Yang sesuai sunah ialah menyegerakan pengurusan dan menyalatkan jenazah setelah wafat untuk mempercepat jenazah mendapat kebaikan bila dia orang baik atau melepaskan beban bila jenazah itu bukan orang baik. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, bahwasanya ia bersabda,
“Bersegeralah kalian menyelesaikan pengurusan jenazah. Bila jenazah itu adalah orang salih, maka kalian telah mempercepat kebaikan untuknya, dan bila ia bukan orang salih, maka kalian telah menyingkirkan kejelekan dari pundak kalian”. (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, al-Bukhari dan Muslim di dalam kedua kitab Shahihnya, dan para penulis Kitab Sunan (Abu Dawud, Tirmdzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan sebagainya)).
Dasar lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabarani dengan sanad hasan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia, maka janganlah kalian tahan dia, tetapi cepat bawalah dia ke kuburnya”.
Dengan menyegerakan pengurusannya, jenazah itu lebih terjaga dari perubahan bau yang dapat mengganggu orang-orang. Dengan demikian, mendahulukan shalat jenazah langsung setelah shalat Isya dan sebelum shalat Tarawih ialah lebih utama karena hal itu sesuai sunah dengan menyegerakan jenazah ke kuburannya. Hal ini juga didasarkan bahwa shalat jenazah sangat pendek, yang tidak menyebabkan shalat Tarawih terlambat atau mengganggunya.
Tempat shalat jenazah yang sering Nabi gunakan adalah di luar masjid, yaitu di tanah lapang untuk memudahkan orang yang menghadiri shalat jenazah menyaksikannya hingga dikuburkan agar mendapatkan pahala dua qirath, satu qirath pahala shalat dan satu qirath pahala menyaksikannya hingga dikuburkan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, bahwasanya ia bersabda,
“Barangsiapa menyalatkan jenazah, maka dia memperoleh satu qirath. Barangsiapa menyaksikannya hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath, satu qirath seperti gunung Uhud”. (HR. Muslim).
Orang yang menyalatkan jenazah di area pekuburan langkah mereka bertambah banyak sehingga pahala mereka pun bertambah banyak. Mereka berbeda dengan orang yang menyalatkan di masjid karena mereka biasa pulang ke rumah dan tidak menyaksikan penguburannya.
Shalat jenazah di masjid hukumnya boleh, berdasarkan apa yang disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ia pernah shalat jenazah di masjid, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah menyalatkan Suhail bin Baidha` di masjid”. (HR. Muslim, Tirmidzi dan Abu Dawud).
Di dalam riwayat lain Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah memerintahkan agar jenazah Sa`d bin Abi Waqqash dibawa ke masjid untuk dishalatkan. Ketika orang-orang mengingkarinya, lantas Aisyah berkata,
“Alangkah cepatnya orang-orang melalaikan sunah, padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyalatkan jenazah Suhail bin al-Baidha` kecuali di masjid”.
Hal ini juga didasarkan pada riwayat yang menyebutkan bahwa jenazah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma di shalatkan di masjid dan tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkari hal itu. Oleh karena itu, saat ini kaum Muslimin biasa menyalatkan jenazah di masjid.
Ini telah menjadi kebiasaan yang mereka lakukan karena lebih bermanfaat bagi mereka dan memperbanyak jumlah orang yang menyalatkan jenazah sehingga menambah pahala bagi jenazah, mengingat pada saat ini banyak orang memiliki kesibukan, bermalas-malasan melaksanakan sunah, dan lebih suka meninggalkannya kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah.
Dengan demikian, tempat manapun yang dipilih kaum Muslimin dalam melaksanakan shalat jenazah, baik di area pekuburan atau di masjid, adalah boleh karena kedua-duanya ada contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.