Pertama, para ulama berbeda pendapat mengenai zakat barang dagangan; Jumhur ulama mewajibkannya, sedangkan Dawud bin Ali az-Zahiri dan beberapa ulama tidak mewajibkannya.
Jumhur ulama berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu `anhu bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu `anhu pernah diutus oleh Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam untuk memungut zakat.
Umar melaporkan, “Al-`Abbas, Khalid dan Ibnul Jamil enggan membayar zakat.” Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya kalian telah menzalimi Khalid. Sesungguhnya Khalid itu menyimpan baju besi dan peralatan perang untuk berjihad di jalan Allah.”
Hal itu menunjukkan bahwa Khalid diminta untuk mengeluarkan zakat baju besi dan peralatan perangnya, padahal barang tersebut tidak wajib dizakati keculi jika dijadikan barang dagangan.
Khalid tidak menjadikannya sebagai barang dagangan, dia menyimpannya hanya untuk berjihad di jalan Allah. Dalil lainnya, hadits riwayat Abu Dawud dari Samurah bin Jundub, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat barang yang kami persiapkan untuk diperjualbelikan.”
Juga hadits yang diriwayatkan Ad-Daraquthni dari Abu Dzar radhiyallahu `anhu, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Pada unta terdapat kewajiban zakat, pada kambing terdapat kewajiban zakat, dan pada pakaian terdapat kewajiban zakat.”
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa zakat tersebut tidak wajib atas wujud benda pakaian tersebut, namun kewajiban mengeluarkan zakatnya itu terletak pada nilainya hal ini hanya jika barang berupa pakaian ini dijadikan sebagai barang dagangan.
Demikian juga hadits riwayat Imam Ahmad rahimahullah dari Abu `Amr bin Hamas dari ayahnya, ia berkata, “Umar memerintahkanku dengan berkata, “Tunaikan zakat hartamu!” Aku menjawab, “Aku tidak mempunyai harta melainkan tempat anak panah dan pakaian dari kulit.” Umar mengatakan, “Taksir nilainya lalu tunaikan zakatnya.”
Dalil lainnya lagi, hadits riwayat Abdurrahman bin Abd al-Qari, ia berkata, “Aku pernah menjadi penjaga Baitul Mal di zaman Umar bin al-Khaththab. Jika waktunya berzakat, Umar akan mengumpulkan harta para pedagang. Kemudian menghitung harta orang-orang yang sedang tidak ada dan orang yang hadir, lalu ia mengambil zakat orang yang sedang tidak ada dan orang yang hadir dari orang yang menjaga harta.”
Hadis lainnya yang sahih diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Tidak ada kewajiban atas barang yang disimpan sampai diperjualbelikan sehingga zakat wajib hukumnya.”
Begitu juga riwayat sahih dari Ibnu Umar radhiyallahu `anhu, bahwasanya ia berkata, “Barang-barang tidak wajib dizakati, kecuali telah menjadi barang dagangan.” Riwayat-riwayat tersebut telah masyhur di kalangan para sahabat radhiyallahu `anhum dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga merupakan sebuah ijmak.
Menakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan memaknainya sebagai sedekah sunah itu menyalahi makna zahirnya, bahkan menyelisihi sesuatu yang secara jelas dinamakan zakat di beberapa hadits dan atsar.
Ulama yang tidak mewajibkan zakat pada barang-barang dagangan berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau bersabda,
“Tidak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 uqiyah (ukuran sebanyak 40 dirham zaman dahulu) dan unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor.”
Dalam riwayat lain beliau bersabda,
“Tidak ada zakat pada biji-bijian dan buah-buahan yang kurang dari 5 wasak.”
Beliau juga bersabda,
“Seorang muslim tidak dikenakan zakat pada budak dan kuda miliknya, namun dia tetap dikenakan zakat fitrah.”
Dalam sebuah riwayat, tatkala Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam menjelaskan mengenai hak Allah pada unta, sapi, kambing, dan harta karun, beliau ditanya mengenai kuda, beliau menjawab,
“Kuda untuk tiga orang: untuk seseorang yang diberi pahala, seseorang yang ditutupi kefakiran dan kondisinya, dan seseorang yang mendapat dosa.”
Beliau ditanya mengenai himar, dan beliau menjawab,
“Allah tidak menurunkan wahyu kepadaku melainkan ayat yang komprehensif ini, Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
Keumuman ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban zakat pada barang dagangan, baik barang tersebut disiapkan untuk diperdagangkan maupun tidak.
Dalil-dalil tersebut itu dijawab dengan memaknai ketidakwajiban zakat itu tidak wajib pada wujud benda barang tersebut, sehingga hal itu tidak menafikan kewajiban zakat pada nilainya menurut nilai emas dan perak.
Dengan demikian zakat bukan ditujukan pada wujud bendanya, melainkan ditujukan pada nilainya, sehingga nilai barang inilah yang dijadikan patokan. Dengan pemahaman ini, dalil-dalil yang menafikan dan dalil-dalil yang menetapkan zakat barang dagangan dapat dipertemukan.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.