(141)
Dari ruang nahkoda, informasi disampaikan bahwa KM Tidar yang kami naiki hanya bersandar 1 jam di pelabuhan Namlea, Pulau Buru.
Berbeda saat 6 jam sebelumnya di Pelabuhan Ambon saat kami naik. Lebih dari 2 jam waktu bersandarnya. Mengejar waktu ke pelabuhan selanjutnya di Bau-Bau, kata sebagian awak.
Waktu sandar yang satu jam itu, Alhamdulillah dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya, yaitu berkunjung ke Taman Pendidikan Al Qur'an Al Manshurah yang tak jauh dari pelabuhan.
Saya hitung sekitar 5 menit bermotor sudah tiba di Al Manshurah. Setiba di sana, kami sudah disambut ikhwan-ikhwan kota Namlea.
Tak lebih dari sepuluh memang. Karena informasi yang mereka terima bahwa kami singgah di Namlea, hanya beberapa jam sebelumnya.
Bukan jumlah yang menjadi patokan, namun kehangatan dan keakraban lah yang diinginkan. Apalagi ada satu anggota Brimob dan satu anggota Polres yang hadir menemani. Mereka berdua sudah aktif mengikuti kajian Salaf.
Sambil menikmati papeda dan ikan kuah, teman-teman di Namlea bercerita tentang kegiatan dakwah dan pendidikan. Rupanya, sejak satu tahun yang lalu berdiri, ada 12 santri putra dan 24 santri putri yang sedang belajar di jenjang kanak-kanak dan dasar.
Kendala utamanya sama dengan kendala di banyak daerah, yaitu keterbatasan sumber daya manusia. Ustadz secara khususnya.
Saat ini, tidak ada kajian rutin di Namlea.
Satu hal yang harus dijadikan refleksi syukur di daerah lain, terutama di pulau Jawa.
Bukankah lokasi kajian sangat dekat? Bahkan, hanya hitungan belasan atau puluhan menit, satu lokasi kajian dengan satu lokasi kajian lainnya dapat ditempuh.
Begitulah manusia!
Nikmat dari Allah di depan mata, dianggap biasa-biasa saja. Bahkan, seolah-olah tidak ada. Padahal, bagi banyak orang, nikmat itu dicari-cari dan diharap-harap.
Kajian atau taklim, contohnya.
Di banyak tempat, kajian aktif diadakan. Rutin diselenggarakan. Ada satu ustadz atau lebih di sana. Jarak ke lokasi kajian sangat dekat. Tidak keluar banyak biaya. Tidak perlu kuras tenaga. Sayang, nikmat itu berlalu begitu saja.
Akan lebih sedih lagi jika hal ini terjadi di lingkungan pondok. Kenapa bisa ya? Apa sih tujuan awal ia memilih hidup dan tinggal di lingkungan pondok?
Setelah ia punya rumah di lingkungan pondok. Dekat. Hanya hitungan langkah kaki. Suara kajian bisa terdengar hingga ke rumah. Bahkan, ia ikut salat berjamaah di masjid pondok. Tetapi, kenapa setelah salat ia pulang? Kenapa tidak ikut kajian?
Benar-benar tidak bersyukur!
اِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ
Sungguh, Allah benar-benar memiliki karunia yang dilimpahkan kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Ghafir : 61)
Iblis telah bersumpah untuk menggoda dan menyesatkan arah jalan hidup manusia. Agar mereka tidak bersyukur.
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
" Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur " QS Al A'raf : 17
Semoga nikmat dekat dengan majlis ilmu tidak dibiarkan begitu saja. Semoga nikmat dekat dengan ustadz-ustadz tidak dilewatkan sia-sia.
Agar tidak menyesal saat majlis ilmu itu hilang. Supaya tidak menyalahkan siapa-siapa ketika ustadz itu pergi.
KM Tidar, 15 September 2022
t.me/anakmudadansalaf