Tanpa harus membuka kamus, kita sama-sama mengerti, siapakah yang dimaksud dengan remaja? Fase remaja adalah fase abu-abu antara anak-anak dan dewasa. Seorang remaja pantang untuk dianggap masih anak-anak, namun perilakunya yang belum mencerminkan kedewasaan, membuatnya kurang diterima di lingkup orang-orang dewasa.
Fase remaja adalah fase yang mau tidak mau harus dilewati dalam proses pertumbuhan dan perkembangan manusia. Padahal, fase ini adalah fase yang sangat rawan, rentan, dan kritis. Salah langkah sama artinya dengan potensi kegagalan, minimalnya mengalami keterlambatan sukses.
Remaja dalam konteks ini, bisa menjadi subyek atau obyek. Subyek, artinya: pembaca adalah seorang remaja. Sementara obyek, pembaca sedang membicarakan dan membahas kaum remaja.
Ibnul Jauzi yang sedang menasehati atau menuturi, sangat jelas menempatkan putranya yang sedang menginjak fase remaja sebagai obyek. Wejangan dan nasehat dituangkan Ibnul Jauzi dalam rangkaian bab yang disusun bagai surat untuk putranya. Surat itu lalu dinamai Laftatul Kabid.
Laftatul Kabid merupakan bukti cinta kasih seorang ayah kepada anak laki-lakinya yang mengalami graduasi akhlak dan kemorosotan moral. Abul Qasim, putra beliau, yang mula-mula baik, rajin, dan semangat berthalabul ilmi, di fase remaja tiba-tiba berubah drastis dan sangat ekstrem. Benar-benar bertolak belakang!
Ya. Terpengaruh lingkungan dan orang-orang jalanan. Itulah sebabnya!
Minimal ada 2 pelajaran hidup dari Laftatul Kabid yang perlu kita resapi ;
1. Hidayah semata-mata milik Allah Ta’ala. Hidayah tidak ditentukan dan diatur oleh manusia. Ibnul Jauzi sebagai ulama besar dan teladan umat pun bukanlah jaminan. Abul Qasim, putra beliau yang disebut dalam Laftatul Kabid, adalah satu-satunya anak beliau yang lepas dari harapan indah. Padahal Ibnul Jauzi memiliki beberapa anak.
Coba kita cermati! Ayah ibunya sama, tumbuh kembang dengan lingkungan yang sama, pola pendidikan juga sama, dan seterusnya. Namun, ada satu anak dengan fakta yang berbeda. Bukankah hal ini bukti terkuat bahwa hidayah itu bukan ditentukan oleh manusia?!
Di titik ini, menyadarkan kita selaku orangtua agar tidak boleh sekejap pun merasa aman dan baik-baik saja dengan perkembangan anak. Permukaan tidak selalu menandakan dasarnya. Senyuman bisa jadi cara yang dipakai anak untuk menutupi kepedihan. Ia tertawa, padahal sedang memendam luka. Maksud saya; kenalilah anak seutuhnya!
2. Anak menggambarkan perjuangan dan melukiskan pengorbanan. Ibarat kata, untuk kebaikan dan gemilangnya masa depan anak, orangtua tidak boleh mengenal menyerah. Dalam kamus orangtua tidak ada kata : capek, lelah, putus asa, pesimis, atau kata lain yang semisal. Sekali lagi, tidak ada istilah-istilah tersebut dalam pikiran orangtua.
Kesalahan fatal yang dilakukan banyak orangtua adalah : mengusir anak, tidak lagi menganggapnya anak, menyatakan rela kehilangan anak, berlepas diri dari anak, bahkan – na’udzu billah - mengutuk, melaknat, dan mendoakan kejelekan buat anak.
Pertanyaan sederhana; apakah sikap-sikap diatas lantas membuat masalah selesai? Problem usai?
Laftatul Kabid ( Dari Lubuk Hati Buat Ananda) adalah lukisan pengorbanan dan gambaran perjuangan orangtua yang selalu menjaga nyala optimis agar tidak padam. Laftatul Kabid bagai sumber mata air yang menolak untuk berhenti mengalirkan harapan.
Selagi lisan masih mampu berucap, ia tidak berhenti berdoa. Semasih kedua telapak tangan bertengadah, ia terus menyanjungkan puja-puji kepada Allah dzat yang membolak-balikkan hati. Selama jantung berdetak, asalkan nafas terus berhembus, ia sebagai orangtua akan selalu berharap : anaknya menjadi anak yang baik, taat, dan berbakti. Ia akan menjaga asa supaya anaknya bahagia dunia akhirat. Sampai hayat tak lagi dikandung badan.
Pembaca, rahimakallah...Laftatul Kabid yang diterjemahkan dengan hati hingga terasa di hati oleh Ustadzah Ummu Ishaq sangat tepat menjadi referensi bagi orangtua. Pun layak dikonsumsi oleh kaum remaja. Sayang jika dilewatkan.
Di akhir cerita, Abul Qasim ikut mensalatkan jenazah ayahnya,yakni Ibnul Jauzi. Semoga hal tersebut pertanda taubatnya.
Maka harapannya, Laftatul Kabid ditulis dengan sepenuh hati, diterjemahkan securah hati, diterbitkan dengan seisi hati, lalu dibaca dengan setulus hati. Semoga menjadi sebab kebaikan anak-anak kita. Aamiiiin yaa Arhamar Raahimiiin
Lendah, Kulonprogo
Senin malam 21 Rajab 1443 H/21 Februari 2022
Untuk pemesanan klik disini |
Abu Nasim Mukhtar bin Rifai