Tashfiyah
Tashfiyah

tiga hubungan interaksi

8 tahun yang lalu
baca 5 menit
Tiga Hubungan Interaksi

اتَّقِ اللهََ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah engkau kepada Allah di mana pun kamu berada, kapan pun itu dan bagaimana pun keadaanmu. Iringilah perbuatan dosa yang kamu lakukan dengan kebaikan yang akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan perangai dan akhlak yang mulia.” [H.R. At Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani rahimahullah dalam Shahih At Targhib no: 2655]

Pada hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kepada kita tiga jenis hubungan interaksi yang pasti dan harus dijalani oleh setiap hamba. Di mana beliau juga menyebutkan hal terbaik yang semestinya dilakukan oleh setiap hamba pada setiap hubungan interaksi tersebut.

Yang pertama, muamalatul ‘abdi li rabbihi. Yakni, interaksi seorang hamba dengan Allah, Rabb-nya. Yang ternyata hal terbaik yang semestinya dilakukan ialah berusaha menjadi pribadi yang bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala dengan ketakwaan sebenar-benarnya. Bertakwa kepada Allah dengan ia posisikan dirinya sebagai hamba yang siap patuh dan tunduk atas semua syariat Allah, Rabbnya. Siap benar-benar menjalankan segala yang Allah perintahkan dan siap pula meninggalkan apa pun yang Allah larang. Ia benar-benar memasrahkan dirinya kepada Allah dan menjadikan semata-mata keridhaan Allah sebagai acuan hidupnya.

“Wahai sekalian orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya.” [Q.S Ali Imran: 102]

Bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya dalam artian berusaha menjalankan ketakwaan kepada Allah secara utuh. Tidak pilah-pilih dan timbang-menimbang di dalam menjalankan apa pun yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka ia pun siap menanggung segala konsekuensi yang harus ia terima untuk meraih keridhaan-Nya. Ia rela korbankan dunianya dan bahkan walau nyawa taruhannya jika itu yang harus ia lakukan untuk meraih ridha-Nya.

Seperti yang Allah firmankan yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara utuh menyeluruh” [Q.S. Al Baqarah: 208]

Beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya dalam artian berusaha menjalankan ketaatan kepada Allah secara mutlak tidak berbatas tempat, waktu ataupun keadaan tertentu. Di mana pun ia berada, bukan hanya ketika berada di masjid, atau ketika berada di lingkungan orang-orang yang saleh, bahkan walaupun ia tengah sendirian, maka ia siap mengingat dan mematuhi batasan-batasan yang Allah tentukan untuknya. Kapan pun waktunya, pagi, siang, dan malam. Ia akan berusaha menjalankan apa pun yang mesti ia jalani karena-Nya. Bagaimana pun keadaan dirinya, ketika ia dalam keadaan lapang, sempit, bahagia, atau sedih, maka ia akan terus ingat Allah dan mengamalkan apa yang harus ia lakukan di saat itu. Artinya ia adalah hamba yang selalu mengenal Allah, merasa diawasi dan dipantau oleh Allah di mana pun, kapan pun dan bagaimana pun keadaannya.

Maka hubungan semacam inilah yang terbaik yang Allah kehendaki untuk diwujudkan dipraktikan oleh siapa pun di dalam berinteraksi terhadap Allah.

Yang kedua, mu’amalatul ‘abdi li nafsihi. Yakni hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Yakni dengan berusaha untuk terus bersemangat beramal dan menjalankan kebajikan yang mampu diamalkan untuk menutup dan menggantikan berbagai kesalahan dan dosa yang saban hari kita terjatuh di dalamnya. Seperti yang kita akui, bahwa ada saja kesalahan dan kekeliruan yang kita lakukan dalam berinteraksi Allah, dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya. Ada saja perbuatan dosa yang kita lakukan dengan kesadaran atau ketidaktahuan kita. Tentu bukan suatu hal yang baik jika kekurangan dan kesalahan yang kita lakukan dibiarkan begitu saja dengan tanpa ada upaya untuk bisa menghilangkan kesalahan dan dosa tersebut. Karena yang namanya dosa dan kesalahan pasti akan berefek negatif yang akan mencelakakan kita, di dunia ataupun di akhirat kelak.

Maka tidak ada hal yang terbaik dalam hubungan kita dengan diri kita sendiri selain kita terus berusaha menyemangati diri untuk beramal saleh semampu kita demi kebaikan kita sendiri. Di mana amal saleh tersebut akan menggugurkan dan menghapus dosa dan kesalahan.

Seperti yang Allah firmankan yang artinya, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghapus kesalahan-kesalahan.” [Q.S. Hud: 114]

Yang ketiga, mu’amalul ‘abdi lighairihi minan nas. Yakni, hubungan seorang hamba dengan manusia yang lain. Di mana hal terbaik yang semestinya dilakukan ialah berusaha menjadi seseorang yang berakhlak mulia dan berperangai santun terhadap mereka. Dan cukuplah seseorang dikatakan berakhlak mulia jika dia memperlakukan manusia sebagaimana dia suka manusia memperlakukan dirinya dengannya.

Ketika dirinya suka untuk dihormati, dimuliakan maka ia pun berusaha menghormati dan memuliakan orang lain. Ketika dia tidak suka dizalimi, baik dengan lisan atau tindakannya, maka ia pun juga tidak suka menzalimi orang lain, baik dengan lisannya atau dengan tindakannya. Ketika ia suka jika manusia berbuat baik kepadanya, ia pun suka untuk berbuat baik kepada manusia. Ketika ia tidak suka jika manusia berbuat jelek terhadapnya, maka ia pun tidak suka berbuat jelek kepada manusia. Dan demikian seterusnya.

Sungguh banyak sekali faedah dan keutamaan yang akan didapatkan oleh orang-orang yang berakhlak mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, “Siapakah hamba-hamba Allah yang paling Dia cintai?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.” [H.R. Ath Thabarani dan dishahihkan Al Albani rahimahullah dalam Shahih Targhib no: 2652] Hadis di atas menunjukan bahwa orang-orang yang berakhlak mulia adalah orang-orang yang berpredikat sebagai orang yang paling dicintai oleh Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْم الْقِيَامَة أَحَاسِنكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya di antara orang yang yang paling aku cintai dan paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat nanti adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian” [H.R. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani rahimahullah dalam Shahih Targhib no: 2649]

Maka orang yang memiliki akhlak yang mulia ia akan mendapatkan kemuliaan karena dicintai oleh Nabi dan berhak mendapatkan kedudukan yang dekat dengan beliau di hari akhir nanti.

Bahkan di dalam hadis Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan yang artinya, “Aku menjamin akan mendapatkan rumah di surga yang tertinggi bagi orang-orang yang baik akhlaknya.” [H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani rahimahullah dalam Shahih Targhib no: 4167]

Tentunya masih banyak sekali hadis yang menjelaskan keutamaan besar yang akan diraih oleh pemilik akhlak mulia. Maka kita selalu memohon kepada Allah agar Ia menuntun kita untuk bisa menjalankan yang terbaik yang Allah inginkan dari kita di dalam segala halnya. Wallahu a’lam.

[Ustadz Abu Ruhmaa Sufyan Alwi].