Biografi

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi lubabah al kubra bintu al harits, ummu fadhl

Dari Keluarga Mulia Melahirkan Orang-orang Mulia . Biografi Lubabah Al Kubra bintu Al Harits, Ummu Fadhl Namanya adalah Lubabah bintu Al Harits bin Hazn Bujair bin Al Hazm bin Ruwaibah bin Abdillah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah Al Hilaliyah radhiyallahu ‘anha. Berkuniah Ummu Fadhl, sesuai nama putra sulung beliau. Beliau terkenal dengan nama kuniah beliau ini. Beliau juga masyhur dengan nama laqab (gelar) beliau; Lubabah Al Kubra. Beliau adalah istri dari shahabat utama, paman Rasul Al Abbas bin Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah saudari dari ummul mu’minin Maimunah bintu Al Harits radhiyallahu ‘anha. Saudari beliau seayah dan seibu; Maimunah, Lubabah As Sughra, ‘Ashamah, Izzah, dan Haziilah. Sedang saudara seibu; Mahmayah bin Jaza’, Asma’ bintu Umais, Salma bintu Umais, dan Salamah bintu Umais. Keluarga beliau termasuk keluarga yang mulia, sebab saudari-saudari beliau menikah dengan orang-orang utama. Ummul mukminin Maimunah bintu Al Harits menikah dengan Rasulullah, beliau sendiri (Lubabah) menikah dengan Al Abbas, Asma’ bintu Umais dinikahi oleh Jakfar bin Abi Thalib, kemudian Abu Bakar kemudian Ali bin Abi Thalib. Salma bintu Umais menikah dengan Hamzah bin Abdil Muthalib, Lubabah As Sugra dinikahi Al Walid bin Al Mughirah. Semuanya berasal dari ibu yang sama, yaitu Hindun bintu Auf. Oleh karenanya putra-putra Al Abbas, putra-putra Jakfar, Muhammad bin Abi Bakar, Yahya bin Ali bin Abi Thalib, dan Khalid bin Al Walid masing-masingnya adalah saudara dari jalur bibi (sepupu dari jalur ibu). Keislaman  Sebagian ulama menyebutkan bahwa Lubabah Al Kubra telah masuk Islam setelah masuk Islamnya Khadijah. Ini menunjukkan keutamaan beliau, dari sisi terdahulunya memeluk Islam. Namun begitu beliau tidak memiliki keutamaan hijrah sebagaimana muslimin lainnya yang telah masuk Islam di Mekkah. Hal ini karena beliau termasuk wanita “al mustadh’afin” yakni orang-orang yang telah masuk Islam di Mekkah, namun kaum mereka menghalangi untuk hijrah. Disebutkan oleh Abdullah bin Al Abbas putra beliau, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata tentang Lubabah; Para wanita mukminah yang saling bersaudara (mereka adalah) Maimunah bintu Al Harits, Ummu Fadhl, Salma, dan Asma’. Dalam riwayat ini menunjukkan keutamaan mereka dalam Islam, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan keimanan mereka. Keluarga beliau adalah keluarga yang dekat hubungan nasab serta pergaulannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengunjungi rumah beliau dan tidur siang di sana, sebagaimana Abdullah bin Al Abbas radhiyallahu ‘anhu juga sering menginap di rumah bibi beliau Maimunah untuk belajar dan menimba ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Haris bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menata Abdullah, Ubaidullah, dan Katsir, putra-putra Al Abbas dalam satu shaf. Kemudian beliau berkata siapa yang lebih dulu sampai kepadaku maka baginya sesuatu. Maka anak-anak tersebut berlomba menuju kepada beliau, sehingga ada yang memegang punggung dan dada beliau, sedang beliau menciumi dan memeluk mereka. Lubabah bin Al Harits adalah juga wanita yang menyusui Al Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku melihat dalam mimpi bahwa satu anggota tubuhmu berada dalam rumahku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Fathimah (bintu Rasulillah) akan melahirkan dan engkau akan menyusuinya, bersama dengan ibnu Qotsam.” Maka Fathimah pun melahirkan Husain dan akupun menyusuinya. Keutamaan  Selain termasuk wanita as sabiqunal awwalun, beliau memiliki sisi keutamaan lainnya. Dari sisi hubungan kekeluargaan, dari sisi peran aktif dalam Islam, dan lainnya. Beliau meriwayatkan dari Nabi banyak hadis, sehingga beliau memiliki peran dan andil yang besar dalam hal menyebarkan ilmu. Di antara peran beliau adalah beliau yang mengirim susu untuk nabi pada hari Arafah. Saat itu manusia berselisih pendapat apakah Nabi berpuasa di hari itu ataukah tidak. Sebab telah diketahui akan keutamaan hari tersebut dan disyariatkannya puasa Arafah bagi muslimin. Maka beliau mengirimkan susu dalam rangka untuk mengetahui bagaimanakah sikap beliau, sehingga tidak terjadi perselisihan antara manusia. Maka minumlah nabi dari susu tersebut di hadapan manusia yang melakukan wukuf sehingga manusia pun tahu bahwa dianjurkannya puasa Arafah adalah bagi mereka yang tidak melakukan ibadah haji. Di antara riwayat beliau juga adalah tentang jumlah persusuan seorang wanita terhadap seorang anak agar menjadikan wanita tersebut mahram karena persusuan. Yakni minimalnya lima kali penyusuan. Dan banyak hadis diriwayatkan dari beliau, sehingga bagi siapa yang menelaah kitab-kitab hadis tentu akan banyak menemukan nama beliau di dalamnya. Telah menimba ilmu dari beliau beberapa orang shahabat. Di antaranya adalah putra beliau sendiri Abdullah bin Al Abbas radhiyallahu ‘anhu. Demikian juga Tamaam, Anas bin Malik, Abdullah bin Al Haris bin Naufal, serta maula beliau Umair bin Al Harits, dan Kuraib maula putra beliau. Anak Keturunan Mulia  Dari pernikahan beliau dengan Al Abbas, lahirlah putra-putra mulia. Mereka adalah Al Fadhl bin Al Abbas, Abdullah bin Al Abbas yang berjuluk Habr ummah (Ulamanya umat ini), Ubaidullah yang dikenal dengan Al Jawwad (yang pemurah), Abdurrahman, Qotsam, Ma’bad, semuanya adalah shahabat nabi yang mulia, dan Ummu Habib. Namun, walau saling bersaudara, putra-putra Lubabah Al Kubra saling berjauhan kubur mereka. Al Fadl meninggal di Syam dan dimakamkan di sana, di daerah Yarmouk. Abdullah bin Al Abbas dimakamkan di Thaif, Ubaidullah dimakamkan di Madinah, Qotsam dimakamkan di Samarqand (daerah Uzbekistan), dan Ma’bad dimakamkan di Afrika. Beliau meninggal terlebih dahulu dibanding suaminya Al Abbas, di masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah meridhainya. [Ustadz Hammam]. Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 90 vol.08 1440H-2019M rubrik Figur. http://ismailibnuisa.blogspot.com/2019/08/lubabah-al-kubra.html
5 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah kematian al husain bin ali yang sebenarnya

Bismillah, artikel ini merupakan lanjutan dari BIOGRAFI YAZID BIN MUAWIYAH KISAH KEMATIAN AL HUSAIN BIN ALI PEMBERONTAKAN YANG DILAKUKAN OLEH AL HUSAIN DAN PEMBUNUHAN TERHADAPNYA Al Husain bin Ali berada di Madinah ketika Yazid bin Muawiyah memegang tampuk kekuasaan. Lalu Yazid mengirim surat kepada Al Walid bin Utbah, gubernur Madinah yang diangkatnya, agar mengambil baiat (sumpah setia) dari sejumlah orang yang menolak membaiatnya, mereka adalah Al Husain bin Ali, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Az Zubair radhiyallahu anhum. Ketika Al Husain bin Ali mengetahui hal ini, beliau menuju Makkah dan tinggal di sana. Semenjak itu, sebagian kaum muslimin ada yang mengikuti beliau dan memberikan kepercayaan padanya. Mereka juga menggantungkan sejumlah harapan kepadanya. Dengan demikian para penyulut api fitnah berbahagia karena mulai ada perpecahan di antara kaum muslimin. Mereka mulai mengambil langkah untuk memanfaatkan keadaan dalam rangka memecah belah barisan kaum muslimin. SIKAP PENDUDUK KUFAH TERHADAP AL HUSAIN Penduduk Kufah dari kalangan penyulut api fitnah berbahagia ketika mengetahui bahwa Al Husain bin Ali tidak berbaiat kepada Yazid dan telah tinggal di Makkah. Sekian angan-angan telah merayap dalam jiwa jahat mereka. Mereka berusaha mengetahui keberadaannya di Makkah sebagaimana seorang yang tersesat mencari bintang penunjuk arah dan tempat berlabuh yang amanah. Sejumlah surat mulai mereka layangkan kepadanya untuk mengharap kedatangannya dari Makkah menuju kepada mereka (di Kufah). Penduduk Kufah menampakkan bahwa mereka telah siap siaga untuk bergabung dengannya dan memberontak kepada Bani Umayyah sampai Al Husain memegang kekuasaan karena beliau -menurut mereka- adalah orang yang paling berhak dan orang yang tepat untuk memegang kekuasaan. Mereka tidak peduli dengan sekian bencana dan pertumpahan darah yang akan terjadi karena perbuatan yang mereka lakukan. Al Husain mengutus anak pamannya, yaitu Muslim bin Aqil untuk menjadi penunjuk jalan dan untuk mencari tahu kenyataan yang ada. Sampailah Muslim bin Aqil di Kufah. Para penduduknya menyambutnya dengan baik. Sejumlah orang yang mendekati 18.000 orang berkumpul di sekitarnya. Mereka semua mendukung Al Husain dan menjanjikan kepadanya bantuan. Ketika melihat hal yang demikian, Muslim bin Aqil segera menulis surat kepada Al Husain tentang keadaan yang beliau saksikan. Kemudian Al Husain memantapkan pilihan untuk menuju Kufah. Akan tetapi begitu cepatnya penduduk Kufah meninggalkan Muslim bin Aqil, yaitu ketika Khalifah Yazid memutuskan pernggantian An-Nu'man bin Basyir sebagai gubernur Kufah -beliau adalah seorang pemimpin yang lebih condong kepada sifat pemaaf dan lemah lembut- diganti dengan Ubaidullah bin Ziyad seorang yang berperangai keras dan bengis dalam menjaga pamor negara dan dalam menebarkan keamanan dan ketertiban. Tindakan gubernur yang kejam dan keras nampak jelas ketika ia menghalau pendukung Muslim bin Aqil dimana dia mampu menangkap pemimpin-pemimpin mereka sehingga yang lain pun menyingkir dari Muslim bin Aqil. Akhirnya, ia menangkap Muslim bin Aqil dan memerintahkan untuk dibunuh. AL HUSAIN BERANGKAT MENUJU KUFAH Al Husain bin Ali memenuhi permintaan penduduk Kufah. Keinginannya untuk menuju Kufah semakian kuat ketika surat Muslim bin Aqil sampai kepadanya. Surat itu dikirim sebelum Muslim dibunuh. Muslim bin Aqil mengatakan kepada Al Husain bahwa 18.000 orang telah berbaiat kepadanya, mempersiapkan diri dan nyawa mereka untuk membelanya dan menghadap musuh-musuhnya. Para pemberi nasihat yang sejati telah memberikan nasihat kepada Al Husain dan memohon dengan sangat agar beliau tetap tinggal di Makkah. Mereka juga menjelaskan kepadanya makar penduduk Iraq dan apa yang mereka perbuat terhadap ayahnya dahulu, yaitu Ali bin Abi Thalib. Juga menjelaskan bahwa apa yang akan beliau lakukan akan memecah belah persatuan dan menyulut api fitnah. Diantara orang yang memberikan nasihat kepada beliau adalah Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Sa'id Al Khudri, Abu Waaqid Al Laitsi, Jabir bin Abdillah, dan selain mereka radhiyallahu 'anhum. Akan tetapi beliau telah terpengaruh oleh surat yang begitu banyaknya dari penduduk Kufah. Oleh karena itu, beliau tetap bersikeras untuk pergi menuju Kufah sebagaimana telah kami terangkan. Al Husain keluar dan berangkat menuju Kufah bersama keluarganya, anak-anaknya, dan sejumlah rekan-rekannya. Mereka semua berjumlah kurang lebih 80 orang. Al Farazdaq (penyair terkenal) di tengah perjalanan menemuinya lalu Al Husain menanyainya tentang kondisi penduduk Makkah. Dia menjawab, "Hati mereka bersamamu, akan tetapi pedang mereka bersama Bani Umayyah, sedangkan takdir telah turun dari langit. Allah ta'ala mengerjakan apa yang Dia kehendaki." Namun beliau tetap melanjutkan langkahnya dan tidak memperdulikan isyarat yang disampaikan oleh Al-Farazdaq berupaya marabahaya yang telah menanti baik dari penduduk Irak maupun dari kalangan Bani Umayyah. Al Husain juga berjumpa dengan seorang yang baru pulang dari Kufah, namanya Bukair bin Tsa'labah. Beliau mengetahui darinya bahwa kondisi di Kufah telah berubah, pendukung-pendukung Al Husain telah menjauh, mereka enggan menolongnya dihadapan keganasan Ubaidullah bin Ziyad dan kekuatannya. Juga tentang kematian Muslim bin Aqil. Tidak lagi di Kufah kekuatan penolong Al Husain. Ketika itu, sebagian rekannya mengatakan kepada Al Husain : "Kami meminta kepadamu dengan nama Allah demi dirimu dan keluargamu agar kembali ke arah kamu datang (Makkah). Sesungguhnya tidak ada di Kufah penolong dan pembantu bagimu." Akan tetapi saudara-saudara Muslim bin Aqil mengatakan : "Demi Allah, kami akan tetap melanjutkan perjalanan sampai kami berhasil mengambil hak kami atau merasakan apa yang dirasakan saudara kami." Al Husain mengatakan, "Tidak ada lagi kehidupan yang baik setelah mereka." Beliau tetap melanjutkan perjalanannya bersama sekelompok kecil orang yang telah bersamanya (semenjak meninggalkan Makkah). AL HUSAIN SAMPAI DI KARBALA DAN KEMATIANNYA Sampailah Al Husain di Karbala dekat dengan Kufah. Mereka dihadapi oleh pasukan besar yang telh disiapkan oleh Ubaidullah bin Ziyad yang dipimpin oleh Umar bin Sa'd bin Abi Waqash. Tidak ada perbandingan antara pasukan Al Husain yang jumlahnya tidak mencapai 100 dengan lawannya yang mencapai 4.000 orang. Juga tidak selayaknya dikatakan sebagai perang antara dua pasukan. Terjadilah pertemuan antara Al Husain denegan Umar bin Sa'd. Al Husain menawarkan beberapa opsi sebagai jaminan untuk menahan perang dan saling membunuh. Diriwayatkan bahwa beliau mengatakan: "Pilihlah salah satu dari tiga pilihan yang aku ajukan.  .Aku kembali ke tempat yang aku datang darinya. Atau aku meletakkan tanganku (baiat) terhadap Yazid lalu ia akan menentukan pendapatnya. Kalian menempatkan aku di perbatasan kaum muslimin yang kalian inginkan, lalu aku menjadi salah satu dari kalangan kaum muslimin yang ada di sana, hak dan kewajibanku sama dengan mereka." Umar bin Sa'd senang dengan hasil yang menggembirakan ini, yang sebelumnya beliau telah enggan dan benci untuk memerangi Al Husain kalau saja Ibnu Ziyad tidak mengancamnya dengan ancaman bunuh. Umar dan pasukannya shalat di belakang Al Husain (menjadi makmumnya-pen) ketika mereka menunggu jawaban dari Ibnu Ziyad. Beliau juga segera mengirimkan surat kepada Ibnu Ziyad menawarkan apa yang telah beliau dapatkan. Ketika Ibnu Ziyad membaca suratnya, dia mengatakan : "Ini adalah sebuah surat dari seorang pemberi nasihat bagi pemimpinnya, dan seorang yang sayang terhadap kaumnya. Ya aku terima (tawaran ini). Yang demikian adalah sebuah petunjuk yang sangat jelas atas bagusnya niatan mereka dan tidak adanya keinginan pada diri mereka untuk menyulutkan api fitnah dan perselisihan. Akan tetapi, seorang provokator / penggerak kejahatan dan fitnah yang disebut dengan Syamr bin Dzil Jusyan mengubah pemikiran yang bagus ini. Dia mengatakan kepada Ibnu Ziyad :  "Apakah engkau mau menerima tawaran ini darinya, padahal dia telah masuk ke wilayahmu dan seudah berada di hadapanmu? Demi Allah, bila dia (Al Husain) pergi meninggalkan negerimu dalam keadaan tidak meletakkan tangannya di tanganmu, maka dia adalah seorang yang lebih berhak untuk mendapatkan kekuatan dan kedudukan. Sedangkan engkau adalah orang yang lemah dan loyo. Oleh karena itu, jangan engkau berikan kedudukan ini kepadanya. Karena hal ini akan menjadi kelemahan bagimu. Hendaklah engkau memutuskannya dan pasukannya sesuai dengan hukummu. Bila engkau menghukum mereka, maka engkau adalah penguasa yang memiliki hukum. Bila engkau mengampuni mereka yang demikian adalah hakmu." Ibnu Ziyad pun terpengaruh oleh pandangan laki-laki jahat lagi pendosa ini. Kemudian dia mengirim utusan kepada Umar bin Sa'd dengan apa yang diusulkan laki-laki tadi. Yang demikian adlaah kesalahan dari Ibnu Ziyad, juga bentuk kesewenangan dan kezhalimannya. Ibnu Sa'd melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Ibnu Ziyad, meminta kepada Al Husain untuk menyerah tanpa syarat sampai kemudian Ibnu Ziyad yang akan memutuskannya. Akan tetapi Al Husain tidak menerimanya karena belia berkeyakinan bahwa yang demikian adlaah kehinaan dan kerendahan. Sehingga peperangan dan saling membunuh harus terjadi. Pada hari kesepuluh bulan Muharram 61 H berkecamuklah perang antara pasukan Iraq yang berjumlah lebih dari 4.000 personil dengan pengikut Al Husain yang tidak lebih dari 80 orang. Buku-buku sejarah telah mencatat jiwa kesatria yang ditunjukkan oleh pengikut Al Husain. Beliau meminta kepada mereka (para pengikutnya) agar meninggalkanna dan mencari jalan selamat sendiri-sendiri. Akan tetapi mereka tidak setuju dengan permintannya dan tetap berada di sisi beliau mengorbankan nyawa mereka di hadapannya satu persatu. Tidak ada satupun di antara mereka yang tewas kecuali dalam keadaan tegar menghadapi lawan, tidak lari, mencurahkan segenap kekuatannya dan melepaskan diri mereka dari tanggung jawab di hadapan Allah. Demikianlah, mereka jatuh meninggal satu per satu di hadapan Al Husain hinggal beliau tinggal sendirian. Meskipun demikian beliau tidak mau tunduk terhadap lawannya, bahkan yang beliau lakukan adalah menghunus pedangnya dan berperang sebagaimana seorang penunggang kuda yang ahli dan pemberani. Sampai pada akhirnya beliau gugur di hadapan sejumlah tebasan pedang yang berturut-turut menebasnya. Juga di hadapan kekuatan besar yang mengepungnya dari segala arah. Pasukan Ibnu Ziyad yang meninggal berjumlah 87 orang. Al Husain meninggal pada usia 57 tahun. Tidak ada dari pengikutnya yang selamat kecuali lima orang, yaitu : anaknya yang bernama Ali Zainal Abidin. Ketika itu beliau sedang sakit sehingga tidak bisa ikut hadir dalam peperangan. Bibinya yang bernama Zainab binti Ali, adiknya yang bernama Umar, dan dua saudara perempuannya yang bernama Fathimah dan Sukainah. Umar bin Sa'd mengirim kepala Al Husain dan para pengikutnya kepada Ibnu Ziyad. Kemudian kembali ke Kufah dengan membawa anak-anak Al Husain. Ibnu Ziyad memberikan pemuliaan dan pelayanan yang baik terhadap mereka. Lalu Ibnu Ziyad mengirim mereka ke Syam bersama kepala Al Husain. Ketika Yazid melihat mereka, bercucuran air matanya sampai mengatakan : "Sebenarnya aku telah senang terhadap ketaatan kalian tanpa pembunuhan terhadap Al Husain. Akan tetapi semoga Allah melaknat Ibnu Sumayyah (yang dimaksud adalah Ubaidullah bin Ziyad), demi Allah kalau saja aku yang menghadapinya, maka sungguh aku akan memaafkan mereka." Yazid memerintahkan kepada kerabat Al Husain yang wanita untuk masuk ke rumahnya. Dan anak-anak Al Husain dimasukkan dalam tanggungannya. Kaum wanita dari kalalangan Bani Umayyah berkabung atas jenazah Al Husain selama tiga hari dan juga ikut merasakan musibah yang menimpa keluarganya. Kemudian Yazid menjamu mereka semua dengan baik dan memberikan harta yang banyak kepada mereka, selanjutnya beliau memulangkan mereka ke Madinah. Tidak diragukan lagi bahwa peristiwa terbunuhnya Al Husain bin Ali di Karbala adalah sebuah tragedi yang menggoncang kerajaan Bani Umayyah dan mengancam kekuasaannya. Kalangan yang dengki dan benci terhadap Islam dari kelompok Syiah Rafidhah dan yang lainnya menjadikan peristiwa ini sebagai peluang untuk mengobarkan api fitnah dan menanamkan rasa kedengkian di kalangan kelompok mereka sendiri sampai-sampai gugurnya Al Husain bagi mereka adalah lebih besar daripada musibah meninggalnya Rasulullah, pembunuhan Umar, Utsman, dan Ali. Mereka (sekte Rafidhah) mengadakan peringatan kematian Al Husain pada tiap tahun sehingga mereka melakukan sekian banyak kejelekan dan celaan terhadap para sahabat. Mereka juga mencaci dan mencela Bani Umayyah, disertai dengan membuat sekian kedustaan dan kebohongan yang bisa membuat rambut kepala beruban (sebelum waktuna-pen). Sampai kemudian mereka menjadi sumber fitnah yang terjadi di kalangan Bani Umayyah dan sebab utama lemahnya kerajaan Bani Umayyah di hadapan musuh-musuhnya. Bahkan mereka (Syiah Rafidhah) menjadi sumber fitnah (huru-hara) dan penyimpangan  di sepanjang masa. Sekte ini berhasil menancapkan kuku-kuku makarnya. Mereka mengubah sejarah dan sejumlah sunnah (hadits) dan memenuhi keduanya dengan sekian banyak kedustaan dan kepalsuan. Semoga Allah menjaga kaum muslimin dari kejahatan Syiah Rafidhah dengan apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Dikutip dari Buku Trilogi Al Khilafah Al Islamiyah Penerbit Hikmah Ahlussunnah, 2018
5 tahun yang lalu
baca 11 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi yazid bin muawiyah

YAZID BIN MU'AWIYAH RAHIMAHULLAH (60 H - 64 H) Beliau bernama Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah. Pemimpin (amir) kaum mukminin. Kunyahnya adalah Abu Khalid Al Umawy. Lahir tahun 25 H. Dibaiat sebagai khalifah ketika ayahnya masih hidup untuk kemudian memegang urusan pemerintahan sepeninggalnya. Penobatannya sebagai penguasa ditegaskan lagi setelah ayahnya meninggal pada pertengahan bulan Rajab tahun 60 H. Kekuasaan beliau pegang sampai meninggal pada tanggal 14 Rabi'ul Awwal, 64 tahun setelah Rasulullah hijrah. Beliau adalah orang pertama yang memerangi Konstantinopel pada tahun 49 H. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : أول جيس يغزو مدينة قيصر مغفور لهم "Pasukan pertama yang memegang kota Kaisar adalah orang yang diampunkan (dosa-dosa) mereka." HR. al-Bukhari) Yazid telah meriwayatkan sejumlah hadis dari ayahnya dan telah meriwayatkan dari Yazid yaitu Kholid dan Abdul Malik bin Marwan. Yazid disebutkan oleh Abu Zur'ah ad-Dimasyqi dalam kitabnya pada tingkatan tertinggi dari kalangan tabi'in, yang tingkatan ini berada tepat di bawah tingkatan sahabat. Beliau adalah seorang yang pemurah, lemah-lembut, fasih berbahasa, pemberani dan seorang yang bagus pandangannya dalam hal pemerintahan. Namun beliau bukanlah orang yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Juga tidak luput dari perbuatan mengikuti hawa nafsu pada keadaan tertentu. Semoga Allah ta'ala memberikan ampunan kepada kita dan beliau. Banyak hadis, riwayat, dan kisah-kisah berisi celaan terhadap Yazid rahimahullah dan pengkaburan kebaikan kehidupannya. Kebanyakan hadis, riwayat, dan kisah tersebut adalah kedustaan dan isu-isu yang dibuat oleh Syiah rafidhah dikarenakan kedengkian mereka terhadap Bani Umayyah dan juga terhadap sebagian sahabat radhiyallahu anhum. Sebagian lainnya, sanadnya lemah dan tidak sah. Diantara periwayatan dusta mereka adalah tuduhan bahwa beliau adalah pemimpin khamr, meninggalkan salat, dan mabuk oleh pelampiasan syahwat yang diharamkan. Muhammad bin Ali bin (yang dikenal dengan Ibnul Hanafiyah) mempersaksikan keterlepasan diri Yazid dari perkara ini ketika orang-orang yang membangkang terhadapnya dari penduduk Madinah menuduhnya demikian. Beliau mengatakan, "Aku tidak pernah melihat pada dirinya perkara yang kalian tuduhkan. Aku pernah berada di sisi-nya dan tinggal dekat dengannya. Maka yang aku lihat adalah dia seorang yang senantiasa menjaga salat, semangat melakukan amalan kebaikan, bertanya tentang fiqih, dan senantiasa berpegang dengan sunnah". Yazid bin Muawiyah diuji dengan 3 fitnah / huru-hara yang terjadi pada masa pemerintahannya. Ketiga fitnah ini dijadikan sebagai kesempatan emas oleh orang-orang yang dengki dari kalangan Syiah rafidhah dan selainnya sebagai bahan untuk memburukan pamornya dan pamor Bani Umayyah. Juga sebagai bahan untuk mencela sebagian sahabat. Tiga fitnah diatas adalah . Pemberontakan yang dilakukan oleh Al Husein dan pembunuhan terhadapnya. Pemberontakan yang dilakukan oleh Penduduk Madinah, pembatalan baiat mereka, dan tragedi harrah. Pemberontakan yang dilakukan oleh Abdullah bin Az-Zubair dan pengepungan kota Mekkah . Ketiga peristiwa diatas akan kita bahas secara singkat dengan harapan kebenaran yang akan tampak. insyaallah bersambung... nantikan artikel terbarunya di Atsar ID. Sumber : Buku Trilogi Al Khilafah Al Islamiyah. Penerbit : Hikmah Ahlussunnah
5 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi syaikh muhammad bin shalih al utsaimin

AHLI FIKIH ZAMAN INI Biografi Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Ulama kita ini sangat terkenal di kalangan Ahlus Sunnah zaman ini. Beliau menghabiskan waktu dan usianya untuk dakwah baik dengan lisan atau tulisan. Sehingga sumbangsih beliau sangat banyak untuk Islam dan kaum muslimin. Ilmu fikih adalah salah satu bidang ilmu yang beliau kuasai dengan baik. Hingga sebagian ulama menjulukinya sebagai “Faqih hadzal Ashr” (Ahli fikihnya zaman ini). Tidak lain beliau Asy Syaikh Al Allamah Al Utsaimin rahimahullah. NASAB DAN KELAHIRAN BELIAU Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Al Wuhaibi At Tamimi dengan kunyah Abu Abdillah. Beliau dilahirkan di Kota Unaizah pada tanggal 27 Ramadhan tahun 1347 H. PERJALANANNYA MENUNTUT ILMU Beliau belajar ilmu Al Qur’an kepada kakeknya dari jalur ibu yang bernama Abdurrahman bin Sulaiman Alu Damigh hingga beliau mampu menghafal Al Quran. Kemudian setelah itu beliau mengalihkan konsentrasi guna belajar dan menekuni berbagai disiplin ilmu agama dan penunjangnya. Di antaranya beliau belajar ilmu khath (tulisan), ilmu hitung, dan sebagian cabang ilmu sastra. Anda tentu pernah mendengar Syaikh Abdurrahman As Sa’dy rahimahullah pemilik kitab tafsir yang sangat terkenal itu. Ternyata Syaikh As-Sa’di adalah gurunya Syaikh Al Utsaimin. Pada saat itu Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy telah menunjuk dua orang murid seniornya untuk mengajar para murid-murid yunior. Yaitu Syaikh Ali Ash-Shalihi dan yang kedua adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Muthawwi’. Beliau pun bermulazamah dan belajar beberapa kitab kepadanya seperti kitab Mukhtashar Al Aqidah Al Wasithiyah, Fiqh Minhajus Salikin karya Syaikh As Sa’di sendiri, Al Ajurumiyah dan Alfiyah. Adapun ilmu Faraidh (ilmu waris) dan fikih, beliau belajar kepada Asy Syaikh Abdurrahman bin Ali bin Audan. Dengan demikian Syaikh Abdurrahman As-Sa’di terhitung sebagai guru beliau yang pertama. Beliau bermulazamah dan secara intensif mempelajari berbagai cabang ilmu agama dari Syaikh As Sa’di. Seperti ilmu Tauhid, Tafsir, Hadis, Fikih, Ushul Fiqh, Faraid, Musthalah Hadis, Nahwu, dan Sharaf. Bahkan Syaikh As Sa’di adalah guru pertamanya yang memberikan pengaruh cukup besar dalam banyak hal. Hal ini diakui sendiri oleh Syaikh Utsaimin dalam pernyataannya, . “Aku banyak terkesan dan terpengaruh oleh beliau dalam metode pengajaran, penyampaian ilmu, dan pendekatannya kepada para penuntut ilmu dengan memberikan contoh dan makna dalam mengajar. Demikian halnya aku terkesan kepada beliau dari sisi akhlaknya. Karena Syaikh Abdurrahman mempunyai akhlak yang mulia dan kedudukan yang tinggi dalam hal ilmu serta ibadah. Terkadang beliau bercanda dengan anak kecil dan tertawa bersama orang-orang dewasa. Beliau termasuk orang yang paling baik akhlaknya yang pernah aku lihat.” Demikian pula sebaliknya, Syaikh Utsaimin juga memiliki kedudukan yang spesial di sisi gurunya. Suatu saat ayah Syaikh Utsaimin hendak pindah ke kota Riyadh dan menginginkan supaya putranya ikut pindah bersamanya. Tatkala berita itu sampai kepada Syaikh Abdurrahman As Sa’di, beliau pun menulis sepucuk surat untuk sang ayah. Dalam surat tersebut beliau mengatakan, “Sesungguhnya (kepindahan) ini tidak mungkin. Kami ingin Muhammad tetap tinggal di sini sehingga ia bisa mengambil faedah.” Di samping itu, beliau juga pernah belajar kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang terhitung sebagai guru beliau yang kedua. Beliau mengawalinya dengan belajar Shahih Al Bukhari, sebagian karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beberapa kitab fikih. Tentang gurunya ini, Syaikh Al Utsaimin mengatakan, “Saya sangat terkesan dengan Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam hal perhatian beliau terhadap hadis. Aku juga terkesan dengan akhlak beliau dan kelapangan jiwa beliau dalam menghadapi manusia.” Waktu terus berlalu hingga tibalah saatnya beliau mengajar dan berdakwah dalam sekup yang luas. Pada tahun 1371 H, beliau pun mulai mengajar di Masjid Al Jami’. Ketika dibuka berbagai ma’had ilmi (lembaga-lembaga ilmiah) di Kota Riyad, beliau pun masuk dan bergabung dengan ma’had tersebut pada tahun 1372 H. Beliau berkisah, “Aku masuk ke ma’had ilmi pada tahun kedua atas bimbingan dari Syaikh Ali Ash Shalihi. Sebelumnya aku juga telah meminta izin kepada Syaikh Abdurrahman As Sa’di. Saat itu ma’had ilmi terbagi menjadi dua kelas yaitu kelas umum dan kelas khusus. Aku pun masuk dan mengikuti program di kelas khusus.” Setelah menjalani jenjang pendidikan selama dua tahun, beliau pun lulus dan ditunjuk sebagai pengajar di Ma’had Unaizah Al Ilmi. Bersamaan dengan itu beliau melanjutkan studi dengan mengambil jurusan Syari’ah sekaligus melanjutkan belajar kepada Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di. Ketika Syaikh Abdurrahman wafat, maka beliau menggantikan posisinya sebagai imam di masjid Al Jami’ Al Kabir di Unaizah. Selain itu juga mengajar di Perpustakaan Nasional Unaizah dan merangkap sebagai pengajar di Ma’had Ilmi. Kemudian beliau berpindah mengajar di dua fakultas, yaitu fakultas Syariah dan Ushuludin di universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud cabang Qasim. Bahkan beliau juga diangkat menjadi salah satu anggota Haiah Kibaril Ulama (Majelis ulama besar) kerajaan Saudi Arabia. Beliau memiliki semangat yang luar biasa dalam berdakwah di jalan Allah, membimbing para juru dakwah dan upaya beliau patut disyukuri dalam hal ini. Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim pernah memberikan penawaran bahkan mendesak kepada beliau supaya menduduki jabatan Qadhi (hakim). Bahkan Syaikh Muhammad telah mengeluarkan surat keputusan penunjukan beliau sebagai Kepala Mahkamah Syariah di Ihsa’.  Namun beliau meminta supaya dibebaskan dan diturunkan dari jabatan tersebut. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan pendekatan pribadi dari beliau, akhirnya Syaikh Muhammad mengabulkan pengunduran diri beliau dari jabatan tersebut. Beliau mengetahui bahwa amanah tersebut tidak mudah menjalankannya dan tanggung jawabnya besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. KARYA TULIS BELIAU Kaum muslimin terutama para penuntut ilmu tentu sangat akrab dengan berbagai tulisan beliau. Tidak ada satupun disiplin ilmu agama melainkan beliau punya andil di dalamnya. Dalam bidang akidah, fikih, tafsir, musthalah, nahwu, ushul fikih, dan lain sebagainya. Beliau memiliki karya tulis sangat banyak yang mencapai empat puluh buku dan makalah. Hingga saat ini karya-karya beliau sering dijadikan sebagai rujukan oleh para penuntut ilmu di berbagai belahan dunia. Di antaranya adalah sebagai berikut Fathur Rabbil Bariyyah bitalkhishil Hamawiyah, Majalis Syahri Ramadhan, Al-Manhaj li Muridil ‘Umrah wal Hajj, Tashilul Faraidh, Syarh Lum’atul I’tiqad, Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Syarh Riyadhus Shalihin, Ushulut Tafsir, Asy-Syarh Al-Mumti’, Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Syarh Ushul Ats-Tsalatsah, Kitabul ‘Ilm dan yang lainnya. Dan Alhamdulillah di negeri kita ini kitab-kitab beliau dengan mudah bisa kita dapatkan. Bahkan banyak pula yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. WAFATNYA BELIAU Beliau wafat pada hari rabu 15 Syawal 1421 H yang bertepatan dengan tanggal 10 Januari 2001. Tepatnya pada pukul 6 malam di rumah sakit spesialis Raja Faishal di Jeddah. Setelah beliau ditimpa penyakit parah yang telah beliau derita dalam waktu yang lama. Pada awalnya beliau enggan untuk terapi dengan pengobatan kimia. Namun akhirnya beliau pun menjalani pengobatan tersebut atas permintaan pemerintah Saudi. Beliau pun sempat berobat ke Amerika namun tidak lama kemudian kembali lagi karena tugas ilmiah beliau untuk mengajar di Unaizah dan Masjidil Haram. Subhanallah, beliau memang seorang figur ulama yang sangat semangat dan antusias untuk berdakwah. Beliau tetap mengajar dalam kondisi sakit dan membutuhkan istirahat. Pernah beliau mengajar dalam keadaan sakit dan dirawat tenaga medis. Pernah pula beliau berusaha melawan rasa kantuk yang sangat ketika mengajar. Semua itu beliau jalani dengan penuh kesabaran dan semangat yang tinggi. Oleh karenanya ketika sakit beliau semakin parah pun, hal itu tidak menghentikan semangat beliau untuk mengajar. Saat itu beliau menempati sebuah kamar di Masjidil Haram dan hanya menyampaikan pelajaran secara singkat. Akhirnya beliau meninggal dalam usia 74 tahun dan dimakamkan di pemakaman Al Adl bersama guru beliau Syaikh bin Baz rahimahullah. Semoga Allah membalas segala jasa beliau untuk Islam dan kaum muslimin dengan balasan yang terbaik. Allahu A’lam. Baca juga literatur lain tentang beliau : https://asysyariah.com/asy-syaikh-ibnu-utsaimin-pelita-di-tengah-umat/ Sumber: Majalah Qudwah edisi 37 vol.04 1437 H/ 2016 M rubrik Ulama. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafiy Abdullah. http://ismailibnuisa.blogspot.com/2016/03/ahli-fikih-zaman-ini.html
5 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi ibnu syihab az zuhri, sang gunung ilmu

Sang Gunung Ilmu Beliau adalah ulama dengan andil besar dalam pembukuan hadis. Bahkan disebutkan dalam biografinya sebagai ulama yang pertama kali membukukan hadis atas perintah Umar bin Abdul Aziz .rahimahullah. Bukan saja kapasitas keilmuannya yang diakui ulama yang sezaman dengannya. Namun keuletan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu agama sangat mengagumkan. Nama beliau sebenarnya adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab bin Abdillah Al Qurasyi Az Zuhri rahimahullah . Lebih populer dengan nama Ibnu Syihab Az Zuhri . Satu pendapat menyebutkan bahwa Az Zuhri lahir pada tahun 51 H. Sejak awal beliau tumbuh dan berkembang di lingkungan yang agamis. Ayah beliau yang bernama Muslim bin Abdillah adalah seorang perawi hadis yang tsiqah (terpercaya). Adapun ibundanya adalah Ummu Ahban bintu Laqith bin Urwah bin Ya’mur. Az Zuhri memiliki seorang saudara laki yang lebih muda usianya bernama Abdullah bin Muslim. Dia sempat bertemu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan meriwayatkan darinya, namun meninggal sebelum Az Zuhri. AZ ZUHRI ULAMA BESAR DI MASANYA Meskipun berstatus sebagai  shighar tabiin (tabiin junior) namun beliau adalah ulama besar di masanya. Az Zuhri banyak menimba ilmu dari sebagian shahabat dan para pembesar ulama tabiin. Semisal Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, Said bin Al Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Urwah bin Zubair, Atha bin Abi Rabah, dan masih banyak yang lainnya.  Terutama dari Said bin Al Musayyib rahimahullah, beliau adalah salah satu gurunya yang sangat istimewa. Hingga Az Zuhri berkisah,  “Lututku senantiasa menempel pada lutut Said bin Al Musayyib selama delapan tahun. ”  Dalam kurun waktu itu, beliau tinggal dan menimba ilmu dari Said bin Al Musayyib. Potensi besarnya sebagai ulama telah diketahui oleh Khalifah Bani Umayah saat itu, berawal dari pertemuannya dengan Abdul Malik bin Marwan untuk yang pertama kalinya. Lantas Abdul Malik bertanya kepadanya, “Apakah engkau hafal Al Quran?” “Ya,” jawab Az Zuhri. Kemudian Abdul Malik pun melanjutkan pertanyaannya seputar faraidh dan sunnah. Dijawablah semua itu dengan baik olehnya sehingga Abdul Malik terkesan dan kagum terhadapnya. Hingga Abdul Malik memberikan hadiah kepada Az Zuhri dan melunasi hutangnya. Tidak hanya itu, ia juga membelikan rumah dan pelayan untuk Az Zuhri seraya mengatakan kepadanya,  “Carilah ilmu agama, sungguh aku melihat potensi hafalan yang kuat pada dirimu dan kecerdasan dalam kalbumu. Datangilah orang-orang Anshar di rumah-rumah mereka.” Sejak saat itu, Zuhri mengambil ilmu dari para shahabat Anshar Madinah dan di sana ia menjumpai ilmu yang sangat berlimpah. Di antara faktor pendukung keberhasilannya menuntut ilmu adalah kesungguhannya dalam belajar. Bahkan Az Zuhri sangat tekun untuk selalu menulis setiap ilmu yang ia dengar.  Keseriusannya dalam menimba ilmu dipersaksikan oleh ulama di masanya. Ibrahim bin Sa’ad rahimahullah mengatakan, “Tidaklah Az Zuhri unggul atas kami dalam pencapaian ilmu kecuali karena kesungguhannya dalam mencari ilmu.” Abu Zinad juga menuturkan hal yang sama, “Kami menulis yang halal dan haram, sementara Ibnu Syihab menulis semua yang ia dengar. Tatkala ilmunya dibutuhkan, barulah kami sadar bahwa ia adalah orang yang paling berilmu di antara kami.” Menuntut ilmu agama memang membutuhkan perjuangan ekstra untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan segenap kemampuan yang dimiliki sekali pun tidak mungkin bisa menjangkau seluruh ilmu yang ada. Apalagi ketika seseorang hanya mengerahkan sebagian kemampuannya saja. Tentu hasil yang diperoleh tidak akan maksimal dan jauh dari harapan. Perihal kesungguhan Az Zuhri dalam menuntut ilmu juga diakui oleh Shalih bin Kaisan rahimahullah. Perjuangan dan kesungguhannya menuntut ilmu agama terkadang membuat sang istri cemburu. Amr bin Dinar berkisah, “Di antara aktivitas Az Zuhri di rumah adalah duduk dengan ditemani kitab-kitab di sekelilingnya. Jika sudah demikian, ia pun sibuk menelaah dan mempelajarinya hingga urusan dunianya terlupakan. Maka sang istri berkata kepadanya, “Demi Allah kitab-kitab ini lebih membuatku cemburu daripada tiga madu.” KEKOKOHAN HAFALANNYA Di antara sekian kelebihan Az Zuhri adalah kekuatan hafalan yang kokoh dan sangat kuat. Beliau adalah penghafal pilih tanding dengan memori hafalan yang sangat banyak. Pantas jika Az Zuhri sendiri pernah menyatakan, “Tidak pernah kalbuku menghafal sesuatu kemudian lupa.” Beliau mampu menghafal Al Quran hanya dalam jangka waktu 80 malam! Kekuatan hafalan ini berbanding lurus dengan pemahamannya yang sangat tajam dan jernih. Ia langsung bisa memahami pembicaraan lawan bicaranya tanpa perlu diulang lagi. Bahkan ulama sekaliber Imam Malik rahimahullahpernah dibuatnya kagum dengan kekokohan hafalannya. Imam Malik berkisah, “Suatu ketika Az Zuhri pernah menyampaikan hadis yang panjang kepadaku namun aku belum mampu menghafalnya. Maka aku pun bertanya kepadanya untuk yang kedua kalinya. Maka Az Zuhri berkata kepadaku, “Bukankah kami telah menyampaikannya kepada kalian?” Dalam versi yang lain Imam Malik bercerita,“ Az Zuhri pernah memberikan seratus hadis kepada kami.” Kemudian ia menengok ke arahku seraya mengatakan, “Berapa hadis yang telah engkau hafal wahai Malik?” Aku pun menjawab, “Empat puluh hadis.” Ia pun meletakkan tangan pada dahinya dan berkata, “Innaa lillaah, bagaimana kami akan menyampaikan hafalan?” Az Zuhri semakin disegani dengan dukungan wawasan ilmunya yang luas dan koleksi hadis yang banyak. Ali Al Madini rahimahullah berkata, “Az Zuhri mempunyai 2000 hadis.” Al Laits bin Sa’ad berkata, “Aku belum pernah melihat seorang ulama yang ilmunya lebih lengkap daripada Az Zuhri. Seandainya engkau mendengarnya berbicara tentang motivasi dan semangat, niscaya engkau akan mengatakan, “Tidaklah dia ahli kecuali dalam bidang ini.” Namun jika dia berbicara tentang kisah para nabi dan orang-orang ahli kitab, pasti engkau akan mengatakan hal yang sama. Apabila ia berbicara tentang ilmu nasab, engkau pasti juga akan mengatakan hal yang sama.” Ia adalah figur ulama yang menguasai dengan baik berbagai cabang ilmu. Tatkala menjelaskan suatu cabang ilmu agama, orang menilai bahwa ia sangat ahli dalam bidang tersebut. Sedangkan cabang ilmu yang lain tidak menguasainya dengan baik. Namun di luar dugaan, ternyata semuanya dikuasai dengan baik. Satu lagi keistimewaan beliau adalah jiwa sosial dan kedermawanan yang luar biasa. Hingga Al Laits bin Sa’ad Al Mishri rahimahullah menyatakan bahwa Az Zuhri termasuk manusia yang paling dermawan. Ia tidak pernah menolak permintaan setiap orang yang datang dan meminta kepadanya. Kebiasaan beliau adalah memberi makan tsarid dan madu kepada manusia. Bukan rahasia lagi kalau Az Zuhri sangat menyukai madu. “Karena madu bisa menguatkan hafalan,” kata Az Zuhri. Jiwa sosialnya yang tinggi mendorongnya gemar berinfak kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan. Ziyad bin As’ad mengatakan kepada Az Zuhri, “Sesungguhnya hadis-hadismu membuatku kagum. Namun aku tidak mempunyai bekal untuk mengikuti majelismu.” Sontak Az Zuhri mengatakan kepadanya, “Jangan khawatir, ikuti aku dan biayamu aku yang akan menanggungnya.” Limpahan uang dinar tidak membuat Az Zuhri silau dan tergoda. Ia meletakkan dinar di tangannya dan tidak memberikan ruang di hatinya. Berkata Amr bin Dinar rahimahullah, “Belum pernah aku melihat ada pribadi yang memandang rendah dirham dan dinar daripada Az Zuhri. Sungguh dinar dan dirham bagaikan kotoran hewan baginya.” Wajar jika ia sangat ringan tangan membagi-bagikan dinar kepada orang-orang yang membutuhkannya. SANJUNGAN ULAMA Az Zuhri menempati kedudukan ilmiyah yang sangat agung di mata para ulama sezamannya. Untaian pujian ulama-ulama besar tercurah kepadanya. Tidak jarang pula ia disejajarkan bahkan diunggulkan atas ulama tenar yang sezaman dengannya. Asy-Syafii mengatakan, “Kalau bukan karena Az Zuhri niscaya akan hilang sunnah-sunnah di Madinah.” ‘Irak bin Malik rahimahullahpernah ditanya tentang orang yang paling fakih di Madinah. Ia pun menyebutkan beberapa nama seperti Sa’id bin Musayyib, Urwah bin Zubair dan Abdullah bin Abdullah. Lantas ‘Irak mengatakan, “Yang paling berilmu di antara mereka semua menurutku adalah Ibnu Syihab. Karena dia telah menghimpun seluruh ilmu mereka dan menyatukannya dengan ilmu yang dia miliki.”  Hal senada juga disebutkan oleh Makhul, “Ibnu Syihab adalah orang yang paling berilmu tentang sunnah yang telah lalu.” Pujian pun datang dari Imam Malik, beliau berkata, “Ibnu Syihab tetap eksis dan tidak ada satu pun yang selevel dengannya. Jika ia datang ke Madinah, tidak ada satu pun yang berani menyampaikan hadis hingga ia keluar darinya.” Selain berbagai kelebihan di atas, Az Zuhri juga sangat menonjol dalam ilmu sejarah. Berkenaan dengan berita-berita para nabi yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdillah, Urwah bin Zubair, Asy Sya’bi dan selainnya. Terutama perhatian besarnya terhadap sejarah kehidupan dan berbagai peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian beliau tidak hanya fokus meriwayatkan hadis dan mempelajari fikih. Namun beliau juga melakukan penelitian ilmiyah dan pembukuan terhadap ilmu sejarah. Setelah sekian lama menjalani kehidupan yang penuh ilmu dan dakwah, beliau pun wafat pada tanggal 17 Ramadhan tahun 124 H menurut pendapat sebagian ulama. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan balasan terbaik dan melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau. Allahu A’lam. Sumber: Majalah Qudwah edisi 65 vol. 06 1440 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah. | Sang Gunung Ilmu | Sumber :  https://ismailibnuisa.blogspot.com/2019/01/sang-gunung-ilmu.html Biografi Ibnu Syihab Az Zuhri
6 tahun yang lalu
baca 9 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi atha bin abi rabah

Biografi Atha bin Abi Rabah (Judul Asli : Kemuliaan Hakiki ) Anugerah berupa ilmu dan amal saleh adalah anugerah terindah yang tak ternilai dengan harta duniawi seberapa pun banyaknya. Allah mengaruniakan nikmat besar ini kepada siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dengannya pula Allah memuliakan hamba betapapun statusnya dalam pandangan manusia dan inilah yang Allah janjikan dalam ayat-Nya yang artinya, . “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berimlu beberapa derajat.” [Q.S. Al Mujadalah: 11] Tatkala Allah azza wajalla telah berkehendak untuk memilih dan memuliakan hamba-Nya dengan ilmu, maka tidak ada satu pun yang mampu mencegahnya. Tersebutlah seorang mantan budak yang akhirnya menjadi ulama besar di era generasi tabiin. Siapa lagi kalau bukan Atha’ bin Abi Rabah Aslam Al Quraisyi Al Makki rahimahullah yang dilahirkan pada pertengahan masa pemerintahan Utsman. Adapun nama asli ayahnya yang dikenal dengan Abi Rabah adalah Aslam bekas budaknya Habibah bintu Maisarah bin Abi Khutsaim. Atha’ pada awalnya adalah seorang budak yang berkulit hitam, berhidung pesek, dan lumpuh tangannya. Status beliau tatkala masih kecil adalah sebagai hamba sahaya milik seorang wanita di kota Mekah. Talenta besar yang ada dan semangat tinggi dalam menuntut ilmu agama pada diri Atha’ telah terlihat tatkala ia masih muda. Kesibukannya sebagai budak tidak melalaikan Atha’ dari kewajibannya mencurahkan waktu untuk belajar ilmu agama. Inilah gerangan yang membuat sang majikan akhirnya membebaskan Atha’ karena melihat semangat dan keseriusannya dalam beragama. Majikannya menaruh harapan besar kepada Atha’ agar kelak menjadi orang yang berguna untuk Islam dan kaum muslimin. Maka semenjak saat itu pula Atha’ memiliki kesempatan lebih maksimal untuk menimba ilmu agama setelah sebelumnya belenggu perbudakan membuat ruang geraknya terbatas. Benar saja, sebagai wujud rasa syukurnya Atha’pun memanfaatkan peluang ini dengan semaksimal mungkin untuk mengambil ilmu dari para sahabat yang mulia seperti Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hakim bin Hizam, Rafi’ bin Khadij, Zaid bin Arqam, Shafwan bin Umayyah, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Amr, Ibnu Umar, Jabir, Zaid bin Arqam dan sahabat-sahabat yang lain. Sangat banyak sahabat dan ulama tabiin yang bersua dengan Atha’ dan kesempatan ini tidak disia-siakan olehnya untuk meriwayatkan hadis. Oleh karenanya Atha’ pernah menyatakan, “Aku pernah berjumpa dengan dua ratus sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Atha’ rahimahullah dikenal sebagai sosok yang sabar sepanjang perjalanannya meriwayatkan hadis dan menuntut ilmu. Atha’ adalah cermin kesungguhan dan kesabaran dalam menghadapi rintangan menimba ilmu syar’i hingga beliau pun tidak memedulikan di mana tempat tinggalnya selama menuntut ilmu agama. Ibnu Juraij berkisah, “Masjid adalah tempat tidurnya Atha’ selama 20 tahun, berjuang memperdalam ilmu agama dan ia adalah orang yang paling bagus salatnya.” Setelah sekian tahun lamanya berjuang dan mengerahkan segala potensi yang dimiliki, maka jadilah Atha’ seorang imam dan mufti di tanah haram. Keilmuan beliau telah diakui dan dipersaksikan oleh ulama-ulama tabiin bahkan sahabat sekalipun. Tatkala ada sebagian penduduk Mekah yang datang menemui Ibnu Abbas untuk bertanya dan meminta fatwa kepadanya, maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhupun menyatakan, “Wahai penduduk Mekah, kenapa kalian datang menemuiku untuk bertanya masalah agama padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Abi Rabah?!” Kaum muslimin terutama di Mekah sangat merasakan keberadaan Atha’ sebagai ulama dan mufti (pemberi fatwa) dalam berbagai problematika yang mereka hadapi. Bahkan banyak ulama yang mencari majelisnya Atha’ untuk meriwayatkan hadis atau bertanya tentang urusan agama. Di antara ulama tabi’in yang pernah tercatat sebagai perawi sekaligus muridnya adalah Mujahid bin Jabr, Abu Ishaq As Sabi’i, Abu Az Zubair, Amr bin Dinar, Az Zuhri, Qatadah, Amr bin Syuaib, Malik bin Dinar, Al A’masy, Ayyub As Sikhtiyani, Manshur bin Al Mu’tamir, Yahya bin Abi Katsir, Abu Hanifah, Al Hakam bin Utaibah, dan masih banyak selainnya. Meskipun Atha’ telah dikenal sebagai ulama besar dan mufti di tanah haram, namun hal ini tidak membuat beliau menjadi lupa diri apalagi sombong. Justru sebaliknya semakin banyak ilmu yang dimiliki seorang hamba maka akan menumbuhkan sifat tawadhu pada dirinya. Inilah keistimewaan ulama salaf para pendahulu kita yang saleh dari generasi sahabat dan setelahnya. Sungguh kita akan menjumpai mereka sebagai orang-orang yang sangat tawadhu meskipun ilmu mereka telah mencapai level yang sangat tinggi. Abdul Aziz bin Rufai’ berkisah, “Atha’ pernah ditanya tentang suatu permasalahan.” Maka beliau pun menjawab, “Aku tidak mengetahui jawabannya.” Maka ada seseorang berkata kepadanya, “Tidakkah engkau menjawab dengan pendapatmu sendiri.” Ia menjawab, “Sungguh aku malu kepada Allah untuk beragama di atas bumi ini dengan pendapatku sendiri.” Tentang sifat tawadhunya ini, Ibnu Abi Laila juga menuturkan, “Aku pernah datang menemui Atha’ lantas ia menanyakan beberapa hal kepadaku. Maka para sahabatnya Atha’ merasa heran dengan peristiwa tersebut dan bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa engkau bertanya kepada orang itu.” Atha’ pun menjawab, “Apa yang kalian permasalahkan? Orang ini lebih berilmu dariku.” Figur pemberani dalam menyuarakan kebenaran dan tulus dalam memberikan nasihat juga menjadi satu karakteristik Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah dalam berinteraksi dengan penguasa kaum muslimin. Al Ashmai berkisah, “Suatu hari Atha’ bin Abi Rabah masuk menemui Khalifah Abdul Malik yang sedang duduk di atas tempat istirahatnya, sementara di sekitarnya ada para pembesar kerajaan. Peristiwa ini terjadi di Mekah ketika sang Abdul Malik menunaikan ibadah haji di masa pemerintahannya. Tatkala Abdul Malik melihat kedatangan Atha’, sang khalifah bergegas bangkit dan mengucapkan salam serta menyambut kehadirannya dengan hangat. Lantas Atha’ duduk di hadapan Abdul Malik dan sang Khalifah bertanya kepadanya, “Wahai Abu Muhammad (kunyahnya Atha’) apakah gerangan kebutuhanmu?” Atha’ menjawab, “Wahai Amirul Mukminin! Bertakwalah dengan menjauhi larangan Allah dan larangan Rasul-Nya. Jalanilah kepemimpinan dengan bijaksana dan bertakwalah kepada Allah terhadap urusan anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar. Karena sungguh atas jasa merekalah Anda bisa duduk di atas singgasana ini. Bertakwalah kepada Allah terhadap urusan kaum muslimin yang menjaga tapal perbatasan karena mereka adalah bentengnya kaum muslimin. Perhatikanlah urusan-urusan kaum muslimin karena kelak Anda seorang diri akan ditanya tentang mereka. Dan bertakwalah kepada Allah dalam menyikapi siapa saja yang berada di depan pintu rumahmu (orang-orang yang membutuhkan bantuanmu) jangan Anda melalaikan mereka dan jangan menutup pintu untuk menghindar dari mereka.” Khalifah Abdul Malik menyatakan, “Aku akan lakukan semua nasihatmu.” Maka Atha’ segera bangkit untuk pergi namun Khalifah Abdul Malik segera memegang tangannya seraya mengatakan, “Wahai Abu Muhammad! Sungguh dari tadi engkau hanya memintakan urusan orang lain kepadaku dan kami akan memenuhi permintaan mereka itu. Sekarang sebutkanlah apa yang menjadi kebutuhanmu?” Maka Atha’ menjawab, “Saya tidak mempunyai hajat kepada makhluk.” Lantas Atha’ keluar, maka Abdul Malik mengatakan, “Sungguh ini adalah kemuliaan, sungguh ini adalah kehormatan.” Allah azza wajalla memberikan karunia umur yang panjang kepada Atha’ sehingga usianya mencapai lebih dari 80 tahun. Demikianlah Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah yang telah menghabiskan masa muda hingga lanjut usia dengan ilmu dan amal. Beliau adalah orang yang begitu zuhud terhadap dunia padahal jikalau mau, bisa saja Atha’ mencari dan mengumpulkan harta dunia. Umar bin Dzar menuturkan, “Aku belum pernah melihat orang seperti Atha’. Aku belum pernah melihatnya mengenakan gamis sama sekali dan aku belum pernah melihatnya memakai pakaian yang harganya senilai lima dirham.” Masa tua telah tiba dan fisik pun melemah, namun tidak demikian dengan semangat ibadahnya. Ibnu Juraij mengatakan, “Aku menemani Atha’ selama delapan belas tahun dan fisiknya melemah setelah menginjak usia tua. Namun ia masih mampu berdiri melakukan salat dengan khusyuk dan membaca dua ratus ayat dari surat Al Baqarah tanpa bergerak sama sekali.” Atha meninggal dunia pada tahun 115 H dengan usia 88 tahun dan dimakamkan di kota tempat tinggalnya. Semoga Allah subhanahu wa taala mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya serta memberikan sebaik-baik balasan untuk beliau. Allahu A’lam. Sumber: Majalah Qudwah edisi 46 vol 04 2017 rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah. | http://ismailibnuisa.blogspot.com/2017/02/kemuliaan-hakiki.html Biografi Atha bin Abi Rabah
6 tahun yang lalu
baca 8 menit