Adab & Akhlak

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

wudhu sebelum tidur, malaikat mendoakan ampunan

MERAIH AMPUNAN DENGAN TIDUR Dalam keadaan suci. Dari shahabat Abu Huroiroh -rodhiyallahu ‘anhu- , Bahwasanya Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda. مَنْ بَاتَ طَاهِرًا بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، لَا يَسْتَيْقِظُ سَاعَةً مِنَ اللَّيْلِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا ”Barangsiapa tidur malam dalam keadaan suci, satu malaikat akan bermalam di dalam pakaiannya. Tidaklah ia terbangun pada malam tersebut, kecuali malaikat tadi akan mendoakannya: ’Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena ia tidur dalam keadaan suci.’-“ [ HR. Ibnul Mubarok dalam ”Az-Zuhd” no.1244 (1/441), Al-Baihaqi dalam ”Syu’abil Iman” no.2526 (4/283), dan ”Ad-Da’awat al-Kabir” no. 426. ] Derajat Hadits: Hasan. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- dalam kitab “Ash-Shohihhah” no.2539. Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari shahabat Ibnu Umar -rodhiyallahu ‘anhuma- oleh Ath-Thobaroni dalam ”Al-Kabir” no. 13620, 13621, dan Ibnu Hibban dalam “Shohihnya” no.1051. Dishohihkan Asy-Syaikh Al-Albani -rohimahullah- dalam ”Shohih Al-Jami’” no. 3936. Hanya kepada Allah -Ta’ala- kita meminta pertolongan, agar bisa menggapai ampunan-Nya. Wallahul Muwaffiq (AH) Sumber : YOOK NGAJI YANG ILMIAH https://t.me/yookngaji ❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️ Wudhu sebelum tidur merupakan Sunnah dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Tujuan wudhu sebelum tidur adalah agar setiap muslim bermalam dalam keadaan suci, berharap bila ajalnya tiba, ia meninggal dalam keadaan suci. Hal ini menunjukkan kesiapan muslim untuk memenuhi kematian dalam keadaan suci hatinya. Dan jelas bahwa kesucian hati lebih diutamakan daripada kesucian badan. Dan sunnah ini juga akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan menjauhkan diri dari permainan setan yang akan menimpanya. (Diringkas dari Fathul Bari, 11/125 dan Syarah Shahih Muslim, 9/32) Dari Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu, berkata: “Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: ‘Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah kamu sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710) Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih beliau menulis sebuah bab: “Apabila Bermalam (Tidur) dalam Keadaan Suci” . Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Sungguh terdapat hadits-hadits yang men-jelaskan makna ini yang tidak memenuhi syarat Al-Bukhari dalam Shahih-nya, di antaranya hadits Mu’adz radhiyallahu 'anhu: “Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dengan berdzikir dan dalam keadaan suci, kemudian dia terbangun dari tidurnya di malam hari kemudian dia meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat melainkan Allah akan memberikan itu kepadanya.” HR. Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 5042 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no 5042, Al-Misykat no. 1215 dan di dalam kitab At-Ta’liq Ar-Raghib 1/207-208. Dan beliau mengatakan: “Perintah (untuk berwudhu di sini) adalah sunnah (bukan wajib).” Beliau mengatakan juga: “At-Tirmidzi mengatakan: ‘Tidak ada di dalam hadits-hadits penyebutan wudhu ketika tidur melainkan di dalam hadits ini’.” (lih. Fathul Bari, 11/125) Pernyataan Ibnu Hajar rahimahullah tersebut termaktub dalam kitab beliau Fathul Bari, 11/124-125. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “ Di dalam hadits ini terdapat tiga sunnah yang penting, namun bukan wajib. Salah satu di antaranya adalah berwudhu ketika ingin tidur. Dan bila dia dalam keadaan berwudhu maka cukup baginya (dalam melaksanakan sunnah tersebut) karena yang dimaksud adalah (tidur) dalam keadaan suci.” (Syarah Shahih Muslim, 9/32) Demikianlah sunnah yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim memperhatikannya. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhu bercerita: “Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  terjaga di suatu malam lalu beliau menunaikan hajatnya dan kemudian membasuh wajah dan tangannya lalu tidur.”  HR. Al-Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4217. Penjelasan ini dikutip dari : http://asysyariah.com/jadikan-istirahatmu-bernilai-di-sisi-allah/ Sebagai tambahan faedah, kami cantumkan beberap dzikir sebelum tidur lainnya yang mungkin diantara kita belum mengetahuinya. BERLEPAS DIRI DARI DOSA TERBESAR –‘SYIRIK’- SEBELUM TIDUR Dengan membaca surat “Al-Kafirun”. Dari Farwah bin Naufal, dari ayahnya (shahabat Naufal bin Mu’awiyah -rodhiyallahu ‘anhu-): “Bahwasanya Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan kepada Naufal rodhiyallahu ‘anhu: «اقْرَأْ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ثُمَّ نَمْ عَلَى خَاتِمَتِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ» “Bacalah “Qul Yaa Ayyuhal-Kafirun"  (maksudnya: Surat Al-Kafirun, pen.) , kemudian tidurlah selepas itu. Karena ia adalah (bentuk) pembebasan diri dari kesyirikan.”  [ HR. Ahmad no. 23807, Abu Dawud no. 5055 , Al-Hakim no. 2077. ] , Derajat Hadits: Hasan. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- dalam “Shohih Al-Jami’” no. 292. Wallahul Muwaffiq (AH) Sumber : YOOK NGAJI YANG ILMIAH https://t.me/yookngaji ❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️ DOA PELINDUNG DARI KENGERIAN DI ALAM MIMPI Ada seseorang mendatangi Rasulullah ﷺ kemudian mengeluhkan tentang kengerian-kengerian yang dia lihat didalam mimpinya. Yaitu sesuatu yang menakutkan dan menggelisahkan. Maka Rosulullah ﷺ pun mengajarkan sebuah doa kepada orang tersebut : "Apabila engkau pergi menuju pembaringan mu maka ucapkanlah : أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّـهِ التامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ ومِنْ شرِّ عِبَادِهِ وَ مِنْ هَمَزَاتِ  الشَّيَاطِيْنِ ، وَ أَنْ يَحْضُرُوْنَ  Artinya : "Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemurkaan-Nya, siksa-Nya, kejelekan para​ hamba-Nya dan dari godaan setan dan kehadiran nya."_ Hadits Hasan lighairih Sumber: [ Silsilah as-Shahihah no. 264] WhatsApp KITA SATU https://bit.ly/bergabung double-bed-read-pillows-sleep by Pixabay
7 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh jowan ichsan

jauhilah sikap pamer

Pamer, Lagi-Lagi Pamer Rasanya, sifat satu ini sudah kadung tersohor bagi bangsa manusia. Bukan tersohor karena sesuatu positif yang menakjubkan, namun karena manusia sudah tahu akan tercelanya sikap pamer. Baik yang tua maupun yang muda, semuanya pasti menyadari jeleknya sikap pamer. Terlebih, di bangku pendidikan tingkat dasar pun, buruknya sifat ini sudah dikenal dan dipelajari. Jadi tema pamer bukanlah tema baru dan asing buat kita. Mayoritas telah tahu akan jeleknya sikap ini, tetapi anehnya mayoritas manusia sering terjatuh dalam sikap ini, kok aneh ya? Sobat muda, suka pamer hakikatnya bisa dilakukan dengan ragam macam sikap dan perbuatan. Bisa diaplikasikan pada harta, kedudukan, nasab (garis keturunan), bisa pula pada ibadah dan seluruh amalan saleh. Jadi, semua perkara bisa dipamerkan. Jangankan yang berharta banyak, orang miskinpun bisa juga pamer. Jangankan yang beramal saleh, yang nggak saleh bisa pula pamer dengan kemaksiatannya. Oleh karenanya dari segala sisi kehidupan, manusia bisa tertimpa sikap suka pamer. Jadi, masing-masing kita jangan merasa aman dari sikap pamer ini ya. Sifat pamer ini, sudah ada sejak jaman dulu, bahkan sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalian ingat bukan salah seorang kaya raya yang Allah subhanahu wata’ala tenggelamkan dirinya dan hartanya karena sikap sombong, bangga diri dan kufur nikmat. Ya, dialah Qarun yang ditenggelamkan ke bumi, dirinya dan semua hartanya. Lihatlah sikap pamernya yang Allah subhanahu wata’ala cela dalam Al Quran, . “Ia (Qarun) berkata, ‘Aku diberikan (harta itu) semata-mata karena ilmu yang ada padaku.’ Tidakkah ia tahu bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah (Qarun) kepada kaumnya dengan segala perhiasan miliknya. Berkatalah orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia, ‘Aduhai seandainya aku memiliki seperti apa yang dimiliki Qarun sesungguhnya ia benar-benar memiliki keuntungan yang besar.’” [Q.S. Al Qashash:78-79] Lihatlah bagaimana Allah menceritakan kepada kita tercelanya sikap Qarun yang sengaja memamerkan perbendaharaan dunia miliknya. Lihatlah pula sikap sombong berbalut sikap pamer dengan ilmu yang ia miliki sehingga menyandarkan hasil kerjanya kepada dirinya, tidak kepada Allah. Harta yang harusnya dipakai untuk ketaatan, justru ia pakai sebagai sarana pamer, bangga diri, takabur, dan merendahkan orang lain. Allah pun murka kepadanya dan Allah subhanahu wata’ala tenggelamkan dia beserta seluruh hartanya. Demikianlah, nggak berguna harta yang melimpah yang dipamerkan bila itu justru membuat Allah murka. Kecanggihan Teknologi, Wasilah kepada Sikap Pamer Sobat muda, di zaman serba canggih ini, rupanya sifat pamer menempati ruang yang luas nan nyaman untuk dilakukan. Kok bisa? Ya, orang jadi mudah berbuat pamer karena ada faktor teknologi yang mendukungnya. Parahnya, dia bisa pamer bukan cuma ke satu dua orang loh, bahkan ke semua orang di seluruh pelosok dunia. “BB lagi rusak nih, untung masih ada iPhone” atau “Akhirnya punya moge (motor gedhe) juga.” Yah, pamer nih, terasa nggak sih kalau ente lagi pamer? Punya perasaan dong dengan orang yang nggak sepertimu. Selain model pamer tadi, ada lagi lo bentuk pamer lainnya: pamer jabatan, kepandaian, bahkan pamer tampang. Kacau kan kalo gitu, bisa membikin lawan jenis tergoda dong lihat tampangmu di pampangin di medsos. Sobat muda, walau terkadang pamernya berupa gambar foto, tanpa kata dan ucapan, tetap saja ini adalah sikap pamer, ya kan? Kalau kita nggak bisa mengendalikan hati sedangkan fasilitas pamer ini banyak dan mudah didapat, bahaya ‘kan buat agama kita. Ancaman Terhadap Perilaku Pamer dalam Ibadah Sobat muda, sikap pamer hakikatnya bukan hanya menimpa orang yang jahil tentang agamanya, bahkan pamer juga banyak menimpa kaum berilmu. Ya kalau orang-orang umum biasa membanggakan kemewahan, kepandaian, tampang, dan sebagainya, maka ahli ilmu dan ibadah akan berbangga dan memamerkan ilmu serta ibadahnya. Seorang akan memperbaiki dan memperindah salatnya ketika dilihat manusia, membaguskan suara saat membaca Al Quran, bahkan bersikap dan berbuat layaknya seorang yang zuhud terhadap dunia dan hanya mementingkan akhirat. Semua dilakonin dalam rangka pamer ketaatan dan ibadah. Sobat muda, inilah riya’ yang sesungguhnya. Riya yang dicela dan merupakan bentuk syirik kecil yang haram hukumnya.  Allah subhanahu wata’ala berfirman menceritakan keadaan kaum munafikin yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan jika mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya’ (dengan salat itu) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” [ Q.S. An Nisa:142] Ya, ibadah yang dilakukannya tidak lain tidak bukan hanya untuk dilihat oleh manusia, tiada niatan untuk taat kepada Allah atau ikhlas karena-Nya. Atau ia beribadah tujuannya Lillah wa lighairihi, ia niatkan untuk Allah subhanahu wata’ala sekaligus untuk selainnya. Allah tidak menerima ibadah dari seorang yang riya’, terlebih Allah mencela dan mengancam mereka para tukang pamer ibadah,  “Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, (yaitu) orang-orang yang berbuat riya.” [Q.S. Al Ma’un: 4-6] “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian membatalkan sadaqah-sadaqah kalian dengan cara mengungkit-ungkit (pemberian) serta menyakiti (yang menerimanya), layaknya seorang yang menginfaqkan hartanya karena pamer di hadapan manusia sedangkan mereka tidak beriman dengan Allah dan hari akhir. Permisalannya seperti batu yang licin di atasnya ada tanah. Tatkala tertimpa hujan lebat jadilah batu itu licin kembali. Mereka tiada memeroleh sesuatu apapun dari apa yang mereka kerjaan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” [Q.S. Al Baqarah:264] Dalam dua ayat yang mulia tersebut, nyatalah akan celaan orang yang suka pamer dalam ibadahnya. Yang pertama Allah subhanahu wata’ala sebutkan dengan konteks “kecelakaan (Wail), yang kedua Allah sebutkan dalam konteks larangan dan penyerupaan dengan seorang yang membatalkan sedekah mereka. Sobat muda, meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di antara kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Tidak mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya tetap sama: ingin menunjukkan amal, ibadah, dan segala aktivitasnya di hadapan manusia. Sobat muda, sikap pamer tentu akan membuat pelakunya tercela dihadapan Allah dan manusia. baik pamer yang sifatnya duniawi, ataupun pamer dalam hal-hal yang bersifat ukhrawi. Kita memohon kepada Allah untuk menjaga hati kita, amalan kita dari sifat pamer ini. Wallahul mustaan. [Ustadz Hammam] Majalah Tashfiyah Edisi 52  
8 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

derajat kemuliaan hamba, ada pada kekuasaan allah

Derajat Hamba, Ada Pada Kekuasaan Allah Ditulis oleh: Ustadz Abu Nashim Mukhtar hafizhahullah Seorang guru sedang memegang sekeping uang koin telapak tangannya. Di hadapan muridnya, uang koin senilai 10 keping itu diangkat dan diturunkan. Setelah selesai, sang guru bertanya, "Berapakah nilai uang koin ini saat aku mengangkatnya tadi?" "10 keping" ,  .jawab muridnya. "Saat Aku menurunkannya, berapakah nilai uang koin ini?", s ang guru bertanya untuk yang kedua kalinya. Muridnya menjawab dengan penuh keheranan, "Bukankah tetap senilai 10 keping, wahai guru??"  Gurunya lalu menerangkan, " Itulah manusia,  wahai muridku.  Ia tidak mampu meninggikan atau merendahkan apapun!!!"  Subhanallah!  Benar-benar kalimat bijak!  Kejadian di atas pun benar-benar nyata dan benar-benar ada. Pelajaran berharga telah ditanamkan oleh sang guru kepada muridnya untuk tidak mengharapkan kemuliaan dan derajat dari manusia. Ia ingin menegaskan kepada muridnya untuk tidak takut dihinakan oleh orang, hanya karena ingin menegakkan syariat Allah. Sebab, hanya Allah yang mampu memuliakan atau menghinakan. "Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang mampu memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." [Q.s.  Al Hajj:18]. Saudara Pembaca, jika seorang manusia tidak memiliki kemampuan untuk meninggikan atau merendahkan, bukankah aneh dan ganjil jika ia : Masih memelihara sikap ujub dan sombong di dalam dirinya? Mengapa ia sombong dan takabur? Kenapa ia tidak merendahkan dirinya di hadapan Allah yang Maha Tinggi? Mengapa ia meremehkan saudaranya? Mengapa ia menganggap dirinya serba bisa, padahal untuk mengobati sebuah luka di punggungnya, ia masih membutuhkan bantuan orang lain? Rasulullah bersabda di dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim, "Dan tidak ada seorang pun hamba yang mau tawadhu karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya. Imam Ibnu Hazm bertutur dalam kalimat kalimat bijak, "Barangsiapa diserang oleh penyakit ujub, hendaknya ia segera merenungi aib-aib yang ada pada dirinya. Jika ia diserang penyakit ujub dengan merasa memiliki budi pekerti yang baik, hendaknya ia segera memeriksa kembali bentuk perilaku buruknya. Apabila ia tidak mampu menemukan di manakah letak perilaku perilaku buruknya, sampai akhirnya ia merasa tidak memiliki perilaku buruk, hendaknya ia menyadari jika musibah itu berlaku untuk selamanya. Berarti dia adalah manusia yang paling lengkap kekurangannya, aib yang ada pada dirinya terlalu besar, sementara sangat lemah tamyiznya (kemampuan untuk memilah dan memilih serta mengetahui aibnya)," (Mudaawaat hal 88l) Wahai hamba yang lemah, jika engkau tidak mampu menemukan di manakah aib dan kesalahan pada sendiri, maka ucapkanlah selamat tinggal untuk kelezatan taubat. Hamba yang cerdas adalah yang mampu menentukan secara rinci, di manakah letak aib aib dan kesalahannya. Sebab, setelah itu, ia berusaha untuk mencabutnya dari dalam dirinya. Wahai hamba yang lemah, tak perlu ujub dan tak usah sombong! Di dalam dirimu tersembunyi aib dan cacat yang tak terbilang. Jangan mudah menghinakan orang lain! Terimalah kebenaran dengan dada yang lapang Banyak-banyaklah merenungi firman Nya قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran:26) forest-mushrooms-nature-autumn by Pixabay Sumber : Qudwah Edisi 5 Vol 01 2013 Disalin oleh Happy Islam
8 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Abu Abdillah

meraup ketenangan dengan tawakkal (kisah hatim al-asham)

KISAH HATIM AL-ASHAM Hatim al-Asham termasuk di antara pembesar orang-orang shaleh. Hatinya sudah rindu ingin menunaikan haji pada suatu tahun di antara tahun-tahun yang ada. Namun ia belum jua memiliki biaya untuk berhaji, tidak boleh mengadakan perjalanannya, bahkan haji itu tidak wajib tanpa meninggalkan biaya hidup bagi anak-anaknya tanpa keridhaan mereka. Ketika waktu yang dijanjikan telah tiba, puterinya melihat dirinya bersedih dan menangis, sedang keshalehan terdapat pada puterinya tersebut. Ia berkata kepadanya, . “Wahai ayahku, gerangan apa yang membuat engkau menangis? Ia berkata, “Haji telah tiba.” “Lalu mengapa engkau tidak pergi berhaji?” tanya sang puteri. “Nafkah” jawab sang ayah. “Allah yang akan memberikan engkau rezeki,” jawab si puteri. “Lalu apa nafkah kalian?” tanya sang ayah lagi. “Allah yang akan memberikan kami rezeki,” jawab sang puteri. “Tetapi perkaranya kembali kepada ibumu,” kata sang ayah. Pergilah puterinya tersebut untuk mengingatkan Sang ibu. Hingga akhirnya, ibu dan anak-anak lelakinya berkata kepada Hatim,  “Pergilah berhaji, Allah yang akan memberikan kami rezeki.” Hatim pun berangkat berhaji. Ia hanya meninggalkan nafkah untuk tiga hari buat mereka. Ia berangkat berhaji sementara tidak ada sedikit harta pun yang bersamanya yang dapat digunakan untuk mencukupi keperluannya. Adalah ia berjalan di belakang kafilah. Di awal perjalanan, seekor kalajengking menyengat pemimpin kafilah, membuat mereka bertanya siapa yang dapat meruqyah dan mengubatinya. Mereka pun mendapati Hatim. Lantas ia meruqyahnya sehingga Allah menyembuhkan pemimpin kafilah dari kebinasaannya. Pimpinan kafilah berkata, “Nafkah pulang dan pergi (Hatim), saya yang menanggungnya.” Hatim pun berdo’a, “Ya Allah, ini adalah pemeliharaan-Mu kepadaku, maka perlihatkanlah pemeliharaan-Mu kepada keluargaku.” Telah berlalu masa tiga hari sementara nafkah yang ditinggalkan di sisi anak-anak telah habis. Mulailah rasa lapar menguasi mereka, sehingga mereka mulai mencela si anak perempuan tadi. Namun ia hanya tertawa.  Mereka berkata, “Apa yang membuatmu tertawa sementara rasa lapar hampir membunuh kita.”  Ia balik bertanya, “Ayah kita ini Razzaq (Sang Pemberi Rezeki) atau pemakan rezeki?” “Pemakan rezeki, kerana ar-Razzaq itu hanyalah Allah,” jawab mereka. “Kalau begitu telah pergi pemakan rezeki dan tinggallah ar-Razzaq,” jawab anak perempuan. Ketika ia tengah berbicara dengan mereka, tiba-tiba pintu diketuk. “Siapa di pintu?” tanya mereka. “Sesungguhnya Amirul Mukminin meminta air minum kepada kalian,” jawab si pengetuk pintu. Kemudian, mereka pun memenuhi geribah dengan air. Minumlah Sang Khalifah, maka ia merasakan kelezatan pada air tersebut yang belum pernah dirasakannya.  Ia bertanya, “Dari mana kalian mendapatkan air ini?”  “Dari rumah Hatim,” jawab mereka.  “Kalian panggil dia supaya aku dapat membalas budinya,” perintah Khalifah.  “Ia sedang berhaji,” jawab mereka.  Maka Amirul Mukminin melepas ikat pinggangnya –dan itu merupakan sabuk yang terbuat dari kain tenun mewah yang bertabur permata – seraya berkata,  “Ini untuk mereka (keluarga Hatim).”  Kemudian ia berkata, “Siapa yang ia memiliki tangan atasku –yaitu siapa yang dia mencintaiku-?”  Maka tiap menteri dan pedagang melepaskan ikat pinggangnya untuk mereka hingga menumpuklah ikat pinggang-ikat pinggang tersebut. Kemudian salah seorang pedagang membeli semua ikat pinggang tersebut dengan emas sepenuh rumah yang dapat mencukupi keperluan mereka (keluarga Hatim) hingga ajal menjemput, lalu mengembalikan lagi ikat pinggang-ikat pinggang itu kepada mereka (para pemiliknya). Mereka (keluarga Hatim) membeli makanan dan tertawa ceria. Namun si anak perempuan malah menangis.  Sang ibu berkata kepadanya, “Perkaramu sungguh mengherankan wahai puteriku. Ketika kami menangis kerana lapar, kamu malah tertawa. Namun ketika Allah telah memberikan jalan keluar kepada kita, kamu malah menangis?!” Sang anak menjawab, “Makhluk yang tidak menguasai manfaat maupun madharat untuk dirinya sendiri ini (yaitu Khalifah) pun melihat kepada kita dengan pandangan hiba yang mencukupi kita dari kematian, lalu bagaimana kiranya dengan Raja para raja?!” Itulah kepercayaan (tsiqah) kepada Allah. Itulah kepercayaan kepada ar-Razzaq yang memiliki kekuatan lagi sangat kukuh. Itulah kekuatan iman dan kekuatan tawakkal kepada Allah. Maha suci Allah, di mana kita dibanding mereka?! Ketika Allah memilih engkau untuk menempuh jalan hidayah-Nya, bukanlah kerana engkau istimewa atau kerana ketaatan yang engkau kerjakan! Namun itu semata rahmat dari-Nya yang menyelimutimu. Boleh jadi, Ia akan mencabutnya darimu bila saja pun. Oleh kerana itu, janganlah engkau tertipu dengan amalanmu maupun ibadahmu!  Janganlah engkau kira kecil amalan orang-orang yang telah sesat dari jalan-Nya! Seandainya bukan kerana rahmat Allah kepadamu, niscaya engkau sudah menduduki tempatnya. Ulangilah membaca kisah ini dengan perlahan dan tenang! Dari fawaid asy-Syaikh Fawwas al-Madkhali hafizhahullah. Dinukil dari Sahab ( http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=137426 ) 📖Sumber : Majmu’ah an-Nahjul Wadhih Alih bahasa : Syabab Forum Salafy ***                       <=======«<🌴»>=======> Diulang Perkongsian Dengan sedikit Pengeditan Bagi kesesuaian Bahasa Tanpa mengubah Maksud Oleh: 🚇Group WA & Telegram  : 🌴@InginKenalSunnah 📮Klik "JOIN" https://goo.gl/Op9xa4
8 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

cara mengubah sifat sombong menjadi tawadhu

CARA MENGHILANGKAN SIFAT SOMBONG DAN MENJADI RENDAH HATI Al Imam Ibnu Baz rahimahullah Pertanyaan: . Banyak sekali teks syariat dari Al-Qur'an dan sunah yang memerintahkan untuk bersikap tawaduk (rendah hati) kepada Allah dan seluruh makhluk, memuji orang -orang yang bersikap tawaduk, dan menjelaskan balasan yang akan mereka terima di dunia. Selain itu, banyak sekali teks yang melarang sikap sombong dan menjelaskan hukuman bagi orang -orang yang sombong. Pertanyaannya, bagaimana cara menghilangkan sifat sombong dan menjadi orang yang tawaduk? Jawaban:  Tidak diragukan lagi bahwa setiap muslim harus waspada dari sifat sombong dan selalu bersikap rendah hati. Barangsiapa "Berendah hati karena Allah satu derajat, maka Allah akan meninggikan satu derajat." Barangsiapa bersikap sombong, maka dia terancam dihinakan Allah. Semoga Allah melindungi kita dari hal itu. Seorang lelaki berkata, "Rasulullah, aku ingin pakaianku baik dan sandalku baik. Apakah hal itu termasuk kesombongan?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia." "Bathrul haqq" artinya menolak kebenaran. Jika kebenaran tersebut bertentangan dengan hawa nafsunya, maka dia menolaknya. "Ghamtu an-nas" artinya merendahkan orang lain . Jadi, dalam pandangannya, semua orang lebih rendah dari dirinya. Dia meremehkan mereka dan menganggap dirinya di atas mereka, baik karena kefasihan, kekayaan, pekerjaan atau sebab-sebab lain yang ada dalam imajinasinya, padahal bisa saja sebenarnya dia adalah orang yang fakir. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda di dalam hadis sahih, "Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak akan disucikan oleh Allah, dan tidak dipandang serta bagi mereka siksaan yang pedih. Mereka adalah lelaki tua yang berzina, raja pendusta, dan orang miskin yang sombong." "'Ail" maksudnya adalah orang yang fakir, tetapi bersikap sombong dan diuji dengan kesombongan. Jadi, kesombongan membuatnya merasa memiliki harta dan kekayaan. Meskipun fakir, dia bersikap sombong. Jadi, kesombongan sudah menjadi watak dan karakternya. Adapun tawaduk adalah sikap lemah lembut, berakhlak mulia, dan tidak sombong kepada orang lain , seperti sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan tempatnya paling dekat denganku pada hari kiamat kelak adalah orang yang paling baik akhlaknya." Kebajikan adalah akhlak yang mulia Oleh karena itu, hendaknya dia mengingat keagungan Allah dan ingat bahwa Dialah yang telah memberinya harta, memberinya pekerjaan, memberinya kedudukan, memberinya wajah rupawan, dan sebagainya. Dia hendaknya ingat bahwa salah satu cara untuk menyukuri hal itu adalah dengan merendahkan diri dan tidak bersikap sombong karena harta, pekerjaan, keturunan, ketampanan, kekuatan atau yang lain . Sebaliknya, dia harus ingat bahwa semua itu adalah karunia Allah dan salah satu cara untuk menyukurinya adalah dengan bersikap tawaduk, merendahkan diri, dan tidak bersikap sombong kepada saudara-saudaranya. Jadi, kesombongan akan menyebabkan seseorang bertindak zalim, berbohong, dan tidak adil dalam perkataan dan perbuatan. Dia akan melihat dirinya lebih tinggi dari saudaranya, baik dalam masalah harta, ketampanan, pekerjaan, keturunan atau hal-hal lain yang ada dalam imajinasinya. Oleh karena itu, Nabi Shallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain Maksudnya adalah menolak kebenaran jika kebenaran itu bertentangan dengan hawa nafsunya. Inilah yang dinamakan kesombongan. "Ghamtu an-nas" artinya meremehkan orang lain . Dia menganggap mereka lebih rendah dari dirinya, tidak pantas untuk mendapatkan perlakuan adil, tidak pantas disalami terlebih dahulu, tidak pantas untuk dipenuhi undangannya, dan sebagainya. Jika dia ingat kelemahannya, bahwa dia diciptakan dari setetes air mani atau setetes air yang hina, bahwa dia membutuhkan WC untuk buang air besar, bahwa dia makan makanan dari lubang ini lalu mengeluarkannya dari lubang ini, dan bahwa jika dia tidak istiqamah dalam menaati Allah, maka dia akan masuk neraka, maka dia akan mengetahui kelemahannya, bahwa dia adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, dan tidak pantas bersikap sombong. https://www.binbaz.org.sa/fatawa/2091 http://telegram.me/ukhwh كيفية علاج الكبر واكتساب التواضع تكاثرت النصوص الشرعية من الكتاب والسنة في الأمر بالتواضع للحق والخلق، والثناء على المتواضعين وذكر ثوابهم العاجل، كما تكاثرت النصوص كالنهي عن الكبر والتكبر والتعاظم وبيان عقوبة المتكبرين.. فبأي شيء يكون علاج الكبر واكتساب التواضع؟ لا شك أن الواجب على كل مسلم أن يحذر الكبر وأن يتواضع و((من تواضع لله درجة رفعه الله درجة))[1] ومن تكبر فهو على خطر أن يقصمه الله - نسأل الله العافية - قال رجل: (يا رسول الله إني أحب أن يكون ثوبي حسناً ونعلي حسناً أفذلك من الكبر؟ فقال الرسول صلى الله عليه وسلم: ((إن الله جميل يحب الجمال الكبر بطر الحق وغمط الناس))[2] بطر الحق أي رد الحق، إذا خالف هواه رده، وغمط الناس أي احتقار الناس، فالناس في عينه دونه، يحتقرهم، يرى نفسه فوقهم؛ إما لفصاحته وإما لغناه وإما لوظيفته، وإما لأسباب أخرى يتخيلها، وقد يكون فقيراً، في الحديث الصحيح يقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولا ينظر إليهم ولهم عذاب أليم: شيخ زان، وملك كذاب، وعائل مستكبر))[3] عائل أي فقير ومع فقره يستكبر ويبتلى بالكبر، فالكبر يدعو إليه المال والغنى، ومع فقره فهو يستكبر فالكبر سجية له وطبيعة له. أما التواضع فهو لين الجانب، وحسن الخلق، وعدم الترفع على الناس، كما قال صلى الله عليه وسلم: ((إن من أحبكم إليَّ وأقربكم مني مجلساً يوم القيامة أحاسنكم أخلاقاً))[4]، ((البر حسن الخلق))[5] فليتذكر عظمة الله ويتذكر أن الله هو الذي أعطاه المال، وأعطاه الوظيفة، وأعطاه الجاه وأعطاه الوجه الحسن، أو غير ذلك، يتذكر أن من شكر ذلك التواضع وعدم التكبر، لا يتكبر لمال أو لوظيفة أو لنسب أو لجمال أو لقوة أو لغير ذلك، بل يتذكر أن هذه من نعم الله، وأن من شكرها أن يتواضع وأن يحقر نفسه، وألا يتكبر على إخوانه ويترفع عليهم، فالتكبر يدعو إلى الظلم والكذب، وعدم الإنصاف في القول والعمل، يرى نفسه فوق أخيه؛ إما لمال وإما لجمال وإما لوظيفة وإما لنسب وإما لأشياء متوهمة، ولهذا قال صلى الله عليه وسلم: ((الكبر بطر الحق وغمط الناس))[6] يعني رد الحق إذا خالف هواه هذا تكبر، وغمط الناس احتقار الناس، يراهم دونه وأنهم ليسوا جديرين بأن ينصفهم أو يبدأهم بالسلام، أو يجيب دعوتهم أو ما أشبه ذلك. وإذا تذكر ضعفه وأنه من نطفة ضعيفة من ماء مهين وأنه يحتاج إلى حمام لقضاء الحاجة، وأنه يأكل من هنا ويخرج من هنا، وأنه إذا لم يستقم على طاعة الله صار إلى النار عرف ضعفه، وأنه مسكين ولا يجوز له أن يتكبر. [1] رواه ابن ماجه في الزهد برقم 4176، وابن حبان في كتاب الحظر والإباحة رقم 5678، والإمام أحمد في مسنده. [2] رواه مسلم في الإيمان برقم 131. واللفظ له، ورواه أحمد في باقي مسند المكثرين برقم 3600. [3] رواه مسلم في الإيمان برقم 156، ورواه أحمد في باقي مسند المكثرين برقم 9837. [4] رواه الترمذي في البر والصلة برقم 1941. [5] رواه مسلم في البر والصلة برقم 4632، والترمذي في الزهد برقم 2311. [6] رواه مسلم في الإيمان برقم 131 واللفظ له، ورواه أحمد في باقي مسند المكثرين برقم 3600.
8 tahun yang lalu
baca 6 menit

Tag Terkait