Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

keluarga korban pembunuhan mengajukan syarat untuk menikahi dua putri dari suku pelaku jika ingin melakukan perdamaian

2 tahun yang lalu
baca 4 menit
Keluarga Korban Pembunuhan Mengajukan Syarat Untuk Menikahi Dua Putri Dari Suku Pelaku Jika Ingin Melakukan Perdamaian

Pertanyaan

Saya adalah salah satu warga Tihama Qahtan di wilayah selatan. Saya bekerja sebagai penyuluh agama di perbatasan keamanan wilayah ‘Asir, Kota Dhahran bagian selatan, dan merupakan lulusan Fakultas Syariah, Cabang Universitas Islam Imam Muhammad bin Su'ud di wilayah selatan. Aktivitas saya terkonsentrasi pada dakwah dan bimbingan di tempat saya bekerja, dan di Tihama Qahtan, tanah tempat saya dibesarkan dan dilahirkan. Namun di wilayah kami, Tihama Qahtan, saya dihadapkan pada berbagai tradisi dan adat Jahiliah yang diwariskan oleh nenek moyang sebagai akibat dari ketidaktahuan akan syariat Allah. Saya termasuk orang-orang yang aktif memberantas penyelewengan terhadap hukum Allah dan mendorong mereka untuk mengikuti ajaran Islam. Kini, sebagian besar adat dan tradisi yang bertentangan dengan syariat tersebut sudah mulai berkurang. Namun, masih ada beberapa hal yang kami lihat masih bertentangan dengan hukum Allah. Mereka masih belum bisa kami yakinkan untuk dapat meninggalkannya. Di antara beberapa hal yang masih mereka pertahankan adalah tradisi yang dilakukan secara turun-temurun, dan menurut saya, merupakan kebiasaan yang buruk karena begitu banyak konsekuensi negatif yang ditimbulkannya. Ketika terjadi pembunuhan antara dua suku atau dua keluarga, keluarga korban tidak menerima perdamaian atau hak diat (uang tebusan akibat melukai atau menghilangkan nyawa orang lain sebagai ganti kisas), kecuali jika mereka menikahi dua anak perempuan dari keluarga atau suku pelaku pembunuhan. Mereka beralasan bahwa harta tidak dapat bertahan lama, sedangkan ikatan pernikahan dengan pengantin perempuan merupakan kompensasi yang bersifat selamanya. Perempuan yang akan dinikahi atau dipilih oleh keluarga korban dipaksa menikah dengan keluarga korban di atas dasar perjanjian damai, tanpa memedulikan apakah perempuan tersebut setuju atau tidak. Selain itu, dia tidak memiliki hak untuk memilih suami dari keluarga yang terbunuh, dan tidak boleh menggunakan haknya untuk membatalkan pernikahan, tanpa mempertimbangkan kondisi sulit apa pun yang akan dia derita ke depan. Apabila laki-laki yang menikahinya itu meninggal dunia, maka salah satu kerabat dari suaminya akan mewarisi perempuan tersebut. Dengan kata lain, perempuan itu merupakan bagian dari perjanjian perdamaian atau diat sesuai kesepakatan. Pertanyaan saya, apakah di dalam syariat Allah ada dalil yang membolehkan hal ini, dengan tidak mengindahkan keridaan sang perempuan, ketiadaan hak pembatalan pernikahan, hilangnya kebebasan untuk memilih suami, dan keterikatan yang tetap berlaku bahkan setelah suaminya meninggal dunia? Memang dalam beberapa kasus, ada perempuan yang rida dan suami yang membayar mahar secara simbolis. Namun ini hanya sedikit terjadi, bukan dalam semua kasus. Padahal, aturan yang mengharuskan perempuan tersebut dinikahi oleh keluarga korban adalah kemestian, sekalipun ada mahar yang dibayarkan. Dapatkah Anda menjelaskan kepada kami dan menjawab dengan segera jika memang hal ini tidak ada dalilnya dalam syariat Allah? Sebab, peristiwa yang serupa dengan keterangan di atas banyak terjadi dan penyelesaiannya bergantung kepada fatwa resmi dari Anda. Karena saya mendapatkan informasi di kota kami terkait syarat penyediaan pengantin wanita sebagai ganti korban pembunuhan. Namun perdamaian tersebut saya hentikan sebelum kami menerima fatwa Anda tentang masalah ini. Pengantin perempuan yang dimaksud adalah anak yatim, dipaksa, dan tidak berdosa dalam hal ini. Jadi, kami menunda perdamaian hingga mendapatkan jawaban dari Anda dan mengetahui penjelasan hukumnya secara syar’i. Ketika fatwa Anda tentang boleh atau tidaknya perdamaian ini dilakukan telah sampai kepada kami, maka hakim setempat akan menyampaikan isi fatwa tersebut. Sisi positif dari pernikahan ini adalah terjalinnya silaturahmi, keturunan yang jelas, dan meredakan kekacauan antara keluarga pembunuh dengan keluarga korban. Namun ini juga memiliki sisi negatif seperti yang telah kami sebutkan. Semoga Allah memberikan taufik kepada Anda menuju jalan kebaikan. Saya berharap kepada Allah, kemudian kepada Anda, untuk menjawabnya dengan segera.

Jawaban

Bentuk perdamaian yang dipraktikkan oleh suku pembunuh dan suku korban adalah rekonsiliasi batil yang tidak ada dasarnya di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena bertentangan dengan syariat Islam yang suci. Syariat Islam telah menjelaskan bahwa keluarga korban pembunuhan yang disengaja mempunyai hak untuk menuntut kisas terhadap pembunuh, memaafkan dan meminta diat, atau memaafkan secara penuh.

Pada pembunuhan secara tidak sengaja, keluarga mempunyai hak diat atau memaafkan tanpa syarat. Rekonsiliasi (perdamaian) yang disebutkan di atas didasarkan pada adat Jahiliah. Sebab, dalam proses perdamaian ini terdapat klausul syarat yang menyebutkan bahwa keluarga korban memiliki hak untuk menikahi dua orang anak perempuan dari suku pembunuh tanpa mempertimbangkan keridhaan mereka.

Selain itu, dipersyaratkan juga bahwa perempuan dapat diwariskan kepada kerabat jika suaminya meninggal dunia, serta dinyatakan pula bahwa diat dan perdamaian tidak akan terwujud kecuali dengan cara ini. Semua tindakan tersebut mirip dengan perbuatan yang dipraktikkan oleh orang-orang Arab masa Jahiliah sebelum Islam. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya juz 8 halaman 57, dari ‘Ikrimah radhiyallahu anhu, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Asy-Syaibani mengatakan bahwa ‘Atha` Abu al-Hasan as-Siwa`i menceritakan kepadanya dengan menyebutkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa” (QS. An-Nisaa’ : 19)

Ibnu Abbas berkata, “Apabila seorang laki-laki (di masa Jahiliah) meninggal dunia, maka anggota keluarga (laki-laki) berhak mewarisi jandanya. Jika mau, maka perempuan tersebut dinikahinya sendiri, atau dinikahkan (dengan orang lain), atau mereka tidak menikahkannya kepada siapa pun. Keluarga suami dianggap lebih berhak atas perempuan itu ketimbang keluarganya sendiri.”

Lalu ayat tersebut diturunkan untuk menjelaskan masalah ini. Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitab Fath al-Bari juz 8 halaman 95, “Telah diriwayatkan oleh ath-Thabari melalui jalan (sanad) Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas yang berkata, ‘Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan istri, maka kerabat dekat laki-laki tersebut mencegahnya agar tidak dinikahi orang lain. Jika cantik, maka wanita itu akan dinikahinya. Namun jika jelek, maka wanita itu akan dikurung hingga mati dan lelaki itu mewarisi hartanya.'”

Oleh karena itu, pernikahan yang diikat berdasarkan perdamaian ini adalah batil dan tidak sah sama sekali, karena pada pernikahan tersebut wanita dijadikan sebagai objek yang bisa dialihtangankan. Kehormatannya direndahkan dengan dipaksa menikah dan diwariskan kepada kerabat suaminya yang meninggal dunia. Ini bertentangan dengan syariat Islam, karena wanita di dalam Islam mempunyai kedudukan dan hak, yang dapat menjamin kehormatan dan kemuliaannya. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menikahi seorang wanita kecuali jika dia ridha.

Sebab, di antara syarat-syarat sah pernikahan adalah kedua belah pihak suami istri harus sama-sama ridha dan perempuan berhak untuk menerima mahar, bukan wali atau orang lain dari sukunya. Itulah sebabnya Islam mengharamkan nikah syighar (seorang lelaki mendapatkan izin untuk mengawini anak perempuan, asalkan calon ayah mertuanya itu boleh menikah dengan anak perempuan dari calon menantunya itu tanpa mahar). Dalam hal ini, wali pernikahan mempunyai niat agar kepentingannya terwujud melalui peminang tanpa memperhatikan kemaslahatan perempuan.

Pernikahan yang digambarkan pada pertanyaan di atas hanya didasarkan kepada kepentingan suku, tanpa memperhatikan kepentingan dan keridhaan perempuan. Selain itu, berbagai masalah, kerusakan, dan kejahatan sangat mungkin terjadi. Pernikahan tersebut hanya menjadi perantara untuk mendatangkan mudarat kepada perempuan.

Amat dimungkinkan hal ini merembet kepada pembunuhan perempuan tersebut atas dasar balas dendam, terutama karena pernikahan tersebut terjadi tanpa persetujuan perempuan. Adanya klaim positif bahwa pernikahan dapat mewujudkan hubungan silaturahmi dan memadamkan keburukan fitnah antara dua suku yang bertikai sebagaimana disebutkan di atas tidak bisa dijadikan pembenaran. Sebab, mencegah kerusakan (efek negatif) lebih diutamakan daripada mengambil maslahat.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.