Oleh : Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Seorang muslim tidak diperbolehkan memakai pakaian yang tasyabuh (menyerupai) orang kafir, baik ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun ‘ajam (Romawi dan Persia). Dalam prinsip agama Islam, kaum muslimin dilarang keras bersikap tasyabuh dengan orang kafir dalam hal ibadah, hari raya, pakaian, bahkan semua perkara, baik ushul maupun ahkam. Cukup banyak ayat yang melarang tasyabuh. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), “Raa’ina”, tetapi katakanlah, “Unzhurna”, dan “Dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (al-Baqarah: 104)
Ibnu Katsir juga menegaskan tatkala menafsirkan surat al-Hadid ayat16, “Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wata’ala melarang kaum mukminin tasyabuh dengan mereka dalam segala urusan ushul dan ahkam.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4026 dengan sanad yang hasan. Lihat Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 203 karya al-Albani)
Al-Imam Muhammad bin ‘Amir ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan, siapa pun yang menyerupai orang fasik, orang kafir, atau ahli bid’ah, pada segala sesuatu yang menjadi kekhususan mereka, baik pakaian, kendaraan, maupun penampilan, dia termasuk golongan mereka.”
Para ulama berkata, “Apabila seseorang menyerupai orang kafir dalam hal pakaian dan meyakini bahwa dengan itu dia seperti orang kafir tersebut, dia kafir. Namun, apabila tidak ada keyakinan demikian, ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Ada yang berpendapat bahwa dia kafir, dan itu adalah zahir (teks) hadits. Ada pula yang berpendapat tidak kafir, hanya saja perlu diberi pelajaran.” (Subulus Salam 4/321 cet. I, Darul Fikr Beirut, 1992 M/1411 H)
Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengirim surat kepada salah seorang panglima perang Islam di Adzar Bailam bernama ‘Utbah bin Farqad. Di antara isi suratnya,
وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ أَهْلِ الشِّرْكِ
“Janganlah kalian bermewah-mewah dan waspadailah model pakaian orang musyrik.” (Shahih Muslim no. 2069/12)
Dalam riwayat al-Isma’ili (al-Fath 11/465) dan Abu ‘Awanah al-Isfirayini (Syarah Muslim 14/41) dengan sanad yang sahih, kata an-Nawawi t, disebutkan dengan lafadz,
وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ الْأَعَاجِم
“Janganlah kalian bermewah-wewah dan waspadailah model pakaian orang ‘ajam (Persia dan Romawi).”
Telah kita sebutkan sebelumnya hadits tentang larangan pakaian mu’ashfar yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa itu adalah pakaian orang kafir. A l – ‘ Allamah al – Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani t dalam kaset (no. 671) dari Silsilah al-Huda wan Nur menjelaskan tentang ketentuan tasyabuh yang dilarang. Beliau menyebutkan ada dua hal penting yang harus diperhatikan.
1. Semua tindakan orang kafir yang merupakan syiar khusus mereka diharamkan atas umat Islam untuk melakukan dan menggunakannya. Inilah larangan yang masuk di dalam hadits:
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka.”
2. Apabila orang kafir melakukan sesuatu walaupun bukan syiar khusus mereka dan memungkinkan bagi umat Islam untuk menyelisihi mereka, wajib bagi kita menyelisihi mereka. Masalah satu ini yang jarang diperhatikan oleh para pencari ilmu bahkan oleh sebagian ulama, padahal
اَلْمُخَالَفَةُ شَيْءٌ وَتَرْكُ التَّشَبُّهِ شَيْءٌ أََخَرَ
“Menyelisihi mereka adalah satu perkara, dan tidak tasyabuh dengan mereka adalah perkara yang lain.”
Coba simak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut!
إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى لاَ يُصْبِغُوْنَ فَخَالِفُوْهُمْ
“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidaklah mereka menyemir rambut, maka selisihilah mereka.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) (Lihat al-Fatwa min Ziinati binti Hawa hlm. 72—73, Ummu Salamah as-Salafiyah)
Di antara pakaian yang menjadi syiar dan lambang orang kafir adalah “jeans” yang dikenal dewasa ini, celana masa kini yang superketat, membentuk lekak-lekuk tubuh dengan sangat jelas. Ummu Salamah as-Salafiyah—salah seorang istri asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i pada masa hidupnya— dalam karyanya al-Fatwa fi Zinati binti Hawa (hlm. 71—74)
mengulas sejarah jeans mengutip dari sebuah situs berbahasa Prancis, www.anne.bourigve. com. Kesimpulannya, model ini adalah simbol dan lambang orang kafir. Maka dari itu, haram hukumnya dipakai oleh kaum muslimin terkhusus kaum hawa karena tasyabuh dengan orang kafir dan membentuk aurat. Lalu Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha membawakan fatwa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin saat ditanya, “Didapati jenis kain yang disebut jeans, dibentuk dengan ragam motif untuk anak-anak, baik laki-laki maupun wanita. Bahan ini kuat. Yang menjadi masalah, bahan kain ini dipakai orang kafir dalam bentuk celana pantalon (celana panjang) ketat, dan itu diketahui dan masyhur.
Pertanyaannya, apakah menggunakan kain ini dengan ragam bentuk dan motif selain pantalon ketat, yakni digunakan karena kain dan kualitasnya, apakah termasuk tasyabuh?” Beliau menjawab, “Makna tasyabuh adalah seseorang melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Apabila dia menggunakan bahan kain tersebut atau bahan lainnya dengan sisi dan bentuk yang menyerupai pakaian orang kafir, termasuk tasyabuh. Namun, apabila semata-mata menggunakan bahannya dengan model lain yang berbeda dengan pakaian orang kafir, tidak masalah, selama menyelisihi cara orang kafir dalam berpakaian. Walaupun mereka dikenal dengan bahan tersebut, (tidak masalah) selama bentuk dan modelnya tidak seperti bentuk dan model yang dipakai oleh orang kafir.” (Majmu’atul as-Ilah Tahummu al-Usrah al-Muslimah)
Pakaian yang marak dipergunakan di zaman sekarang adalah pantalon. Apabila pantalon tersebut ketat dan sempit sehingga membentuk lekuk tubuh, hukumnya haram, sama seperti jeans, karena tasyabuh dengan orang kafir dan membentuk aurat. Al-‘Allamah Samahatul Mufti Abdul Aziz bin Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Kami menasihatkan agar pantalon tidak dipakai karena termasuk pakaian orang kafir….” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolat Mutanawwi’ah 9/43, lihat al-Mausu’ah al-Baziah fil Masail an-Nisa’iyah 3/1543 tartib al-‘Umran cet. Daar Ibnu Katsir KSA, 2010 M/1431 H)
Dalam kaset no. 6 dari Silsilah Huda wan Nuur, asy-Syaikh al-Albani ditanya tentang hukum memakai pantalon. Beliau menjawab, “Saya tidak mengatakan haram. Akan tetapi, saya katakan ‘makruh’ (dengan makna) haram untuk memerhatikan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebab, masalah ini dibangun di atas dalil yang mengharamkan bab tasyabuh, di sisi lain dibangun di atas kenyataan bahwa pantalon membentuk aurat.” (Lihat al-Fatwa fii Zinati binti Hawa hlm. 71)
Namun, apabila pantalon tersebut lapang dan lebar hingga tidak membentuk lekuk tubuh, biasa dikenal dengan sarawil atau sirwal, hukumnya diperbolehkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ
“Siapa yang tidak mendapati sarung, silakan dia memakai sarawil.” (HR. al- Bukhari no. 1841 dan 5804) Suad bin Qais radhiyallahu ‘anhu berkata,
فَأَتَانَا رَسُولُ اللهِ فَسَاوَمَنَا سَرَاوِيلَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami lalu membeli sarawil dari kami.” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 3336, at-Tirmidzi no. 1305, an-Nasai no. 4606, dan Ibnu Majah no. 3579, dan ini adalah lafadz beliau)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath (11/448) menjelaskan, “Beliau tidak membelinya untuk urusan yang sia-sia walaupun beliau sering (terbiasa) memakai sarung.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Beliau membeli sarawil, zahirnya beliau membelinya untuk dipakai. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa beliau memakai sarawil.” (Zadul Ma’ad 1/139 cet. XXVII, ar-Risalah Beirut, 1994 M/1415 H)
Hadits yang menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memakai sarawil diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Pada sanadnya ada Yunus bin Ziad al-Basri, dia dhaif. (al-Fath 11/448, lihat pula Nailul Authar 2/102—103 karya asy-Syaukani rahimahullah)
Yang sunnah, demi menyelisihi ahli kitab pula, adalah memakai sarawil tertutup dengan sarung. Para sahabat Anshar pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli kitab memakai sarawil dan tidak memakai sarung.”
Beliau bersabda, “Pakailah sarawil dan sarung, selisihilah ahli kitab….” (HR. Ahmad 5/264 dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu secara makna riwayat ath-Thabarani rahimahullah. Hadits ini shahih lighairih, lihat Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 184—185 karya al-Albani)
Ringkasnya, pakaian ada tiga macam.
1. Pakaian yang menjadi lambang dan syiar umat Islam, seperti jubah, gamis, serban, sarung, sarawil, jilbab, dan semisalnya. Umat Islam dianjurkan memakai dan memasyarakatkannya, di samping menunjukkan jati diri individunya, juga sebagai upaya islamisasi pakaian di tengah umat.
2. Pakaian yang menjadi lambang dan syiar orang kafir atau biasa mereka pakai dan memungkinkan umat Islam menyelisihinya, seperti seragam pendeta, biarawati, biksu, dan pakaian kebesaran lain dari umat non-Islam. Demikian pula jeans, pantalon, dan pakaian semisalnya yang menjadi ikon kebebasan orang kafir. Umat Islam diharamkan tasyabuh dengan mereka dalam hal ini dan diperintahkan menyelisihi mereka.
3. Pakaian yang bersifat umum yang dipakai oleh semua pihak dan tidak ada unsur pelanggaran syariat, seperti kemeja, kaos dalam, dan semisalnya. Umat Islam diperbolehkan memakainya karena hukum asalnya adalah boleh. Namun, mereka dianjurkan membedakan diri dengan orang kafir dengan tambahan pakaian Islam. Misalnya, kemeja dipadukan dengan sarung plus songkok, peci, atau serban.
Wallahu a’lam.
Sumber : asysyariah.com