Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

renungan : ayah yang terlupakan

4 tahun yang lalu
baca 4 menit

Ayah Yang Terlupakan

Renungan : Ayah Yang Terlupakan


Dek, semoga saat membaca tulisan ini adek tidak melupakan sosok ayah yang jasa kebaikannya tak mungkin diabaikan. Ayah adalah sosok yang tak tergantikan. Adek akan merasakan betapa pentingnya seorang ayah setelah wafat atau saat adek kelak menjadi seorang ayah. Percayalah!

Bagaimana mungkin adek membenci ayah, sementara nasab adek ditetapkan syariat selalu bergandengan dengan ayah. Adek adalah bin ayah adek, bukan? Bukankah sedemikian terhormat kedudukan seorang ayah dalam kacamata Islam?

Ayah yang adek anggap kurang peduli. Ayah yang adek nilai jarang bercerita. Ayah yang adek pandang sedikit perhatian. Ayah yang adek bilang galak dan pemarah. Ayah yang adek katakan dingin dan beku. Ingatlah selalu bahwa hadirmu di dunia ini dikarenakan seorang ayah yang adek lupakan! Jika bukan dengan sebab ayah, adakah dirimu di dunia ini?

Dek, hormatilah ayahmu! Sa'id, anaknya Sufyan ats Tsauri berkisah, ”Tidak pernah aku bersikap kasar kepada ayahku. Sungguh, terkadang saya sedang shalat sunnah, ayahku memanggil namaku. Aku putus shalat itu demi menyambut beliau” (Makarimul Akhlaq,Ibnu Abi Dunya)

Berbaktilah kepada ayahmu! Seberapapun baktimu mustahil sebanding dengan kebaikan ayahmu yang tak engkau anggap itu. Ketika keluarga Barmak dipenjarakan di masa kekhilafahan Abbasiyyah, ada al Fadhl dan ayahnya bernama Yahya yang turut dipenjara. Ayahnya dikarenakan faktor usia ,tidak mampu berwudhu dan minum kecuali dengan air hangat.

Saat musim dingin tiba, sipir penjara tidak mengijinkan kayu bakar dibawa masuk ke dalam sel. Al Fadhl menyiapkan panci yang diisi air penuh lalu berdiri di dekat lampu sambil memegang panci untuk memanaskan air untuk ayahnya. (al Wafi bil Wafayat,24/54)

Tentu bukan pekerjaan ringan memanaskan air hanya dengan didekatkan ke lampu yang pastinya berapi kecil. Namun,begitulah bakti seorang anak kepada ayah.

Dek, mungkin adek merasa lebih pintar dari ayahmu  bahkan bisa jadi demikian. Barangkali adek lebih berilmu dibanding ayahmu. Namun jangan lupa, kedudukan seorang ayah tetap tak bisa disamai.

Abdur Razzaq as Shan'ani meriwayatkan dalam al Mushannaf pendapat Atha' yang berbunyi, ”Seorang anak tidak semestinya menjadi imam shalat bagi ayahnya, meskipun dia lebih faqih/pandai”

Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Zinad menuntut ilmu hadits bersama-sama dengan ayahnya. Usia ayah dan anak hanya terpaut 17 tahun. Mereka berdua belajar di majlis yang sama. Belajar kepada guru-guru yang sama. Namun apa jawabannya ketika diminta untuk menyampaikan hadits? “Bisakah saya menyampaikan hadits sementara ayahku masih hidup?”, begitu katanya.

Dalam Tarikh Baghdad, Muhammad bin Abdurrahman disebut sebagai “seorang anak yang sangat berbakti, segan dan menghormati ayahnya”

Dek, baarakallahu fiik. Saya ingin mengulang lagi bahwa jasa-jasa seorang ayah tidak dapat dinilai dengan apapun.

Ketika Abdullah bin Zubair meninggal dunia, Amir anaknya selalu mendoakan kebaikan. Katanya, ”Ayahku meninggal dunia. Setahun penuh setelahnya tidak ada yang saya minta kepada Allah kecuali harapan agar beliau diampuni” (Tarikh Damaskus,Ibnu Asakir)

Subhaanallah! Itulah bakti kaum Salaf kepada seorang ayah. Bagaimana denganmu, Dek? Kapan terakhir kali adek mendoakan kebaikan untuk ayahmu?

Dek, ingatlah suatu masa nanti setelah adek menjadi seorang ayah. Bisa jadi anakmu akan memperlakukanmu sebagaimana adek memperlakukan ayahmu. Berbaktilah dan muliakanlah ayahmu! Jangan adek menyakiti dan membenci ayah!

As Safarini al Hanbali (Ghadza-ul Albab) menyebutkan cerita Tsabit al Bunani tentang seorang anak yang memukul ayahnya di bagian tertentu. Ada yang menegur. Tetapi si ayah malah mememinta untuk dibiarkan saja. Kenapa? “Dulu saya pernah memukul ayahku di bagian ini, maka sekarang aku diuji dengan anakku sendiri yang memukul di bagian yang sama”

Pikirkanlah baik-baik, Dek! Masak-masaklah dalam melangkah! Benar-benarlah untuk mengambil sikap terhadap ayahmu! Boleh jadi sikapmu hari ini kepada ayahmu, sama dengan sikap anakmu di lain waktu.

Dek,mungkin menurut adek,ayahmu kurang ideal.Bukan sosok ayah yang bisa dibanggakan.Bukan figur ayah yang dapat diandalkan.Barangkali ayahmu tidak dapat mewujudkan harapan-harapanmu.

Iya,ayahmu memang terbatas. Ayahmu tidak sempurna. Ayahmu tidak pandai bercerita. Ayahmu tidak selalu menjawab pertanyaanmu. Ayahmu tidak selalu ada waktu untukmu. Ayahmu jarang tersenyum untukmu.

Namun, apakah itu adek jadikan alasan untuk membenci? Kurang menghormati?

Dek, ingatlah bagaimana nabi Ibrahim berbicara dengan ayahnya yang kafir. Ayahnya yang musyrik. Nabi Ibrahim tetap memanggil dengan “yaa Abati” , duhai ayahanda. Nabi Ibrahim berbicara dengan lemah lembut dan penuh cinta. Memilih kata dan merangkai kalimat seindah mungkin. Berbahasa sesopan-sopannya.

Bagaimana denganmu, Dek?

Ijinkan saya memberimu nasehat, Dek. Selagi ayahmu masih sehat.Mumpung ayahmu masih ada.Senangkanlah hatinya. Bahagiakanlah dirinya. Jangan membuatnya kecewa. Jangan bikin dirinya susah.

Kalau ada kesempatan, peluklah ayahmu. Dekap sekuat-kuatnya. Sambil berbisik, ”Terima kasih, ayahku. Kebaikan-kebaikan ayah tak mungkin ananda balas”. Jangan malu dan jangan sungkan untuk melanjutkan,” Maafkan anakmu yang telah banyak berbuat salah”.

Lakukanlah sebelum ayahmu tiada. Jangan sampai menyesal saat tidak ada lagi tubuh renta dan rapuh yang pantas engkau dekap. Momentum memeluk ayah adalah momentum yang sangat indah. Momentum yang selalu dirindukan. Momentum yang terus terkenang, termasuk saya yang menulis surat ini untukmu, Dek.

Ya Allah, ampunilah aku dan ampunilah ayahku. Curahkanlah rahmat-Mu kepada ayahku sebagaimana beliau telah merawat dan menjagaku sejak kecil.


Ruang tamu Masjid Polres Selayar.
08 Ramadhan 1442 H
Telegram : t.me/anakmudadansalaf

Oleh:
Atsar ID