Para pengusung kebid’ahan dan kebatilan akan selalu memiliki berbagai kepentingan dan ambisi di bawah payung kebid’ahan mereka. Setiap kali muncul ulama Sunnah yang menghadang ambisi mereka, runtuhlah kepentingan dan ambisi mereka itu. Oleh sebab itu, mereka akan berusaha sebisa mungkin untuk menjauhkan kaum muslimin dari ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Allah memiliki ketetapan yang berlaku atas seluruh hamba-Nya. Dengan itu, Dia menggilirkan kemenangan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Kadang Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berkuasa, kadang ahli bid’ah dan sesat yang menjajah.
Salah satu tanda kekuasaan dan taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala; adalah Dia memunculkan, di setiap seratus tahun, seorang tokoh yang akan mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi para pemeluknya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah akan memunculkan untuk umat ini, di setiap penghujung seratus tahun, seseorang yang akan mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi para pemeluknya.” (HR. Abu Dawud, no. 3740)
Baca juga: Akidah Dua Mujaddid dalam Islam
Salah satu tokoh mujaddid (pembaru) tersebut adalah Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin al-Khadhir bin Muhammad bin al-Khadhir bin Ali bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani ad-Dimasyqi al-Hanbali. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat-Nya yang luas dan menempatkan beliau di dalam surga-Nya.
Beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin al-Khadhir bin Muhammad bin al-Khadhir bin Ali bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani.
Nasab beliau berujung pada kabilah Arab Qaisiyah, dari Bani Numair bin Amir bin Sha’sha’ah, dari Qais Ailan bin Mudhar. Ada pula yang mengatakan dari Bani Sulaim bin Manshur dari Qais Ailan bin Mudhar.[1]
Seorang ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid, dan mujahid yang agung ini—semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau—dilahirkan pada Senin, 10 Rabi’ul Awwal 661 H di Desa Harran, sebuah desa yang terletak di antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Yordania, dan Lebanon) dan Irak, sebelah tenggara Turki sekarang.
Beliau lahir pada saat mulai meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah sekitarnya, termasuk Timur Tengah. Bangsa ini, yang disatukan kembali oleh Genghis Khan, tidak hanya menjarah daratan Cina, tetapi juga menyerang Timur Tengah, bahkan hingga ke seberang lautan (sampai ke Indonesia).
Allah subhanahu wa ta’ala betul-betul menguji umat ini dengan kemunculan bangsa Mongol. Mereka adalah para penyembah berhala.
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan, “Mereka sujud kepada matahari ketika terbitnya. Mereka tidak mengharamkan apa pun. Mereka melahap semua binatang, termasuk anjing dan babi, serta yang lainnya. Mereka tidak mengenal pernikahan….” Namun, belakangan ini banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam.
Baca juga: Hikmah Islam dalam Halal dan Haram
Di masa itu pula, Perang Salib masih berlangsung dengan hebatnya. Berbagai kejadian ini akhirnya menimbulkan pengaruh dan kecemburuan yang luar biasa pada diri beliau. Betapa menyedihkannya melihat bekas-bekas kehancuran akibat serangan Tartar.
Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga mulia yang diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek beliau, Abul Barakat Majduddin, adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan mazhab Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin Abdul Halim, termasuk tokoh ulama pembawa petunjuk. Seolah-olah Allah subhanahu wa ta’ala telah mempersiapkan kemuliaan untuk beliau, di dunia dan akhirat.
Pada usia enam tahun, di saat agresi Tartar mulai terasa di wilayah Timur Tengah, bahkan sudah mendekati wilayah Harran, beliau dibawa oleh keluarganya menuju Syam bersama dengan saudara-saudaranya yang lain. Mereka berangkat pada malam hari sambil membawa buku-buku yang diletakkan di atas gerobak karena tidak memiliki kendaraan lain.
Dalam kondisi demikian, mereka hampir tersusul oleh musuh. Gerobak pun berhenti. Mereka ber-ibtihal (berdoa) dan meminta pertolongan (istighatsah) kepada Allah Yang Mahaperkasa; hingga mereka pun berhasil selamat dan lolos dari kejaran musuh. Pada pertengahan 667 H, tibalah mereka di Damaskus.
Suatu ketika, kakek beliau sedang berangkat menunaikan ibadah haji, dalam keadaan istri yang ditinggalnya sedang mengandung. Setibanya di Taima’, sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda.
Begitu tiba di Harran, sepulang dari ibadah haji, beliau mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi tersebut, beliau berkata, “Wahai Taimiyah! Wahai Taimiyah!” Akhirnya keluarga ini dikenal dengan nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau adalah Muhammad bin al-Khadhir; dan ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat. Oleh karena itu, mereka dinisbahkan kepadanya.
Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah tumbuh dalam pengawasan yang sempurna, selalu berusaha bersikap iffah (menjaga kehormatan), serta amat bergantung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau adalah orang yang sederhana dalam berpakaian dan makanan.
Kulitnya putih, dengan rambut dan janggut hitam yang sedikit beruban. Rambut beliau menyentuh ujung telinga beliau. Kedua matanya bersinar, seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara. Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar dan fasih. Beliau sangat cepat dan teliti ketika membaca. Namun, beliau imbangi semua itu dengan sifat santun yang dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh al-Bazzar, dalam A’lamul Aliyah; setiap kali hendak menuju tempat belajarnya, Ibnu Taimiyah sering dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah pertanyaan karena melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah, bahkan beliau juga menjelaskan kebatilan yang selama ini diyakini oleh Yahudi tersebut. Tidak lama setelah mendengarkan keterangan dari beliau setiap kali mereka bertemu, Yahudi itu akhirnya masuk Islam dan baik keislamannya.
Seiring dengan kemasyhuran beliau dalam ilmu, fikih, serta amar makruf nahi mungkar, Allah subhanahu wa ta’ala anugerahkan pula berbagai perilaku terpuji kepada beliau hingga beliau dikenal, bahkan dipersaksikan oleh manusia dengan keadaan ini.
Baca juga: Meneladani Akhlak Nabi
Beliau adalah pribadi yang sangat santun ketika di rumah. Ash-Shafadi mengisahkan, dalam al-Wafi bil Wafayat (2/375),
“Diceritakan kepadaku, bahwa ibunda Syaikhul Islam pernah memasak makanan sejenis labu yang rasanya pahit. Mulanya masakan itu dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia meninggalkan makanan itu sebagaimana adanya.
“Suatu ketika, Syaikhul Islam menanyakan adakah sesuatu yang dapat dimakan. Ibunya menceritakan bahwa tadi dia memasak makanan, tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam menanyakan letak makanan itu. Sang ibu menunjukkan tempatnya dan beliau pun duduk menyantap makanan itu sampai kenyang, tanpa mencelanya sedikit pun.”
Demikianlah tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata,
مَا عَابَ النَّبِيُّ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah sekali pun mencela makanan. Kalau beliau suka, beliau akan menyantapnya. Jika tidak, beliau akan meninggalkannya.”
Baca juga: Makan Ala Islam
Diceritakan oleh Ibnu Abdil Hadi, bahwasanya Ibnu Taimiyah pernah mengalami kesulitan dalam sebuah masalah atau sulit memahami suatu ayat.
Beliau pun pergi ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu menempelkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah azza wa jalla, berulang-ulang, “Wahai (Allah) Dzat yang mengajari Ibrahim, pahamkanlah aku.”
Syaikhul Islam juga pernah menceritakan, “Sungguh, pernah ada sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiranku. Aku pun beristigfar (memohon ampun) kepada Allah subhanahu wa ta’ala lebih kurang seribu kali hingga dadaku terasa lapang dan lenyaplah masalah yang kuhadapi.”
Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika malam sudah mulai larut, beliau akan menyendiri dan berduaan dengan Rabbnya azza wa jalla dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke kiri dan ke kanan jika telah tenggelam dalam shalatnya.
Apabila selesai shalat Subuh, beliau akan duduk sampai matahari meninggi. Beliau berkata, “Inilah sarapan pagiku. Kalau aku tidak menyantapnya, hilanglah kekuatanku.”
Kezuhudan dan kerendahan hatinya sungguh luar biasa. Beliau sering sekali mengulang ucapan, “Aku tidak memiliki apa pun. Tidak ada sesuatu yang berasal dariku. Tidak ada apa-apa pada diriku.”
Baca juga: Zuhud terhadap Dunia
Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya mengatakan, “Demi Allah, sampai saat ini aku masih terus memperbarui keislamanku setiap waktu. Aku merasa belum pernah masuk Islam, sebelum ini, dengan keislaman yang baik.”
Beliau sering mengatakan, “Aku hanyalah pengemis, putra seorang pengemis; demikianlah ayah dan kakekku.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menukil sebuah ucapan beliau tentang ketakwaan, “Orang yang bijak tidak akan memandang bahwa dia memiliki hak yang harus dipenuhi oleh orang lain. Dia juga tidak akan mempersaksikan keutamaan dirinya atas orang lain. Oleh karena itu, dia tidak akan pernah mencela, menuntut, dan tidak pula memukul.”
Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan Raja Nashir. Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh Raja Nashir, “Aku mendengar orang-orang begitu menaatimu, dan engkau sedang memikirkan rencana untuk menguasai kerajaan ini?”
Ketika mendengar hal ini, dengan suara lantang yang bisa didengar oleh seluruh yang hadir ketika itu, Syaikhul Islam berkata, “Aku melakukan hal itu?! Demi Allah! Sungguh, kerajaan Anda dan kerajaan Mongol (Tartar) tak ada nilainya sepeser pun bagiku.”[2]
Baca juga: Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan
Ibnu Katsir rahimahullah, salah seorang murid yang mencintai beliau, menceritakan,
Baginda Sultan an-Nashir al-Qalawun (wafat 741 H), ketika kembali ke kerajaannya untuk yang kedua kalinya, keinginan kuatnya yang pertama adalah bertemu dan melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Setelah keduanya bertemu, mereka pun berpelukan dan berbincang-bincang. Salah satu isi pembicaraan mereka adalah, Sultan an-Nashir meminta Syaikhul Islam mengeluarkan fatwa agar dia menangkap dan menghukum mati beberapa orang qadhi (hakim) yang pernah menjelek-jelekkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan, Sultan an-Nashir mendesak beliau untuk mengeluarkan fatwa itu.
Sultan meminta hal itu karena beliau sangat marah kepada mereka yang telah menggulingkannya, serta membaiat al-Jasyinkir. Setelah berhasil membunuh al-Jasyinkir dan menumpas beberapa tokoh yang terlibat, termasuk Nashr al-Munbaji, Sultan bertekad pula untuk menangkap beberapa qadhi dan ahli fikih yang loyal kepada al-Jasyinkir, yang beberapa kali mengeluarkan fatwa untuk membunuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagi Sultan, ini merupakan kesempatan untuk melampiaskan kejengkelannya kepada mereka. Akan tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sangat tanggap. Beliau justru memberikan penghormatan besar kepada para qadhi dan ulama tersebut. Beliau menjelaskan kedudukan dan keutamaan mereka kepada Sultan. Bahkan, beliau mengingkari ucapan-ucapan buruk yang ditujukan kepada mereka.
Beliau berkata kepada Sultan, “Jika Baginda membunuh mereka, niscaya Baginda tidak akan menemukan lagi, sepeninggal mereka, tokoh-tokoh yang seperti mereka. Adapun mereka yang pernah menyakitiku, mereka halal (tidak aku tuntut apa pun—ed.). Aku tidak akan berusaha mencari pembelaan untuk diriku.”
Demikianlah sikap seorang muwahid dalam prinsip al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci). Semua sikap ini hanya berhak ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Tidak sepantasnya seseorang memegang prinsip ini untuk kepentingan pribadi, tokoh, atau kelompoknya semata.
Baca juga: Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam
Diceritakan pula oleh Ibnu Abdil Hadi, bahwa ketika Syaikhul Islam sedang berada di Mesir, beliau disakiti oleh musuh-musuhnya. Kemudian datanglah sepasukan orang-orang al-Husainiyah. Mereka meminta izin beliau untuk menangkap dan membunuh orang-orang yang telah menyakiti beliau. Kalau perlu dan diizinkan, mereka siap meratakan Mesir dengan tanah.
Namun, Syaikhul Islam menjelaskan bahwa hal itu tidak halal. Mereka membantah, “Apakah yang mereka lakukan terhadap engkau itu halal?”
Syaikhul Islam kembali menegaskan bahwa dia tidak akan berupaya mencari pembelaan untuk dirinya.
Perhatikan pula perkataan Ibnu Makhluf, seorang qadhi bermazhab Maliki, salah seorang seteru beliau, yang pernah memerintahkan agar Syaikhul Islam dipenjara, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah. Saat dia berkuasa terhadap kami, dia justru melimpahkan kebaikan. Adapun kami, ketika kami berkuasa terhadapnya, kami berbuat jelek serta melakukan makar terhadapnya.”
Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Belajar dan mengajar dari satu majelis ke majelis lain, sampai pun di dalam penjara. Fatwa-fatwa dan risalah beliau selalu diharapkan, meskipun beliau sedang mendekam dalam penjara.
Sejak kecil, kesungguhan beliau dalam belajar memang sudah tampak. Hal itu juga ditambah dengan anugerah yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada beliau, yaitu kekuatan hafalan yang luar biasa dan sifat sulit lupa. Semua yang dibacanya, walaupun hanya sekali, akan terpatri dalam ingatan beliau, baik lafaz maupun maknanya.
Imam Abu Thahir as-Sarmari mengatakan, dalam majelis ke-67 dari majelis imlanya tentang zikir dan hifzh (hafalan),
“Salah satu keajaiban kekuatan hafalan di zaman kita ini adalah Syaikhul Islam Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Beliau pernah melihat sebuah kitab lalu membacanya satu kali. Pada saat itu juga isi kitab tersebut telah terpatri dalam dirinya. Kemudian dia mengulang dan menukilnya dalam berbagai tulisannya, secara tekstual ataupun makna.
Bahkan, hal yang lebih menakjubkan yang pernah aku dengar tentang beliau, adalah kisah yang diceritakan oleh sebagian sahabatnya ketika beliau masih anak-anak.
Suatu hari ayahnya ingin membawa anak-anaknya untuk rekreasi ke sebuah taman. Beliau berkata kepada Ibnu Taimiyah, ‘Hai, Ahmad! Ayo berangkat bersama saudara-saudaramu untuk bertamasya.’
Namun, Ibnu Taimiyah memberikan alasan kepada ayahandanya untuk tidak ikut. Sang ayah masih terus mendesak, dan Syaikhul Islam juga tetap menolak, ‘Aku berharap ayah berkenan memaafkanku untuk tidak ikut keluar.’
Baca juga: Pengaruh Orang Tua Terhadap Anak
Akhirnya, sang ayah meninggalkannya dan berangkat bersama saudara-saudara beliau yang lain. Mereka menghabiskan hari itu di taman tersebut, dan baru kembali menjelang sore.
Setibanya di rumah, sang ayah berkata, ‘Hai, Ahmad! Engkau telah membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan ketidakhadiranmu. Mengapa (engkau melakukannya)?’
Beliau menjawab, ‘Wahai, ayahanda. Sungguh, hari ini ananda telah menghafal kitab ini,’ sambil menunjukkan sebuah kitab yang berada di tangannya.
Sang ayah terkejut, kagum, dan tidak percaya, ‘Engkau telah menghafalnya?!’ Beliau berkata kepada Syaikhul Islam, ‘Bacakan kitab itu kepadaku!’
Syaikhul Islam pun membacakannya. Ternyata beliau memang telah menghafal isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan mencium keningnya seraya berkata, ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan apa yang telah kau lakukan ini kepada seorang pun!’ Beliau mengatakan demikian karena khawatir ain (mata hasad) akan menimpa putranya.”
Baca juga: Yang Tua Dihormati, Yang Kecil Disayangi
Ibnu Abdil Hadi menyebutkan pula, ada seorang syaikh dari Halab yang mendatangi Damaskus karena mendengar berita tentang seorang anak yang bisa menghafal dengan sangat cepat. Anak itu bernama Ahmad bin Taimiyah. Dia ingin melihat anak tersebut.
Setelah syaikh itu ditunjukkan sebuah jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah menuju tempat belajarnya, syaikh itu pun duduk menanti. Tak lama kemudian, datanglah Ibnu Taimiyah membawa batu tulis besar. Syaikh itu memanggilnya dan melihat batu tulis tersebut. Ia lalu meminta agar Ibnu Taimiyah menghapus tulisan yang ada, kemudian menuliskan apa yang didiktekannya.
Ada belasan hadits yang didiktekan. Syaikh itu kemudian menyuruh beliau untuk membacanya, dan menyetorkan apa yang dibacanya tadi. Ibnu Taimiyah segera menyetorkan apa yang telah dibacanya kepada syaikh itu.
Kemudian syaikh itu mendiktekan beberapa sanad dan menyuruh beliau untuk membacanya. Setelah itu, syaikh memerintahnya agar menyetorkan apa yang dibacanya di atas batu tulis itu.
Setelah itu, syaikh tadi bangkit berdiri dan mengatakan bahwa jika anak ini berumur panjang, perihalnya akan menjadi sangat besar di masa mendatang. Sebab, belum pernah ada seorang pun yang kekuatan hafalannya seperti dia.
Saat usianya masih belia, beliau sudah belajar dari beberapa orang guru ternama, di antara mereka adalah Abdud Da’im, al-Qasim al-Irbili, al-Muslim bin Allan, Zainuddin Ibnul Munja, al-Majd Ibnu Asakir, Ibnu Abi Umar, serta syaikh lainnya yang berjumlah hampir dua ratus orang.
Murid-murid beliau juga bertebaran, bahkan sebagian mereka telah sampai pada tingkatan mujtahid.
Salah satu murid beliau yang paling terkenal dan paling banyak mewarisi ilmu beliau adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah.
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Seandainya Syaikh Taqiyuddin tidak mempunyai keutamaan lain selain meluluskan seorang murid yang terkenal, yaitu Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah—pengarang beberapa karya besar yang manfaatnya diambil oleh pendukung dan musuh beliau—itu sudah cukup untuk membuktikan betapa agungnya kedudukan beliau (Ibnu Taimiyah).”
Murid beliau yang lain adalah Ibnu Katsir rahimahullah, penyusun kitab tafsir yang menjadi salah satu rujukan kaum muslimin. Setelah wafatnya, Ibnu Katsir dimakamkan di samping kuburan guru yang dicintainya, Ibnu Taimiyah, di Pemakaman Shufiyah.
Baca juga: Kitab-kitab Tafsir Ahlus Sunnah dan Keistimewaannya
Murid beliau yang juga terkenal adalah adz-Dzahabi, penyusun Tarikh Islam, Siyar A’lamin Nubala’, Mizanul I’tidal, dan lain-lain.
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, penulis Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, pernah berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sambil meminum air zamzam di dekat Baitullah (Ka’bah) agar diberi anugerah kemampuan membaca yang luas (istiqra’ tam), seperti yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Imam adz-Dzahabi. Kemudian ilmu itu pun seolah-olah menyatu dengan darah dan daging beliau.
Imam al-Bazzar rahimahullah menceritakan, dari Syaikh Tajuddin Muhammad yang dikenal dengan Ibnu ad-Dauri rahimahullah; dia pernah menghadiri majelis Ibnu Taimiyah yang ketika itu sedang ditanya oleh seorang Yahudi mengenai permasalahan takdir, dalam bentuk beberapa bait syair.
Setelah mendengar syair-syair itu, Syaikhul Islam berpikir sejenak. Beliau lalu mulai menulis jawabannya. Kami mengira beliau hanya menulis jawaban dalam bentuk uraian biasa. Ternyata, beliau juga menjawabnya dalam bentuk bait-bait syair, lebih kurang seratus bait; yang seandainya diuraikan, tentu akan menjadi dua jilid kitab yang besar.
Majelis beliau termasuk majelis yang diberkahi. Al-Bazzar menyebutkan, setiap kali beliau menyebut nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau tidak akan lupa mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau shallallahu alaihi wa sallam. Ibnu Taimiyah adalah seorang yang sangat mengagungkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hampir tidak ada seorang pun yang lebih mengagungkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan lebih semangat mengikuti Sunnah (ajaran) beliau shallallahu alaihi wa sallam, daripada Ibnu Taimiyah. Selesai mengajar, beliau membuka matanya dan menghadap hadirin dengan wajah yang berseri-seri.
Baca juga: Mengagungkan Sunnah, Buah Nyata Akidah yang Benar
Senin, 2 Muharram 683 H, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mulai menyampaikan pelajaran di Darul Hadits as-Sukkariyah di Qashsha’in. Majelis tersebut dihadiri pula oleh Baha’uddin Yusuf bin az-Zaki asy-Syafi’i, Tajuddin al-Fazari Syaikh Syafi’iyah, Syaikh Zainuddin bin al-Marhal, dan Syaikh Zainuddin al-Munja al-Hanbali. Materi yang dipelajari adalah masalah yang cukup ramai dibahas, yaitu permasalahan basmalah.
Syaikh Taqiyuddin al-Fazari menyebutkan uraian itu melalui tulisannya karena faedahnya yang begitu melimpah. Demikian pula halnya dengan persoalan-persoalan lain yang dianggap bagus oleh para peserta yang hadir. Padahal, usia beliau ketika itu baru 22 tahun.
Pada 755 H, beliau menyampaikan pelajaran di Madrasah al-Hanbaliyah, menggantikan Syaikh Zainuddin Ibnul Munja, salah seorang ulama mazhab Hanbali yang telah wafat.
Kegiatan belajar dan mengajar ini tidak pernah beliau hentikan, meskipun berada dalam penjara. Pengarang al-Kawakibud Durriyah menceritakan, ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap dan dipenjara, beliau justru menampakkan kegembiraan. Dan memang itulah yang beliau nantikan.
Di dalam penjara, situasi berubah menjadi majelis ilmu. Penjara dihiasi oleh berbagai ibadah dan kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang telah selesai menjalani masa hukumannya dan telah dinyatakan bebas, lebih memilih tinggal bersama beliau untuk mendapatkan faedah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Lihat Jamharah Ansabil ‘Arab, karya Ibnu Hazm rahimahullah, hlm. 275.
[2] Lihat at-Tibyan Syarh Badi’atil Bayan.