إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum karena kitab ini (yakni Al-Quran) dan merendahkan kaum lainnya dengannya.” [H.R. Muslim dari shahabat Umar bin Al-Khaththab [ranhu].
Inilah sepenggal hadits yang menunjukkan dahsyatnya ilmu Al-Quran. Ilmu ini akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkannya tergantung dengan kualitas keilmuan dan pengamalan Al-Quran.
Dalam sejarah Islam yang gemilang, tercatatlah nama Abul Abbas Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Beliau adalah seorang shahabat mulia yang telah mengecap manisnya ilmu syariat semenjak kecil. Kemuliaan demi kemuliaan dia raih setimpal dengan ilmu yang dia peroleh. Tentu kisahnya menarik untuk kita cermati dan kita ambil pelajaran darinya.
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
Abdullah bin Abbas adalah anak dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib bin Qushay Al-Qurasyi [ranhu], paman Nabi `[saw]. Ibu beliau bernama Ummul Fadhl Lubabah binti Al-Harits Al-Hilaliyah. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah Nabi [saw] ke Madinah dan berumur tiga belas tahun ketika Nabi [saw] meninggal. Dalam sebagian riwayat disebutkan, beliau berbadan gemuk, putih, dan tinggi. Beliau adalah seorang yang pandai serta fasih berbicara. Banyak dari lawan bicara Ibnu Abbas mengikuti pendapatnya setelah berdialog dengannya. Seorang ulama tabi’in, Masruq bin Al-Ajda’ [rahimahu] mengatakan, “Ketika aku melihat Abdullah bin Abbas, aku katakan, ‘Dia adalah orang yang paling tampan.’ Lalu ketika dia berbicara aku katakan, ‘Dia orang yang paling pandai bicara.’ Dan ketika dia berbicara aku katakan, ‘Dia orang yang paling berilmu.’”
Ulama tabi’in lainnya, Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah [rahimahu] mengatakan, “Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami pada musim haji. Beliau membuka dengan Surat Nur. Beliau membacanya dan menafsirkannya. Aku pun mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat atau mendengar ucapan seseorang yang semisal ini. Anda Persia, Romawi, dan Turki mendengarnya, niscaya mereka akan masuk Islam.”
Soal tafsir pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ahlinya. Abdullah bin Mas’ud [ranhu], seorang ulama shahabat, mengakui kepiawaian Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dengan mengatakan, “Penafsir Al-Quran yang paling baik adalah Ibnu Abbas. Jika dia berumur seperti kita, niscaya tidak ada seorang pun dari kita yang ilmunya mencapai sepersepuluh ilmunya.”
Al-Qasim bin Muhammad mengatakan tentangnya, “Aku tidak melihat di majelis Ibnu Abbas satu kebatilan pun. Aku tidak pernah mendengar fatwa yang lebih cocok dengan sunnah daripada fatwanya. Para muridnya menjuluki beliau Al-Bahr (lautan ilmu) dan Al-Habr (tinta).” Demikianlah, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dijuluki Habrul Ummah.
Siapa tak kenal Umar bin Al-Khaththab [ranhu], Sang Khalifah kedua setelah Abu Bakr? Ternyata, shahabat sekelas Umar pun mengakui keilmuan Ibnu Abbas yang waktu itu masih muda. Tercatat oleh Al-Bukhari di dalam kitab Shahih beliau bahwasanya suatu saat Umar memasukkan Ibnu Abbas muda ke dalam majelisnya bersama para tokoh Islam. Pada waktu itu, para tokoh Badr yang telah matang dalam usia sangsi akan kemampuan Ibnu Abbas. Mereka pun bertanya kepada Umar, “Kenapa Anda memasukkan pemuda ini ke tengah majelis kita padahal kami juga punya anak seperti dia?”
Umar pun menjawab, “Kalian telah mengetahui tentangnya (yakni kepandaiannya, red.)”
Suatu saat, Umar memanggil Ibnu Abbas ke tengah majelis mereka untuk memperlihatkan kepandaian Ibnu Abbas. Umar menanyakan kepada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Jika telah datang pertolongan Allah dan penaklukan.’ [Q.S. Al-Nashr:1-3]?”
Sebagian tokoh Badr tersebut pun menjawab, “Allah memerintahkan kita untuk beristighfar setelah Allah menolong dan memudahkan kita untuk menaklukkan kota Mekah.” Sedang sebagian lainnya memilih diam.
Sekarang giliran Ibnu Abbas, “Demikiankah?” kata Umar kepada Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas mengatakan, “Tidak.”
“Lantas, apa menurutmu?” tanya Umar.
Ibnu Abbas mengatakan, “Itu adalah wafatnya Rasulullah `, Allah memberitahukannya kepada beliau. ‘Jika datang kepadamu pertolongan dan penaklukan.’ [Q.S. Al-Nashr:1] itu adalah tanda dari dekatnya wafat Nabi ` ‘Maka bertasbihlah dengan pujian kepada Rabbmu dan mintalah ampun. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’ [Q.S. An-Nashr:3].
Umar pun mengatakan, “Aku tidak mengetahuinya kecuali seperti apa yang engkau katakan.”
Demikianlah ketajaman dan ketelitian Ibnu Abbas dalam memahami wahyu. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar tidak biasa digunakan ketika terjadi kemenangan dan penaklukan. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar dan taubat biasanya digunakan untuk mengakhiri sesuatu, maka dia pun menafsirkan pertolongan dan penaklukan dalam ayat tersebut sebagai tanda akan diwafatkannya beliau. [I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim [rahimahu] ].
Tidak hanya tafsir, Ibnu Abbas juga pandai dalam banyak perkara. Murid Ibnu Abbas, Atha` bin Abi Rabah [rahimahu] mengatakan, “Banyak orang mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari syair dan nasab-nasab. Orang yang lain mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari sejarah hari-hari peperangan. Dan kelompok lainnya mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari ilmu agama dan fikih. Tidak ada satu golongan pun dari mereka kecuali mendapatkan apa yang mereka mau.”
Berawal Dari Doa Yang Mustajab
Berbagai keutamaan yang Ibnu Abbas raih ini sejatinya tidak lepas dari doa mustajab yang dipanjatkan oleh Rasulullah [saw]. Saat itu, Rasulullah [saw] hendak buang hajat. Ibnu Abbas kecil memahami kebiasaan Rasulullah [saw] yang berwudhu setiap kali habis dari buang hajat. Dia pun meletakkan air wudhu di tempat keluarnya Nabi [saw]. Lantas, ketika Nabi [saw] melihat air wudhu yang sudah dipersiapkan, Rasulullah [saw] pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Ibnu Abbas menjawab, “Ibnu Abbas.” Maka Rasulullah [saw] pun meletakkan telapak tangannya yang mulia di bahu Ibnu Abbas kecil seraya berdoa:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam masalah agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.” [H.R. Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya, ini lafazh Imam Ahmad].
Nah, dari doa inilah kemuliaan demi kemuliaan kemudian dia peroleh. Namun, tentu saja kemuliaan ini bukan turun dari langit begitu saja. Allah memberi taufik kepada Ibnu Abbas untuk menuntut dan mencari kemuliaan tersebut dengan sepenuh tenaga yang Allah karuniakan kepadanya, bukan hanya dengan berpangku tangan.
Ibnu Abbas menuturkan pengalamannya dalam menuntut ilmu, “Tatkala Rasulullah [saw] telah berpulang ke hadirat Allah, aku mengatakan kepada seorang Anshar, ‘Mari kita bertanya kepada para shahabat Rasulullah [saw], mumpung sekarang mereka masih banyak.’
Orang Anshar itu pun menukas, ‘Aku heran, apakah engkau menyangka bahwa manusia membutuhkan dirimu?’”
Ibnu Abbas tidak menggubris ucapannya. Dia pergi menemui para shahabat dan menanyai mereka. Ibnu Abbas melanjutkan penuturannya, “Suatu hari, aku mengetahui ada hadits dari seseorang. Aku pun mendatangi pintunya. Ternyata orang tersebut sedang tidur siang. Aku pun beralas baju atasku (pada waktu itu, baju atas berupa selendang) menunggunya di depan pintu. Angin meniupkan debu ke wajahku. Lalu, setelah orang tersebut pun keluar dan melihatku, dia berkata, ‘Wahai sepupu Rasulullah, kebutuhan apa gerangan yang membuat Anda datang kepadaku? Kenapa Anda tidak mengutus seseorang untuk kemudian aku yang akan mendatangi Anda?’
Aku pun mengatakan, ‘Tidak. Aku lebih berhak untuk mendatangimu lalu menanyaimu tentang hadits.’
Orang Anshar tadi pun hidup hingga melihat orang-orang mengelilingiku untuk menanyaiku. Dia pun berkata, ‘Sejak dahulu, pemuda ini lebih pandai dariku.’”
Demikianlah Ibnu Abbas yang sangat menghargai ilmu. Dia datang merendahkan diri untuk mendapatkan ilmu, bukan dengan menunggu datangnya ilmu.
Selain itu, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma sangat menghargai dan menghormati para ulama disebabkan ilmu mereka. Seorang ulama tabi’in Asy-Sya’bi mengisahkan, “Zaid bin Tsabit [ranhu] (seorang ulama shahabat) mengendarai unta. Ibnu Abbas pun menuntun untanya. Zaid mengatakan, ‘Jangan lakukan, wahai sepupu Rasulullah [saw].’ Ibnu Abbas pun menyahut, ‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami.’ Kemudian, Zaid bin Tsabit mencium tangannya dan mengatakan, ‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan keluarga Nabi kami.”
Akhir Hayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
Ibnu Abbas meninggal di Tha`if pada tahun 68 H pada pemerintahan Ibnu Zubair. Waktu itu, umur beliau sekitar 70 tahun. Di antara yang menshalati beliau adalah seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang dikenal dengan Ibnul Hanafiyah (w. 80 H). Beliau mengatakan, “Telah meninggal seorang ulama rabbani bagi umat ini.”
Demikianlah uraian singkat mengenai biografi Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, seorang shahabat yang Allah karuniakan keutamaan ilmu kepadanya. Andai kita menyebutkan seluruh keutamaan beliau, niscaya tidak akan tertampung beberapa lembaran saja. Namun, cukuplah kiranya kisi-kisi dari biografi ulama shahabat yang satu ini untuk melecut kita mempelajari ilmu syar’i, ilmu yang kini mulai ditinggalkan oleh kaum muslimin. Sehingga, kita mendapatkan bagian yang banyak dari warisan kenabian. Allahu a’lam bish shawab.
Referensi: Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr
Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani [rahimahu]
Sumber: http://tashfiyah.net