Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

ibnu aqil : cinta di balik kalung mutiara bertali merah

3 tahun yang lalu
baca 6 menit

Ibnu Aqil : Cinta di Balik Kalung Mutiara Bertali Merah

Ibnu Aqil : Cinta di Balik Kalung Mutiara Bertali Merah

Versi I : Versi Ibnu Aqil

Adz Dzahabi  (wafat 748 H) dalam Siyar A'lam Nubala (14/332) menukil Abul Muzaffar Sibt Ibnil Jauzi yang menghikayatkan dari Ibnu Aqil.

Ibnu Aqil bercerita :

“Saya berangkat berhaji. Di perjalanan, saya menemukan kalung mutiara bertali merah. Rupanya, setelah itu, ada orang buta sudah lanjut usia mengumumkan telah kehilangannya. Beliau menjanjikan akan memberi 100 dinar bagi yang menemukannya. Saya kembalikan kalung mutiara itu kepada beliau. “Terimalah 100 dinar ini!”, katanya. Namun, saya menolak. Setelah haji, saya berangkat ke negeri Syam dan mengunjungi Baitul Maqdis. Dalam perjalanan menuju Baghdad, saya singgah di sebuah masjid Aleppo. Dalam kondisi kedinginan dan lapar, jamaah meminta saya menjadi imam salat. Setelah saya mengimami salat, mereka menjamu saya dengan makanan. Hari itu adalah hari pertama di bulan Ramadhan” 

Ibnu Aqil melanjutkan :

“Jamaah masjid menyampaikan bahwa, “ Imam masjid kami baru saja meninggal dunia. Tolonglah agar Anda menjadi imam selama bulan Ramadhan”. Saya terima tawaran itu. “Imam masjid kami punya seorang putri”, lanjut mereka. Saya kemudian dinikahkan dengan putri dimaksud”

Setahun kemudian, istrinya melahirkan anak laki-laki. Namun, istrinya sempat jatuh sakit setelah melahirkan. Suatu hari, Ibnu Aqil memperhatikan istrinya yang saat itu sedang memakai kalung mutiara bertali merah seperti kalung yang pernah ditemukannya. Ibnu Aqil lalu bercerita kepada istrinya tentang kalung mutiara itu. Istrinya menangis mendengar cerita itu.

“ Demi Allah! Ternyata orang itu adalah engkau! Sungguh, ayahku dahulu sering menangis dan berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah seorang suami untuk putriku ini seperti laki-laki yang mau mengembalikan kalung mutiara bertali merah kepadaku”

“Ternyata, doa ayahku dikabulkan Allah”, lanjut istrinya. Tidak lama kemudian, istrinya meninggal dunia. Kalung mutiara itu lalu dibawa pulang ke Baghdad oleh Ibnu Aqil.


Versi II : Versi Qadhi Abu Bakar al Anshari

Ibnu Rajab (wafat 795 h ) dalam Dzail Tabaqat Hanabilah (1/443) meriwayatkan kisah Qadhi Abu Bakar al Anshari.

Qadhi Abu Bakar bercerita:

“Saya menetap di Mekkah. Suatu hari saya sangat lapar namun tidak ada sedikitpun makanan yang bisa menghilangkan lapar. Di jalan, saya menemukan kantong sutra dengan tali pengikat dari sutra juga. Kantong itu saya bawa pulang ke rumah. Setelah saya buka, isinya mutiara-mutiara indah yang belum pernah saya lihat sebelumnya”

Qadhi Abu Bakar melanjutkan:

“Cepat-cepat saya keluar rumah. Ternyata ada seorang kakek mengumumkan telah kehilangan kantong sutra. Kakek itu membawa kampil kain berisi 500 dinar. Katanya, “500 dinar ini akan saya berikan kepada yang mau mengembalikan kantong sutra berisi mutiara”

Kata Qadhi Abu Bakar :

“Saya sedang kesulitan. Saya juga lapar. Saya kembalikan saja kantong sutra itu kepadanya dan saya bisa mengambil 500 dinar sebagai hadiah agar dapat saya manfaatkan”

Qadhi Abu Bakar lalu mengajak kakek itu ke rumahnya. Kakek itu secara tepat bisa menyebutkan tanda-tanda kantong sutra, tanda tali pengikatnya, tanda mutiara-mutiara berikut jumlahnya. Maka, Qadhi Abu Bakar mengeluarkan dan menyerahkan kantong sutra itu kepadanya. Sementara, 500 dinar yang dijanjikan akhirnya ditolaknya.Walaupun telah dipaksa berulang kali, Qadhi Abu Bakar tetap menolaknya. Kakek itu lalu pergi.

Qadhi Abu Bakar beberapa waktu kemudian meninggalkan Mekkah melalui jalur laut. Ternyata kapal yang dinaikinya pecah terhantam ombak dan karam. Banyak penumpang tenggelam. Adapun Qadhi Abu Bakar termasuk yang selamat dikarenakan berpegang sepotong kayu bagian kapal. Beberapa waktu, Qadhi Abu Bakar terombang-ambing di lautan tanpa mengetahui arah. Sampai, beliau terdampar di sebuah dataran berpenghuni.

“Saya memilih istirahat di sebuah masjid”,lanjut beliau.

Orang-orang di sana sempat mendengarkan bacaan Al Quran dari Qadhi Abu Bakar. Maka, penduduk kampung itu meminta beliau agar bersedia mengajarkan Al Quran untuk mereka. Penduduk kampung banyak yang memberi uang kepada beliau.

Selanjutnya, bukan hanya Al Quran yang diajarkan. Tulis menulis pun diajarkan. Setelah beberapa lama mengajar di sana, Qadhi Abu Bakar diberi tawaran untuk menikah.”Ada anak gadis yatim di sini. Dia cukup kaya raya”, kata mereka. Mulanya beliau menolak, namun karena disuruh-suruh, akhirnya, tawaran tersebut diiyakan.

Malam pengantin, Qadhi Abu Bakar melihat istrinya mengenakan kalung mutiara seperti mutiara-mutiara yang pernah ditemukannya. Beliau lantas bercerita tentang kisahnya bersama mutiara-mutiara tersebut.

Mendengar kisah itu, orang-orang langsung bertakbir dan bertahlil dengan keras hingga terdengar di sudut-sudut kampung.

“Kakek yang Anda kisahkan tadi adalah ayah dari gadis yang Anda nikahi hari ini”, kata mereka. “Kakek itu dulu selalu berdoa ; “Ya Allah, pertemukanlah aku dengan orang itu supaya bisa saya nikahkan dengan putriku”.

Setelah menikah, Qadhi Abu Bakar menetap di sana beberapa waktu sampai Allah karuniakan dua anak laki-laki. Istrinya lalu meninggal yang disusul kedua anak laki-lakinya.

“Mutiara-mutiara itu lalu saya jual senilai 100.000 dinar. Harta yang saya miliki dan kalian lihat sekarang ini, adalah sisa-sisa dari hasil penjualan tersebut”, jelas Qadhi Abu Bakar.

Kesimpulan :

Ibnu Rajab (Dzail Tabaqat 1/443) menerangkan :

“Cerita di atas (Qadhi Abu Bakar) dibawakan oleh al Hafiz Yusuf bin Khalil dalam Mu'jam-nya. Sementara Ibnu Najjar dalam Tarikh-nya mengatakan ; Cerita ini sangat menakjubkan”.

“Namun, saya menilai Qadhi Abu Bakar bercerita tentang orang lain", lanjut Ibnu Rajab.

Mengenai cerita kalung mutiara versi I yang disebutkan Abu Muzaffar dari Ibnu Aqil, Ibnu Rajab menilai, “Abu Muzaffar tidak bisa dijadikan patokan dalam nukilan-nukilannya. Beliau juga tidak menyebutkan sanad bersambung sampai kepada Ibnu Aqil. Beliau pun tidak menyebutkan sumber referensi yang terpercaya. Ibnu Aqil sendiri tidak ada data yang menunjukan beliau pernah ke negeri Syam'

Lalu bagaimana?

“Menisbatkan kisah di atas kepada Qadhi Abu Bakar al Anshari tentu lebih tepat. Wallahu a'lam”, tutup Ibnu Rajab.

Tiga catatan dari artikel ini :

1. Cinta selalu saja mewartakan tentang keajaiban-keajaiban. Ada cerita indah yang walau tersembunyi, pada akhirnya bersinar cerah. Jodoh adalah rahasia Allah. Jarak, waktu, usia, harta, atau nasab bukanlah ukuran baku. Cinta selalu menghadirkan cerita.

2. Doa orangtua memang dahsyat! Sayang, masih banyak orangtua yang tidak menyadari. Kalaupun sadar, hanya sedikit yang mengetuk pintu doa untuk kebaikan agama dan akhirat anaknya. Rata-rata, orangtua mendoakan kesuksesan duniawi anaknya saja. Bagaimana ia bisa berpangkat, ia kaya raya, ia berjodoh dengan berkriteria materi. Sayang, doa orangtua yang mustajab tidak dimanfaatkan baik-baik.

3. Wanita yang baik hanyalah untuk laki-laki yang baik. Sebaliknya pun demikian. Jika engkau berharap hidup bersanding dengan seorang istri yang spesial, yang istimewa, dan salehah tentunya, maka berjuanglah untuk menjadi seorang laki-laki yang spesial, yang istimewa, dan saleh seharusnya.

Baarakallahu fiikum

Lendah, Malam Tasyriq Pertama 1442 H

Selasa 20 Juli 2021

t.me/anakmudadansalaf