'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, Pemuda yang Dicintai Allah dan Rasul-Nya
Ali bin Abi Thalib bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdil Manaf Al Qurasyi Al Hasyimi, berkuniah Abul Hasan atau Abu Turab. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim.
Dahulu ibunya menamakan beliau dengan Haidarah. Beliau termasuk kalangan anak-anak yang pertama kali masuk Islam. Yaitu di usianya yang masih berumur sekitar 10 sampai 11 tahun. Umur yang masih sangat muda untuk bisa memilih jalan hidayah yang mesti ditempuh.
Beliau lahir sepuluh tahun sebelum Rasulullah diutus sebagai rasul. Beliau pun tumbuh dalam asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak umur 6 tahun, dan hampir-hampir tidak pernah berpisah dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pemuda Ali adalah seorang yang memiliki tubuh yang kekar dan lebar. Badan padat berisi dengan postur tubuh yang tidak tinggi. Warna kulit sawo matang, berjenggot tebal, kedua matanya sangat tajam, murah senyum, berwajah tampan, dan memiliki gigi yang bagus. Bila berjalan sangat cepat.
Selain fisik yang baik, beliau juga dikaruniai akal dan kejeniusan. Sangat cepat dalam memecahkan permasalahan yang rumit. Sampai Khalifah Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
“Aku berlindung kepada Allah, untuk mendapatkan masalah pelik, di saat tidak ada Abul Hasan.” Umar selalu meminta pertimbangan beliau.
Ditambah keluhuran akhlak yang tertempa dengan banyaknya bergaul bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan Ali sebagai pemuda yang pilih tanding.
Ali bin Abi Thalib mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perang Tabuk. Ketika itu, Rasulullah memerintahkan beliau untuk tetap berada di Madinah. Walaupun beliau sangat ingin berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Tidakkah engkau ridha apabila kedudukanmu di sisiku adalah sebagaimana kedudukan Harun terhadap Musa?”
Sebuah ucapan indah yang menunjukkan tingginya kedudukan beliau. Beliau ditugasi sebagai pengganti Rasulullah dalam mengurusi keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan maksudnya sebagai wakil pengurusan kota Madinah secara umum. Sebab yang ditunjuk untuk melakukan tugas ini adalah Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu.
Di antara yang menunjukkan keutamaan Ali bin Abi Thalib, dalam peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bendera perang seringnya diserahkan kepada beliau. Hal ini menunjukkan kemampuan, keberanian, dan kedudukan beliau radhiyallahu ‘anhu. Bahkan seringkali Rasulullah menugaskan beliau berduel satu lawan satu dengan musuh sebelum pecah peperangan. Beliau juga seorang yang lihai berkuda, kuat dan pandai dalam taktik peperangan.
Disebutkan dalam banyak kitab biografi, bahwa beliau memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah beliau termasuk muhajirin, mengikuti perang badar, uhud, mengikuti baiatur ridwan, dan beberapa peristiwa penting yang memiliki keutamaan janji bagi yang mengikutinya. Demikian pula beliau adalah salah satu Khulafaur Rasyidun.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Di antara keutamaannya, beliau merupakan salah satu dari sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga dan paling dekat hubungan nasabnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegaskan keutamaan beliau. Dalam satu khutbah beliau, di hari kedelapan belas Dzulhijjah pada haji wada’, di tempat yang bernama Ghadir Khum, beliau bersabda yang artinya,
“Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai walinya, maka sesungguhnya ia telah menjadikan Ali sebagai walinya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Ali yang artinya,
“Engkau bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.”
Ketika perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Sungguh besok bendera perang ini akan aku berikan kepada seseorang yang ia mencintai Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Bendera itu pun beliau serahkan kepada Ali. Keutamaan beliau ini pun diakui oleh para shahabat. Cukuplah kesaksian Umar, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan beliau meridhainya.” [Al Bukhari].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan beliau dengan Fathimah radhiyallahu ‘anha, tepatnya setelah peristiwa perang Badar. Dari pernikahannya dengan Fatimah ini beliau mendapat putra Al Hasan, Al Husain, Ummu Kultsum Al Kubra, yang dinikahi oleh Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan Zainab Al Kubra.
Setelah meninggalnya Fatimah radhiyallahu ‘anha, beliau menikah dengan beberapa wanita. Anak beliau berjumlah empat belas orang putera dan tujuh belas atau sembilan belas orang puteri. Di antara putra putri beliau ini yang menjadi generasi penerus adalah Al-Hasan, Al-Husain, Muhammad bin al-Hanafiyah, Al-Abbas Al-Kilabiyah, dan Umar bin At-Taghlibiyah.
Beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun para shahabat yang menimba ilmu dari beliau di antaranya: Dua anak beliau Al Hasan dan Al Husain, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa, Ibnu Abbas Abu Rafi’, Ibnu Umar, Abu Said Al Khudri, Zaid bin Arqam Abu Umamah, Al Bara` bin Azib, dan masih banyak yang lainnya. Adapun dari kalangan tabiin (generasi setelah shahabat): Thariq bin Syihab, Marwan bin Hakam, Abdurrahman bin Al Harits, dan lainnya.
MASA KEKHALIFAHAN
Pada masa kekhalifahan beliau inilah timbul perang saudara. Dikarenakan adanya perbedaan pendapat di kalangan para shahabat tentang sikap dan usaha yang ditempuh menghadapi kejahatan pembunuhan Amirul mukminin Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Sehingga terjadilah perang Jamal serta perang Siffin. Masing-masing berijtihad dalam menyikapinya. Apalagi ada dalang pihak ketiga yang berupaya mengadu domba antar kaum muslimin. Allah Maha Tahu sejauh mana fitnah ini terjadi.
Kaum muslimin yang datang setelah mereka radhiyallahu ‘anhum telah Allah selamatkan untuk tidak ikut mengangkat pedang memerangi para shahabat. Sekarang, tinggal bagaimana menyelamatkan lisan agar tidak mencela mereka secara umum. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga lisan kita hingga kita menghadap kepada-Nya.
Beliau memegang kekhalifahan selama empat tahun lebih beberapa bulan.
Di waktu subuh tahun 40 H, ketika beliau keluar untuk menunaikan shalat subuh di masjid Kufah, tiba-tiba seorang yang celaka bernama Abdurrahman bin Muljam Al Khariji menusuk beliau dengan pisau tajam dan beracun. Tepat di kening beliau yang senantiasa sujud kepada Allah. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.
Persis sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan yang artinya,
“Orang yang paling binasa dari umat terdahulu adalah penyembelih unta (kaum nabi Shalih). Dan manusia yang paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu wahai Ali.” Seraya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk kening Ali yang akan tertikam.
Pada malam Ahad, di hari yang kesembilan belas bulan Ramadhan, umat Islam berduka dengan kepergian pemimpin mereka. Semoga Allah menempatkan beliau di surga-Nya yang luas, bersama kekasih beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahul Musta’an. [Hammam].
Referensi:
Al Bidayah Wan Nihayah oleh Ibnu Katsir rahimahullah
Al Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab oleh Ibnu Abdil Bar rahimahullah
Al Ishabah fii Tamyiz Ash Shahabah oleh Ibnu Hajar rahimahullah
Sumber: Majalah Tashfiyah, edisi 19 vol.02 1433H-2012M, rubrik Figur | http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2013/12/ali-bin-abi-thalib-radhiyallahu-anhu.html
|
Foto : Black-steel-helmet-near-black-and-gray-handle-sword | Sumber: Pexels.com |