Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

madyan dan sejarah kecurangan jual beli

3 tahun yang lalu
baca 10 menit

MADYAN DAN SEJARAH KECURANGAN JUAL BELI

Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa'i حفظه الله تعالى

Madyan dan Sejarah Kecurangan Jual Beli

Tidak banyak yang mampu menjawab, apa yang dimaksud dengan Madyan ? Nama orangkah ? Nama tempat ? Ataukah nama yang lain? Apalagi jika ditanyakan dimanakah letak Madyan dan apa hubungannya dengan Nabi Ibrahim عليه السلام. Lebih-lebih lagi jika beberapa pertanyaan di atas ditujukan untuk kaum muda, pasti hanya ditanggapi dengan gelengan kepala!

Santiago Bernabeu, Nou Camp, Anfield, Old Trafford, dan beberapa stadion bola ternama mungkin malah lebih bisa ia jelaskan tentang sejarah dan profilnya. Menyedihkan!

Coba bayangkan saja! Sembilan kali nama Madyan dsebutkan di dalam Al Quran, kitab suci kaum muslimin! Belum lagi jika membuka lembaran-lembaran sejarah buah karya sejarawan salaf, kita akan disuguhi berita-berita penting tentang umat-umat terdahulu. Tragedi anak manusia penentang dakwah nabi sekaligus momen indah para pengikut nabi akan terbayang, seolah-olah kita hadir sebagai saksi.

Bukan sebatas membaca lalu mengetahui saja. Lebih dari itu, tentunya kita diajak untuk mencatat dan mengabadikan pelajaran dari setiap detail peristiwa yang terjadi. Kemudian kita dibimbing untuk mengaplikasikan pelajaran-pelajaran tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Allah سبحانه وتعالى berfirman di dalam Al Quran: 

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ 

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (Q.S. Yusuf: 111)

NABI SYU'AIB عليه السلام SANG JURU DAKWAH

Kembali ke Madyan. 

Penduduk Madyan tergolong kaum Arab. Mereka menempati sebuah kota yang letaknya tidak berjauhan dari wilayah Mu'an di ujung negeri Syam. Kota itu tersohor dengan namanya Madyan. Lokasinya terbilang dekat dengan danau kecil kaum Nabi Luth, searah dengan daerah Hijaz. 

Sebelum menjadi nama kota, Madyan sejatinya adalah nama orang. Menurut ahli sejarah, Madyan adalah cucu Nabi Ibrahim عليه السلام dari putra beliau yang bernama Midyan. Setelah beranak pinak, Madyan pun menjadi sebutan sebuah kabilah besar di daerah tersebut. 

Untuk membawa kaum Madyan dari kegelapan menuju cahaya keimanan, Allah سبحانه وتعالى mengutus Nabi Syu'aib di tengah-tengah mereka. Nabi Syu'aib عليه السلام bukannya orang baru dan orang asing di mata mereka. Malah, Nabi Syu'aib عليه السلام tercatat sebagai orang yang memiliki nasab dan kedudukan yang terpandang di kalangan penduduk Madyan. 

Nabi Syu'aib عليه السلام juga diberi kelebihan dalam bentuk kefasihan berbicara, berkata-kata indah, dan balaghah yang menakjubkan. Sampai-sampai sebagian ulama Salaf menyebut beliau sebagai 'Khathibul Anbiya' (Oratornya Para Nabi).

Kegelapan semacam apa yang mencengkeram kaum Madyan? Kisah Madyan Allah abadikan dalam banyak surat Al Qur'an, terutama surat Al A'raf dan surat Hud.

Saat itu, kaum Madyan terdiri dari orang-orang yang kafir kepada Allah. Bukan kepada Allah mereka mempersembahkan ibadah, malah kepada Al Aikah mereka menggantungkan hati dan harapan. Al Aikah sendiri adalah sebuah hutan kecil yang terdiri dari pepohonan rindang dan lebat daerah itu. Mereka menganggap hutan Al Aikah sebagai salah satu faktor penentu manfaat dan mafsadat dalam kehidupan sehari-hari.

Allah berfirman tentang mereka: 

كَذَّبَ أَصْحَابُ الْأَيْكَةِ الْمُرْسَلِينَ

“Penduduk Aikah telah mendustakan rasul-rasul.” (Q.S. Asy-Syu'ara: 176)

Selain itu, kaum Madyan juga dikenal sebagai kabilah yang sering mengganggu para pelintas di daerah mereka. Mereka mengambil pajak, merampok dan merampas harta orang-orang yang lewat melintas. Jalan-jalan tidak terasa aman. Setiap orang yang melintas selalu dihinggapi rasa takut dan was-was dari ulah kejahatan mereka. Kaum Madyan telah menebarkan racun ketakutan di atas permukaan bumi.

Kaum Madyan pun dikenal sebagai orang-orang yang bermain curang dalam interaksi sehari-hari. Di dalam proses jual beli, sudah menjadi adat dan budaya di kalangan mereka untuk bersikap tidak jujur. Timbangan dan takaran selalu mereka kurangi ketika menjual. Namun giliran membeli, mereka menuntut untuk mendapatkan tambahan. Kehidupan yang dikelilingi kecurangan dan ketidakjujuran. Sebuah kehidupan yang pahit dan sempit!

Termasuk dari sunnatullah di atas bumi, jika kejahatan telah tersebar merata, Allah سبحانه وتعالى akan menggerakkan sejumlah hamba untuk menegakkan kebenaran. Medan laga antara kebenaran dan kejahatan pasti berlangsung sampai hari kiamat berbangkit. Jika di masa-masa silam Allah mengutus para nabi dan rasul, maka sepeninggal Nabi Muhammad ﷺ, para ulamalah yang berdiri di barisan terdepan  untuk melanjutkan tugas para nabi dan rasul.

Kaum Madyan pun demikian adanya. Ketika kejahatan mereka beraneka ragam, Allah سبحانه وتعالى pun mengutus Nabi Syu'aib عليه السلام sebagai juru pengingat agar mereka sadar dan bertaubat sebelum azab-Nya turun menghancurkan. Sebab, tidak mungkin Allah membinasakan sebuah kaum sebelum diutus untuk mereka juru pengingat. Duh, subhaanallah! Maha Rahmatnya Engkau, ya Allah! Maka limpahkanlah Rahmat Mu untuk kami...

SAAT REZEKI MENJADI ALASAN

Rezeki itu dari Allah! Semuanya telah Allah atur dan tentukan sejak seorang insan masih berada di dalam rahim ibunya. Si A yang terlihat sempit dan sulit penghidupannya, barangkali hal itu justru lebih baik untuk dirinya. Belum tentu ketika ia dilapangkan dan diluaskan rezekinya, lantas ia mampu mewujudkan diri sebagai hamba yang bersyukur. Sebaliknya, si B yang nampak hidup berkecukupan, mampukah ia lulus dari ujian kenikmatan?

Rezeki itu telah Allah atur! Apa hak manusia untuk memprotes, mengkritik, dan mempertanyakan nasib seseorang? Mengapa si A menjadi miskin padahal ia rajin ke masjid?  Kenapa si B justru kaya raya padahal ia sombong dan lalai beribadah? Rezeki bukan berada di tangan kita! Jalani saja kehidupan dunia ini dengan mengalir bagaikan air. 

Lantas, tugas dan kewajiban seorang muslim?

Tugas dan kewajibannya ialah berusaha dan pantang menyerah di dalam berikhtiar. Tidak ada kata mundur dan putus asa untuk bekerja. Setiap kegagalan di dalam membuka peluang usaha justru menjadi pemantik untuk mencoba lebih baik lagi. Tentu semua langkah harus dilandaskan dengan kejujuran. Buang jauh-jauh cara berpikir curang untuk hasil lebih banyak dan lebih cepat!

Lebih baik sedikit asalkan halal, daripada haram meskipun banyak!

Prinsip usaha semacam inilah yang ditekankan oleh Nabi Syu'aib عليه السلام kepada kaum Madyan. Beliau mengingatkan: 

وَيٰقَوْمِ اَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ (٨٥) بَقِيَّتُ اللّٰهِ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ەۚ وَمَآ اَنَا۠ عَلَيْكُمْ بِحَفِيْظٍ (٨٦)

"Hai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kalian merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kalian membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kalian orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kalian." 

[Q.S. Hud: 85-86]

Perhatikanlah! Betapa cinta kasihnya Nabi Syu'aib عليه السلام kepada kaumnya. Beliau mengarahkan mereka untuk meraih kebahagiaan dan keuntungan yang bersifat hakiki. Arahan beliau tidak hanya sebatas dalam jual beli saja ! Bukankah jujur dan curang tidak sebatas dalam jual beli? Hidup manusia selalu akan dihadapkan dalam dua pilihan, antara jujur dan curang. Kejujuran tentunya menjadi cita-cita setiap muslim, bukan?

Jujur dan curang dalam proses jual beli akan berimbas dan berpengaruh kepada aspek-aspek kehidupan lainnya. Jika kita tidak mampu mengedepankan jujur dalam proses jual beli, bisa jadi hal itu sebagai pertanda ketidakjujuran kita dalam aspek interaksi lainnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, proses ibadah kita kepada Allah Rabbul 'Alamin pun demikian. نعوذ بالله من ذلك.

Al Hafizh Ibnu Katsir رحمه الله dalam Qashshul Anbiya' menerangkan bahwa arahan Nabi Syu'aib عليه السلام di atas mirip dengan firman Allah di dalam surat Al Maidah ayat 100. Setelah itu beliau menjelaskan, "Maksudnya, sedikit namun halal jauh lebih baik dibandingkan banyak tetapi haram. Sebab, barang halal akan diberkahi walaupun sedikit. Sementara barang haram tidak akan diberkahi meskipun banyak."

SEBUAH PIKIRAN YANG RANCU

"Apa hakmu ikut mengatur-atur kami ?! Uang ini uang kami?! Harta juga harta kami?! Peduli apa kamu️?!" Demikianlah kira-kira jawaban kaum Madyan. 

ما شاء الله

Saudaraku, siapakah yang lebih menginginkan kebaikan untuk kita? Allah سبحانه وتعالى ataukah kita sendiri? Siapakah yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk kita? Allah سبحانه وتعالى ataukah kita sendiri? Pada hakikatnya, uang dan harta yang berada di tangan kita adalah milik Allah, bukan milik kita. Tidakkah seharusnya kita serahkan kepada Allah lalu kita tunduk patuh dengan aturan-aturan yang Dia buat?

Jika Allah memerintahkan kita untuk berlaku jujur dan tidak berbuat curang dalam berjual beli, bukankah hal itu untuk kemaslahatan kita bersama? Tidak ada benci, kecewa, sakit hati, ataupun merasa dirugikan. Ekonomi akan stabil. Harga pasar dapat dikendalikan dengan baik demi kepentingan masyarakat. Bukan semata-mata mengeruk keuntungan individu!

Al Imam An Nasa'i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما dengan sanad yang hasan tentang kondisi penduduk Madinah sebelum Rasulullah ﷺ tiba. Mereka termasuk orang-orang yang dikenal curang dan tidak jujur dalam menakar atau menimbang. Namun, mereka berubah dan menjadi jujur setelah Allah menurunkan surat Al Muthaffifin.

Renungkanlah! Seperti apakah Allah mengancam para pelaku kecurangan? Allah berfirman:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ(١) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ(٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ(٣) أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ(٤) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ(٥) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ(٦)

"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam." (Q.S. Al-Muthaffifin: 6)

Cobalah merenungkan ayat-ayat di atas. Semua harta yang kini telah dan akan berada di tangan kita, tidak akan berlalu begitu saja. Tiap-tiap rupiah yang kita terima dan kita keluarkan, harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah سبحانه وتعالى. Masing-masing akan ditanya, dari manakah ia peroleh hartanya? Untuk apa saja ia gunakan hartanya? Sudah siapkah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di hadapan Allah?

Jika masih saja ada yang berujar, "Apa hak kamu ikut mengatur-atur kami?! Uang ini 'kan uang-uang kami? Harta juga harta kami?  Peduli apa kamu?!" mungkin kita bisa menyebutnya sebagai sejarah yang terulang. Dengarkanlah kata-kata kaum Madyan yang menolak arahan Nabi Syu'aib عليه السلام! Apa kata mereka?

يٰشُعَيْبُ اَصَلٰوتُكَ تَأْمُرُكَ اَنْ نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُنَآ اَوْ اَنْ نَّفْعَلَ فِيْٓ اَمْوَالِنَا مَا نَشٰۤؤُا ۗاِنَّكَ لَاَنْتَ الْحَلِيْمُ الرَّشِيْدُ

“Hai Syu'aib, apakah ajaran agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami." (Q.S. Hud: 87)

Ah mereka pikir, harta itu harta milik mereka? Mereka anggap, sah-sah saja untuk mengatur dan mengelola harta tanpa tunduk dengan aturan Allah dan Rasul-Nya? Sungguh picik cara berpikir mereka!

GODAAN HARTA, GODAAN DAHSYAT

Harta, uang, dan materi memang amat menggoda serta menggiurkan. Tidak sedikit orang yang dikenal baik, shalih, bahkan alim tergelincir dalam dosa disebabkan oleh harta. Pantas saja jika Nabi Syu'aib عليه السلام memeringatkan kaum Madyan tentang harta setelah beliau mengajak mereka untuk menegakkan tauhid di muka bumi. 

Wajar saja bila Nabi Syu'aib عليه السلام berusaha menanamkan kejujuran di dalam kepemilikan dan penggunaan harta setelah yang pertama beliau mengajak mereka meninggalkan kesyirikan. 

Al Qurthubi رحمه الله di dalam Tafsirnya mengisahkan seorang Arab Badui yang datang menemui khalifah Abdul Malik bin Marwan. Di masanya, akses untuk menemui khalifah tidaklah seribet dan sesulit zaman sekarang. Mudah sekali. Para pemimpin di masa itu pun bisa menerima kritikan dengan lapang dada. 

"Apakah engkau belum pernah mendengar ancaman Allah untuk kaum Muthaffifin (orang-orang yang curang dalam jual beli)?" tanya orang Badui itu. 

Kemudian ia melanjutkan, "Lalu kira-kira seperti apakah pendapatmu, engkau telah mengambil harta kaum muslimin tanpa menghiraukan timbangan dan takaran?"

Nasihat berharga nan menyentuh!

Oleh sebab itu, Syu'aib tanpa kenal lelah mengarahkan kaum Madyan untuk mengedepankan yang halal. Kata beliau: 

بَقِيَّتُ اللّٰهِ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ەۚ وَمَآ اَنَا۠ عَلَيْكُمْ بِحَفِيْظٍ (٨٦)

"Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kalian orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kalian." [Q.S. Hud: 86]

Benar! Asalkan halal, sedikit pun lebih baik. Perhatikanlah pula, Nabi Syu'aib عليه السلام menerangkan bahwa seperti inilah prinsip orang-orang yang beriman. Percuma saja memiliki aset tanah di mana-mana, rumah berceceran di berbagai lokasi, uang dolar yang menumpuk, saldo rekening yang berdigit sembilan atau dua belas atau harta tertimbun lainnya. Percuma saja semua itu jika diperoleh dengan cara-cara yang curang. Tidak jujur!

Lantas, apakah kaum Madyan menerima nasihat Nabi Syu'aib عليه السلام? Apakah mereka berusaha untuk berubah? Seperti apakah akhir kisah kaum Madyan? Nantikan selengkapnya insya Allah pada edisi berikutnya bertajuk Hawa Panas, Awan Dingin dan Nyala Api di Madyan!

Referensi Utama:
Qashashul Anbiya' karya Al Hafizh Ibnu Katsir رحمه الله.

Sumber || Majalah Qudwah Edisi 13
t.me/majalah_qudwah

Oleh:
Atsar ID