayah atau ibunya, lantas bagaimana bisa tarbiyah mereka akan berhasil di saat pihak yang disegani anak sedang bepergian (tidak di rumah)1?

 

Muamalah di Antara Keduanya

Suami istri janganlah jual mahal untuk memaafkan pasangannya ketika salah satunya meminta maaf dan meminta keridhaan. Seorang istri tidak boleh bersikap angkuh dan tinggi hati untuk mengakui kesalahannya di depan suaminya. Seorang suami pun tidak boleh kaku dan keras hati. Apabila istri sudah mengakui kesalahannya, hendaklah berlapang dada, selama masalahnya tidak mencacati agama dan akhlak. Demikian pula ketika suami bersalah, dia tidak boleh merasa gengsi untuk meminta maaf.

Namun, perlu diketahui, apabila seorang istri buruk akhlaknya, seorang suami hendaknya tidak menahannya dalam ikatan pernikahan, karena perempuan seperti itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda,

ثَلاَثَةٌ يَدْعُوْنَ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا….

“Tiga golongan yang apabila berdoa maka Allah tidak akan mengabulkan doa mereka, (di antaranya) seorang lelaki yang memiliki istri berakhlak buruk, namun ia tidak mau menceraikannya….” (HR. al-Hakim 2/302, sanadnya sahih secara zahir, kata al-Imam Albani Rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 1805) 2

Seorang istri hendaknya menyadari bahwa berkhidmat kepada suami adalah sesuatu yang tidak boleh dilalaikannya. Karena itulah, seorang istri harus menunaikan pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan di rumah suaminya.

Ia tunduk kepada suaminya, tidak boleh mengangkat diri di hadapannya. Jangan ia menafsirkan perintah suami kepadanya sebagai penghinaan terhadapnya. Bisa jadi, si suami memerintahkannya melakukan sesuatu dalam rumahnya, apa pun bentuknya, selama tidak bertentangan dengan agama atau mencacati akhlak, ini termasuk dalam keumuman haknya terhadap istri. Oleh karena itu, janganlah si istri merasa congkak untuk mematuhinya dan menafsirkannya sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya.

Penting untuk diketahui bahwa kehidupan suami istri tidak bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan apabila keduanya bersikap keras. Salah satunya harus ada yang lunak/lembut. Tentu, tidak diragukan bahwa itu adalah istri! Kehidupan suami istri tidak bisa berjalan baik melainkan dengan seorang suami yang kuat dan seorang istri yang tahu bahwa ia wanita yang lemah. Itulah sebabnya lelaki dijadikan sebagai qawwam bagi wanita, karena lelaki kuat dan wanita lemah. Pihak yang lemah butuh sandaran yang kuat, tempat ia berlindung dan bertumpu di kala sulit. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

 “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, wanita yang salehah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka….” (an-Nisa: 34)

Jangan sampai seorang istri senang apabila suaminya lemah, tidak bisa menegakkan urusan istrinya, dan tidak dapat mengayomi istrinya. Inilah fitrah. Lantas, mengapa ada saja orang yang lari dan merasa sombong untuk mengakuinya? Padahal keberadaan lelaki sebagai pihak yang kuat tidak berarti ia bersifat zalim. Kuatnya kepribadian tidaklah sama dengan kezaliman dan kekakuan.

Istri salehah adalah yang tahu besarnya kadar suaminya dan besarnya hak suami terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia tidak henti-hentinya mencurahkan upaya guna memberikan kelapangan dan kebahagiaan bagi suaminya.

Renungkanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

 لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا

 “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.” (HR. Ahmad 4/381, dinyatakan sahih dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998 dan ash-Shahihah no. 3366)

 Demikian pula sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلُحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إَلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ

 “Tidak pantas seorang manusia sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada yang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya haknya suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya pada telapak kaki suaminya sampai ke belahan rambutnya ada luka yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadapi luka-luka tersebut lalu menjilatinya, niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.” (HR. Ahmad 3/159, dinyatakan sahih oleh al-Haitsami 4/9, al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu’aim dalam ad-Dala’il no. 137. Lihat catatan kaki Musnad al-Imam Ahmad 10/513, cet. Darul Hadits, Kairo)

 Hadits ini adalah keterangan yang paling agung tentang besarnya hak suami terhadap istrinya. Yang mengherankan adalah apabila ada istri yang melewati dalil ini, namun ia tidak berhenti di hadapannya dengan merenungkannya dan merasa takut apabila tidak mengamalkan tuntutannya!

 Wajib bagi istri membaguskan pergaulannya dengan suaminya. Ia menjaga rahasianya. Ia menjaga hartanya karena ia diamanati oleh suaminya. Janganlah ia membuka penutup tubuhnya (hijabnya) di hadapan lelaki selain suaminya. Ia mendidik anak-anaknya agar hormat terhadap ayah mereka. Janganlah ia bersifat kaku. Apabila suaminya membantunya dalam pekerjaannya atau memberinya hadiah misalnya, hendaklah ia mensyukuri apa yang dilakukan oleh suaminya. Ia puji suaminya dengan kebaikan dan jangan ia cela apa yang diberikan oleh suaminya. Jangan menganggap jelek apa yang dilakukan oleh suami untuknya dan anak-anaknya. Selain itu, wajib bagi istri mencari sisi-sisi yang mengundang ridha suami, lalu ia bersegera melakukannya.

 (insya Allah bersambung)

 Sumber : http://asysyariah.com