1. Jika realita yang ada sesuai dengan keterangan yang Anda sebutkan, maka tidak wajib mengeluarkan zakat harta warisan ayah Anda untuk dua tahun silam yang belum dikeluarkan zakatnya, karena ketidakmampuan setiap ahli waris untuk mendapatkan bagiannya, dikarenakan oleh beberapa faktor di keinginan ahli waris, tempat berdomisili yang jauh dan kondisi mereka yang terpencar-pencar, sehingga menyebabkan pembagian harta warisan tersebut menjadi tertunda sebagaimana yang telah Anda jelaskan.
Oleh sebab itu, status hukum setiap ahli waris saat itu sama dengan status harta yang belum dimiliki secara penuh, sementara di antara syarat wajib zakat itu adalah adanya status kepemilikan yang penuh. Jika setiap ahli waris sudah menerima bagiannya dari harta warisan, dan sudah mencapai masa haul, serta jumlahnya pun mencapai ukuran nisab, maka barulah wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40.
2. Siapa yang terkena kewajiban zakat, maka ia dilarang menunda-nunda atau memperlambat pembayarannya, namun sebaliknya ia harus segera menyerahkan pada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Dan hanya dengan cara seperti itu si pembayar zakat tersebut bisa lepas dari bebannya.
Apabila ahli waris sudah bisa melakukan pembagian harta warisan, dan tidak ada penghalang di luar keinginan mereka, lalu mereka menunda pembayarannya semata-mata karena sikap malas atau meremehkan, maka setiap ahli waris wajib mengeluarkan zakat bagiannya, terhitung sejak mereka mampu membagi harta warisan tersebut, jika memang harta warisan yang belum dibagi tersebut sudah mencapai masa haul dan telah mencapai ukuran nisab.
Dan setiap ahli waris dilarang memperlambat pembayaran zakat dari waktu yang diwajibkan. Ayah Anda sama sekali tidak ikut berdosa akibat penundaan para ahli waris dalam membayarkan zakat bagiannya, jika ayah Anda sudah mengeluarkan zakat hartanya semasa ia hidup, sebab semua yang dimiliki oleh si mayat, berupa harta, bangunan dan selainnya.
Maka hak kepemilikan harta benda tersebut akan berpindah secara langsung kepada ahli waris, seiring dengan kematian si mayat. Dan seluruh hukum yang berkaitan dengan harta benda tersebut, seperti zakat dan yang lainnya, bebannya terkait kepada ahli waris, bukan lagi kepada si mayat.
3. Adapun terkait semua piutang milik ayah Anda yang ada pada orang lain, jika memang orang yang berhutang tersebut tidak bisa melunasinya, maka sebaiknya ahli waris mengeluarkan zakatnya untuk satu tahun bila mereka memintanya.
Ahli waris tidak boleh menggugurkan hak mereka dari orang-orang yang berhutang tersebut dan dan menjadikannya sebagai bagian dari zakat harta mereka, karena itu artinya melindungi harta dengan harta mereka sendiri, dan dikarenakan urgensi zakat itu adalah adanya timbal balik antara memberi dan menerima.
Jika orang yang berhutang tersebut termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat, maka para ahli waris berhak menyerahkan zakat dan sedekah kepada mereka, agar mereka bisa melunasi hutang. Dan insyallah para ahli waris tersebut akan mendapatkan ganjaran pahala.
4. Adapun tentang membeli bangunan atau yang seumpamanya dengan menggunakan harta zakat, agar hasilnya diberikan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, itu samasekali tidak diperbolehkan, sebab zakat harta yang wajib itu merupakan hak para fakir miskin dan pihak-pihak penerima zakat yang lainnya.
Zakat tersebut wajib segera dikeluarkan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah. Dan tindakan membeli bangunan atau yang seumpamanya dengan menggunakan harta zakat, sama artinya menahan hak para penerima zakat yang wajib diserahkan kepada mereka, serta menghilangkan maslahat dan hikmat dari zakat, dan juga sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan orang-orang sesudah mereka.
Di samping itu, tidak ada dalil agama yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk tindakan seperti itu. Oleh sebab itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah, sebab mengikuti beliau itu terdapat semua kebaikan. Dan mereka juga dilarang untuk membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.