Qonitah
Qonitah

haruskah berpegang pada mazhab fikih tertentu?

11 tahun yang lalu
baca 11 menit
Haruskah Berpegang pada Mazhab Fikih Tertentu?

Haruskah Berpegang pada Mazhab Fikih Tertentu?

Oleh: Al-Ustadzah Ummu Maryam Lathifah

Pada edisi perdana telah kita ketahui, bahwa sepeninggal al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, dan al-Imam Ahmad bin Hanbal, murid-murid mereka mengumpulkan ucapan dan pendapat mereka dalam ushul fikih serta metode pengambilan hukum (istinbath) mereka. Muncullah empat mazhab dalam Islam, yang merupakan mazhab fikih Ahlus Sunnah yang berkembang pengikutnya di seluruh penjuru dunia.

Namun, di antara keempat madzhab tersebut terjadi perselisihan pendapat dalam beberapa permasalahan fiqih. Mengapa bisa demikian? Bagaimana sikap seorang muslim menghadapi perbedaan itu? Haruskah kita berpegang pada madzhab fikih tertentu?

Nah, Pembaca Muslimah, marilah kita telaah pembahasan tersebut di rubrik kita ini, masih dari kajian bersama asy-Syaikh Muhammad Umar Bazmul hafizhahullah.

Sebab Ikhtilaf (Perselisihan Pendapat) Para Ulama

Barangkali ada yang bertanya, “Bukankah al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas adalah dasar bagi mazhab-mazhab yang ada ini?” Jawabannya, “Ya.”

Barangkali akan muncul lagi pertanyaan, “Lantas, mengapa terjadi perbedaan mazhab dan pendapat di antara ulama?” Jawabannya, permasalahan fikih ada dua jenis:

1.    Permasalahan fikih yang memiliki dalil yang jelas, tidak mengandung kemungkinan makna lain dan bersifat harus diikuti. Setiap orang yang mengetahui dalil ini harus mengambil dan mengikutinya, tidak boleh menyelisihinya.

2.    Permasalahan fikih yang bersifat ijtihadiyyah, yang di dalamnya tidak terdapat dalil yang jelas yang harus diikuti. Terkadang, dalil-dalil dalam permasalahan ini tampak seperti saling bertentangan, atau mengandung beberapa kemungkinan, dan tidak didapati cara untuk menguatkan salah satunya. Terkadang pula, masalah tersebut pada asalnya tidak memiliki dalil, sehingga dibangun di atas ijtihad dengan qiyas(analogi) terhadap dalil lain, atau dengan melihat maslahat, dsb.

Inilah jenis permasalahan fikih yang terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama di dalamnya.

Ketika menjumpai perselisihan pendapat ulama tentang suatu isu, seorang muslim semestinya mencari kejelasan dan mempelajari hal tersebut. Apabila ia memiliki kapasitas ilmu untuk mempertimbangkan dan mengikuti, hendaknya ia mengikuti dalil yang ada. Namun, apabila ia termasuk orang awam yang belum memiliki kemampuan untuk memahami pembahasan ilmiah, hendaknya ia bertanya kepada ulama atau kepada orang yang ia percayai agama dan keilmuannya, kemudian mengikuti arahan orang tersebut. Tidak boleh ia mengikuti hawa nafsu dan kecenderungan yang disukainya secara pribadi.

Bagaimana kita memahami proses munculnya perbedaan pendapat di dalam permasalahan fikih? Pertimbangan seorang ulama mengenai suatu permasalahan akan melewati empat tahapan:

1.    Tahap pertama, pertimbangan mengenai keshahihan dalil pada suatu permasalahan.

2.    Tahap kedua, pertimbangan mengenai penunjukan (sisi pendalilan) dan makna dalil tersebut.

3.    Tahap ketiga, pertimbangan apakah dalil tersebut bersifat pasti, kuat, berlaku, dan tidak dihapuskan oleh dalil yang lain.

4.    Tahap terakhir, pertimbangan apakah dalil tersebut selamat dari pertentangan dengan dalil yang lain ataukah tidak.

Sebab terjadinya perbedaan pendapat ulama kembali pada empat tahapan ini. Terkadang, ikhtilaf terjadi dalam hal shahih atau tidaknya suatu dalil. Apabila seorang ulama menganggap (berdasarkan kapasitas ilmunya) bahwa dalil tersebut tidak shahih, ia tidak akan menggunakannya. Termasuk di dalam tahapan ini adalah sampai atau tidaknya sebuah dalil kepada seorang ulama.

Bisa jadi, mereka berbeda pendapat apakah dalil tersebut diterima atau tidak. Yang berpendapat bahwa dalil tersebut diterima, ia akan mengamalkannya, dan sebaliknya. Bisa jadi, seorang ulama tidak bisa menghadirkan dalil tersebut ketika berfatwa.

Terkadang, sebab perselisihan mereka ada pada penunjukan suatu dalil. Seorang ulama mungkin memahami makna yang berbeda dari dalil yang sama, sehingga pendalilan ulama lain dengan hadits tersebut dalam suatu permasalahan tidak dapat diterimanya. Hal ini terjadi karena perbedaan pemahaman terhadap makna dalil. Bisa jadi pula, hadits tersebut mengandung beberapa kemungkinan makna dan beberapa sudut pandang, namun tidak ada petunjuk yang dapat menguatkan salah satunya, menurut pandangan seorang alim.

Kemungkinan lain sebab perbedaan pendapat mereka adalah bahwa menurut seorang ulama dalil tersebut tidak kuat, mansukh/terhapus hukumnya (padahal belum), atau dalil tersebut dibantah oleh dalil yang lain, dsb. Bisa jadi, ulama tersebut di dalam ijtihadnya memiliki satu premis yang menentang pendalilan dengan suatu hadits, seperti keharusan mendahulukan dalil yang mutawatir daripada dalil yang lain secara mutlak, dsb., sesuai dengan perbedaan mereka dalam hal ilmu ushul fikih.

 

Sikap Seorang Muslim Menghadapi Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama Fikih

Seorang muslim itu bisa jadi mujtahid, muttabi’ (orang yang mengikuti ilmu), atau awam. Mujtahid adalah orang yang mampu mempertimbangkan sebuah dalil, menarik permasalahan dari suatu dalil, mengetahui pendapat ulama dan perbedaan mereka, dan mampu melakukan pertimbangan serta membahas permasalahan dengan baik.

Barang siapa berada pada tingkat ijtihad ini, ia tidak boleh mengambil pendapat seorang ulama dalam masalah yang diperselisihkan. Dia wajib mempelajari dan mempertimbangkan masalah tersebut berikut dalil-dalilnya dan beramal sesuai dengan ijtihadnya.

Muttabi’ adalah orang yang belum mencapai tingkat ijtihad, tetapi mampu mempelajari dan mempertimbangkan dalil sebuah masalah. Ia bisa mengetahui dalil dan mampu mengambil masalah dengan dalilnya. Namun, ia belum mengetahui keseluruhan pendapat para ulama, letak perselisihannya, sisi-sisi pendalilan mereka, dan hal-hal yang berhubungan dengannya.

Orang yang seperti ini tidak boleh mengambil kesimpulan suatu masalah sebelum mengetahui dalilnya dan jelas baginya bahwa dalil tersebut kuat lagi jelas dalam pandangannya daripada dalil lain.

Adapun awam, para ulama mengatakan bahwa pendapat yang sebaiknya dipegangi oleh orang awam adalah pendapat mufti (ulama yang memberikan fatwa) kepadanya. Namun, orang awam ini memiliki bagian tanggung jawab ijtihad sesuai dengan keadaan dirinya. Ia tidak dituntut untuk mempelajari dan mempertimbangkan permasalahan serta dalilnya. Namun, ketika tidak mengetahui suatu masalah fikih, ia dituntut untuk:

1.    Bertanya kepada orang yang memiliki ilmu dan ia percayai keilmuannya.

2.    Ketika terjadi ikhtilaf, hendaknya ia menguatkan (pendapat) ulama yang menurutnya lebih wara’, lebih bertakwa, dan lebih banyak ilmunya.

Oleh karena itu, ketika seorang awam melihat para ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat tentang sebuah masalah, hendaknya ia melihat siapa di antara mereka yang lebih banyak ilmunya, lebih bertakwa, lebih wara’, dan terbukti lebih unggul daripada ulama yang lain. Hendaknya ia bertanya kepada ulama ini dan mengambil pendapatnya dalam masalah tersebut.

Allah  berfirman,

 فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

 “Dan bertanyalah kalian kepada orang yang memiliki ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Orang awam tidak boleh mengambil sikap selain ini. Apabila ia mengambil sikap lain, berarti ia menjadikan agamanya mengikuti hawa nafsunya dan biasanya akan mengikuti pendapat yang lebih ringan serta lebih mudah untuk diamalkan. Barang siapa mencari-cari rukhshah (keringanan) dari para fuqaha, ia akan merusak agamanya.

Larangan mencari-cari rukhshah di sini adalah rukhshah yang muncul dari ikhtilaf di kalangan fuqaha, bukan rukhshah yang memang keringanan dari Allah l, seperti keringanan dari-Nya berupa shalat dua rakaat bagi orang yang sedang melakukan perjalanan jauh (safar).

Haruskah Kita Berpegang pada Mazhab Fikih Tertentu?

Seorang muslim tidak wajib berpegang teguh pada satu mazhab tertentu. Mazhab seorang muslim yang awam adalah mazhab yang dipegangi oleh ulama yang memberikan fatwa kepadanya (muftinya). Namun, ia tidak boleh membatasi dirinya dengan menisbatkan diri pada satu mazhab tertentu atau mengharuskan diri berpegang pada satu mazhab tertentu. Jika memang mazhab yang paling banyak tersebar di negerinya adalah suatu mazhab fikih tertentu atau ulama mazhab ini adalah yang terbanyak di negerinya, tidak ada halangan baginya untuk mengambil fatwa ulama negerinya tersebut.

Akan tetapi, ia tidak boleh mengharuskan dirinya untuk mengikuti mazhab tersebut dan meninggalkan mazhab yang lain. Tidak boleh pula ia menganggap bahwa dirinya tidak mungkin mengambil mazhab yang lain. Sebab, yang wajib baginya adalah mengikuti apa yang ditunjukkan oleh dalil syar’i yang dia ketahui dan mengambil apa yang dibawa oleh Rasulullah ` secara mutlak. Rasulullah ` bersabda,

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

Sesungguhnya aku meninggalkan di tengah-tengah kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat setelah keduanya: Kitabullah dan sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di telaga(ku) (hari kiamat).” (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 4/245 dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 10/114)

Jalan petunjuk dan keselamatan dari kesesatan adalah berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan pemahaman generasi awal umat ini. Inilah sikap yang seharusnya dipegangi oleh seorang muslim.

Yang Perlu Diperhatikan oleh Penuntut Ilmu

1.    Penuntut ilmu harus memahami bahwa berpegang pada al-Kitab dan as-Sunnah tidaklah berarti ia tidak boleh mempelajari fikih menurut mazhab tertentu. Bahkan, penuntut ilmu tidak dapat mempelajari fikih melainkan melalui metode salah satu mazhab fikih yang ada. Sebab, mazhab-mazhab yang ada ini sudah mapan kitab-kitabnya, diketahui ushul/dasarnya, banyak syarah (penjelasan)nya, dan memiliki banyak karangan tentang berbagai sisi ilmiah yang berhubungan dengan mazhab ini.

Jadi, jika penuntut ilmu mempelajari fikih dengan perantaraan salah satu mazhab tersebut, metodenya sudah benar. Namun, dengan satu syarat: setelah jelas baginya bahwa mazhab tersebut menyelisihi dalil yang shahih, ia harus mengikuti dalil dan meninggalkan mazhab itu dalam masalah tersebut.

2.    Penuntut ilmu yang ingin mempelajari fikih menurut salah satu dari empat mazhab tersebut semestinya memilih kitab-kitab mazhab yang bisa dijadikan sandaran. Sebab, setiap mazhab memiliki kitab-kitab fikih yang dijadikan sandaran, yang menjelaskan istilah-istilah yang dipakai dalam mazhab tersebut.

Misalnya, dalam mazhab Malikiyyah adalah ath-Thalhiyyah karya Muhammad an-Nabighah asy-Syinqithi; dalam mazhab Hanafiyyah, Nazhmu Rasm al-Mufti yang disyarah (dijelaskan) oleh Ibnu Abidin yang dicetak bersama Risalah Ibnu Abidin; dalam mazhab Syafi’iyyah, Muqaddimah al-Majmu’, Syarh al-Muhadzdzab karya al-Imam an-Nawawi; dan dalam mazhab Hanbaliyyah, al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Ahmad ibn Hanbal karya Ibnu Badrun.

3.    Mana yang lebih utama bagi penuntut ilmu, mempelajari fikih melalui mazhab-mazhab ini atau mempelajarinya melalui kitab-kitab yang metode penulisannya tidak berpegang pada satu mazhab tertentu, seperti kitab-kitab asy-Syaukani t dan selainnya?

Yang utama baginya adalah memulai belajar fikih melalui salah satu mazhab yang ada, meskipun tidak ada yang menghalanginya untuk mengambil faedah dari kitab-kitab asy-Syaukani dan yang semisalnya. Sebab, mazhab-mazhab ini telah mapan kitabnya, fikihnya, ushul (landasan)nya, dan memiliki syarah serta kitab yang menjelaskan setiap urusan juz’iyyah (parsial) dan far’iyyah (cabang) yang ada di dalamnya. Adapun pada kitab-kitab asy-Syaukani tidak ditemukan hal ini. Ketika mempelajari fikih dengan kitab asy-Syaukani atau yang selainnya—yang diketahui mengikuti dalil syar’i, hakikatnya kita sedang mengikuti fikih melalui metode penulisnya.

Lalu, mana yang lebih utama, belajar melalui metode asy-Syaukani dan yang selainnya, atau melalui metode empat imam mazhab? Kita ambil faedah dari kitab-kitab asy-Syaukani t, Shiddiq Hasan Khan t, dan ulama lain yang menyusun kitab dengan mengikuti dalil syar’i sesuai dengan ijtihad mereka. Namun, kita jadikan kitab-kitab salah satu dari empat mazhab sebagai fondasi pembelajaran fikih kita, karena alasan yang sudah disebutkan.

Apabila asy-Syaikh Muhammad ‘Umar Bazmul ditanya tentang mazhab siapa beliau pilihkan bagi kita, beliau menjawab, “Mazhab al-Hanbali atau asy-Syafi’i.” Sebab, keduanya diakui sebagai mazhab yang banyak diperhatikan, kitabnya mudah dipahami, dan banyak ulama Ahlus Sunnah yang membaca kitab-kitab ini di berbagai negara. Jadi, jika kita berada di suatu negeri yang para ulamanya adalah para Ahnaf (pengikut Abu Hanifah) atau Malikiyyah, sebaiknya kita mempelajari fikih melalui mazhab mereka agar proses pengambilan faedah dari para ulama berjalan dengan baik. Sikap ini bukanlah bentuk celaan terhadap mazhab lainnya. Yang penting, kita selalu memilih mengikuti dalil syar’i di dalam pelajaran kita, meskipun menyelisihi mazhab tertentu.

4.    Kita perhatikan istilah-istilah ilmu dan penukilan serta penyandaran riwayat mazhab yang kita pelajari. Hal ini agar istilah yang dipakai dalam ilmu fikih tidak tercampur dengan istilah dalam ilmu hadits dan bidang ilmu lainnya. Terkadang, seseorang membahas suatu masalah fikih yang berhubungan dengan hadits, tetapi ia menyebutkannya dengan metode ahli hadits, tidak dengan metode fuqaha.

5.    Asy-Syathibi dan Ibnu Shalah dalam fatwa mereka memperingatkan bahwa orang yang terhitung awam di bidang ilmu fikih tidak boleh langsung mempelajari kitab-kitab fikih atau fatwa para ulama dan berusaha memahaminya sendiri. Sebab, ia belum mencapai tingkatan ilmu yang menjadikannya mampu memahami perkataan para ulama dengan benar.

Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini. Terkadang, di dalam ucapan atau fatwa seorang ulama terdapat hal-hal—yang tidak dapat dipahami oleh orang awam—yang menjadi landasan ucapan atau fatwanya.

Yang wajib bagi seorang awam adalah kembali kepada para ulama yang terpercaya keilmuan dan keutamaannya, kemudian mengambil ucapan mereka (yang tentu saja berlandaskan dalil dan keilmuan yang mendalam).

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.