(163)
Orang itu menangis. Air matanya ibarat kaca bening yang mencair. Mengaliri gurat-gurat kedua pipinya. Basah.
Sudah banyak kali orang itu datang ke sana. Berdiri mengantri. Sesak orang-orang berdesak. Ia tidak sendiri.
" Assalamu 'alaika , yaa Rasulallah, wa rahmatullahi wa barakaatuh ", ucap orang itu lirih.
Tepat sejajar dengan makam Nabi Muhammad ﷺ ia berucap salam. Melalui pintu nomor 1, As Salam Gate, ia masuk ke dalam Masjid Nabawi. Di koridor yang membawanya ke makam Kekasih tercinta.
Walau puluhan kali orang itu sebelumnya pernah datang, tetap saja pada kedatangan berikutnya ia tak mampu menahan tangis. Antara rindu, cinta, dan takut. Takut tak bersua di hari kiamat. Menangislah ia.
Asy Syaikh Muqbil (As Sahihul Musnad Min Asbabin Nuzul surat An Nisa' ayat 69) menyebutkan riwayat At Thabrani tentang seorang sahabat yang selalu merindukan Rasulullah ﷺ.
" Wahai Rasulullah, sungguh Anda lebih aku cintai walau dibandingkan diriku sendiri. Sungguh, Anda lebih aku cintai meski dibandingkan keluarga dan hartaku. Sungguh, Anda lebih aku cintai dibandingkan anakku", katanya.
Ia melanjutkan, " Sungguh, ketika aku sedang di dalam rumah lalu aku teringat Anda, aku tidak mampu menahan diri sampai aku bisa berjumpa Anda dan melihat Anda".
" Saat aku tersadar bahwa aku akan mati dan Anda tentu wafat, Anda pasti masuk surga dan ditinggikan bersama para nabi. Sementara aku, jika pun masuk surga, aku takut tidak bisa lagi melihat Anda", ia meneruskan.
Nabi Muhammad ﷺ tidak memberi tanggapan apa-apa hingga malaikat Jibril turun membawa ayat berikut.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
" Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An Nisa : 69)
Al Albani ( Ta'liq Fiqih Siroh 1/199) menyebutkan kisah lain tentang ayat di atas, yaitu sahabat Tsauban.
Warna kulit Tsauban berubah. Terlihat jelas kesedihan di wajahnya. Ketika ditanya oleh Rasulullah ﷺ, Tsauban menjawab,
" Wahai Rasulullah, saya tidak sakit juga tidak sedang nyeri. Hanya saja jika saya tidak melihat Anda, saya mengalami kecemasan luar biasa sampai saya bisa bertemu Anda", terang Tsauban.
Lalu Tsauban menceritakan kekhawatirannya jika kelak di hari kiamat, tidak lagi bisa melihat Rasulullah ﷺ.
Bukanlah soal, jika satu ayat Al Qur'an turun untuk lebih dari satu kejadian.
Ambillah pelajaran! Bagaimana rupa cinta dan ujud rindu kepada Rasulullah ﷺ?
Bila benar-benar cinta, terlahir rasa khawatir bila tak bisa lagi bersua. Sahabat tersebut, yang sudah dan sering bertemu Rasulullah ﷺ tak bisa membayangkan jika di hari kiamat tak dapat lagi bersama?
Pantaslah menangis seorang hamba, yang di dunia pun tak pernah berjumpa walau sekali, terpisah jarak waktu, lalu di hari kiamat tak bisa bersua dengan Kekasihnya. Ia takut.
Perhatikan sahabat Tsauban! Badannya terdampak. Kulit tubuh berubah warna. Selalu murung dan sedih. Bukan sebab sakit. Bukan mengalami luka fisik. Karena merindukan Nabi ﷺ.
Lalu, kenapa masih bisa orang tertawa berbahak-bahak, serasa tiada beban rindu, padahal di dunia saja tak pernah bertemu Nabi ﷺ. Apakah tidak takut ia, bila esok waktu pun tetap saja tak bisa bertemu Nabi ﷺ?
Orang itu menangis. Di depan makam Nabi ﷺ ia berucap lirih, " Assalamu 'alaika , yaa Rasulallah, wa rahmatullahi wa barakaatuh ".
Orang itu takut hingga bergidik dan merinding, " Apakah bisa aku bersua Kekasih tercinta? ".
Al Hijrah Gate, 17 Nov 2022
t.me/anakmudadansalaf