Pertama, seseorang duduk dengan bertumpu pada kedua pantatnya, sementara kedua kaki atau kedua betis dan pahanya ditegakkan, serta dua tangannya menyentuh tanah, seperti iq’aa’ anjing dan binatang buas.
Bentuk iq’aa’ seperti inilah yang dikenal oleh orang Arab. Dan posisi iq’aa’ seperti ini hukumnya makruh, berdasarkan hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu `anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kamu bangkit dari sujud, maka jangan duduk seperti duduknya anjing.”
Hadis riwayat Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya, hlm. 1/ 289, dan juga hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak menyukai seseorang menghamparkan kedua hastanya seperti posisi duduknya binatang buas, dan (pada saat itu) beliau duduk di atas kaki kirinya, menegakkan kaki kanannya dan beliau melarang (orang shalat) duduk sebagaimana duduknya setan (duduk di atas kedua tumitnya).” Hingga akhir hadis.
Maksud dari kata “‘uqbah al-syaithan” tersebut adalah bentuk posisi iq’aa’ yang dilarang. Hadis dengan redaksi seperti ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya, hlm. 6/194, dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahih, serta Abu Dawud dalam kitab Sunan.
Kedua, bentuk yang kedua ini telah dijelaskan al-Imam Ahmad rahimahullah dalam ucapannya yaitu dengan membaringkan kedua punggung telapak kaki, sehingga bersentuhan dengan tanah, lalu duduk di atas kedua mata kaki. Dan hukum duduk jenis iq’aa seperti ini diperbebatkan oleh para sahabat dan ulama.
Di antara mereka yang berpendapat bahwa hal itu makruh dilakukan dalam shalat adalah Ali dan Abu Hurairah, begitu juga Qatadah, Imam Malik, Syafi`i, ulama mazhab Hanafi dan Imam Ahmad menurut keterangan yang terkuat dalam mazhabnya, bahkan pendapat ini dipakai oleh mayoritas para ulama.
Para ulama ini berargumen dengan maksud umum dari hadis-hadis yang melarang melakukan iq’aa’, disamping bentuk iq’aa’ yang kedua ini berimbas kepada meninggalkan duduk “iftiraasy”, yang didukung oleh ucapan dan perbuatan Rasulullah tentang cara duduk antara dua sujud, di samping beliau sendiri pernah membalikkan punggung kaki kirinya sehingga menyentuh tanah, dan menegakkan kaki kanannya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebagian ulama yang lainnya, seperti seperti al-Baihaqi, al-Qadhi Iyadh, Abu Dawud penulis kitab Sunan dan yang lain-lainnya, berpendapat bahwa bentuk iq’aa’ yang kedua ini diperbolehkan, dan iq’aa’ yang dilarang dalam banyak hadis tersebut hanya khusus bentuk iq’aa’ yang pertama.
Di antara para sahabat yang melakukan bentuk iq’aa’ yang kedua ini, seperti yang disebutkan oleh Thawus, yang mengatakan bahwa ia melihat al-‘Abaadilah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu az-Zubair melakukan bentuk iq’aa’ yang kedua ini.
Adapun Ibnu Umar, ia melakukan hal itu ketika sudah berusia lanjut dan ia berkata, “Jangan tiru saya dalam hal ini, karena saya sudah tua”. Sementara Ibnu Abbas berpendapat bahwa hukum bentuk iq’aa’ yang kedua itu adalah sunat, berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Thawus, yang menyebutkan bahwa,
“Kami pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang duduk iq`aa’ di atas dua kaki dalam sujud, maka dia berkata, “Duduk tersebut hukumnya sunah”. Lantas kami berkata kepadanya, “Sesungguhnya kami melihatnya dalam keadaan kurang selesai pada seorang lelaki”. Maka Ibnu `Abbas berkata, “Duduk tersebut adalah sunah Nabimu”.”
Hadis riwayat Muslim dalam kitab Sahih-nya, hlm. 1/ 308, dan Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya, hlm. 1/194.
Berdasarkan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa bentuk iq’aa’ yang kedua ini berlandaskan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di samping posisi duduk yang sering dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah dengan membaringkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.
Oleh sebab itu, orang yang melakukan posisi duduk seperti ini tidak perlu dicela, karena memang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak melakukannya, tapi saya juga tidak mencela orang yang melakukannya”.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.