Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah seguci emas yang tertolak

3 tahun yang lalu
baca 9 menit

SEGUCI EMAS YANG TERTOLAK

Al-Ustadz Abu Hisyam Sufyan Alwi حفظه الله تعالى

Kisah Seguci Emas yang Tertolak

Harta dunia memang tercipta sebagai sesuatu yang teramat memikat. Siapapun yang menyaksikan segala keelokan, keindahan dan kenikmatan yang ada di dalamnya, maka ia pun selalu didamba dan diinginkan oleh setiap jiwa. 

Sementara, jiwa pun -sebagai pasangannya dan pencarinya- demikian adanya, bertabiat untuk selalu merindukan dan menginginkan dunia semaunya. Hingga berbagai cara dan usaha pun ia tempuh dan ia lakukan demi meraih apa yang telah menjadi pujaannya.

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى

 Benar, dalam salah satu sabdanya, Rasulullah ﷺ pernah menggambarkan bahwa harta dunia ini adalah sesuatu yang hijau dan manis. Hakim bin Hizam رضي الله عنه pernah menuturkan bahwa suatu ketika ia meminta harta kepada Rasulullah ﷺ. Setiap kali ia neminta tambahan, maka Rasulullah ﷺ pun memberinya. Hingga kemudian, Rasulullah ﷺ menasihatinya. 

Lafal dari nasihat tersebut adalah hadits di atas, yang artinya, “Wahai Hakim, sesungguhnya harta dunia ini memang hijau dan manis. Siapa yang mengambilnya tanpa ambisi untuk mendapatkannya, maka ia akan diberkahi pada hartanya tersebut. Adapun siapa yang mengambilnya dengan penuh ambisi untuk memuaskan hawa nafsunya, maka ia tidak akan diberkahi pada hartanya tersebut.

Orang ini laksana orang yang makan akan tetapi tak akan pernah merasa kenyang. Dan tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah.” 

(H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Inilah berita dan gambaran yang Nabi ﷺ berikan mengenai harta dunia. Beliau ﷺ menggambarkan dunia adalah sesuatu yang hijau. Dan sesuatu yang hijau adalah sesuatu yang sangat disukai dan dicari-cari oleh pandangan mata manusia. Memang demikianlah dunia.

Nabi ﷺ juga menggambarkan bahwa dunia adalah sesuatu yang manis. Di mana sesuatu yang manis adalah sesuatu yang menggiurkan dan sangat disukai oleh mulut manusia. Memang demikianlah keadaan dunia.

Tentu ini merupakan gambaran yang sangat tepat. Nabi ﷺ memilihkan warna hijau sebagai perumpamaan dunia, selain karena ia adalah warna yang paling disukai oleh pandangan manusia, ia juga warna yang paling cepat pudar. Seperti halnya harta dunia, yang pasti akan pudar dan hilang tak berbekas. (Faidhul Qadir karya al Munawi 2/693)

Dalam nasihat di atas, Nabi ﷺ juga menasihatkan agar kita selalu berusaha untuk mengekang dan menahan hawa nafsu kita. Jangan kita melampiaskan keinginan untuk mendapatkan dunia sebanyak-banyaknya. Seorang manusia jika telah dikalahkan oleh hawa nafsunya, dia mengambil dan menikmati setiap harta dunia yang ia inginkan. 

Ketika ia mampu meraihnya, maka ia pun akan termotivasi untuk meraih dunia lain yang belum ia miliki. la tak akan pernah merasa puas dengan harta dunia yang telah ia genggam, seberapa pun banyak dan melimpahnya. la terus demikian, hingga ia pun akan tersiksa hatinya kala menyaksikan orang lain telah berhasil meraih apa yang tidak bisa ia dapatkan. 

Jiwanya pun kalut, hawa nafsunya berontak hingga terkadang cara-cara licik dan jahat pun ia lakukan demi mendapatkan apa yang telah ia idamkan. Inilah azab yang Allah segerakan untuk para pecinta dunia. Adanya perasaan was-was dan khawatir yang terus selalu membayangi hidupnya. Allah سبحانه وتعالى berfirman:

فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ (٥٥)

"Maka janganlah membuatmu takjub banyaknya harta benda dan anak keturunan yang mereka miliki. Allah hanya ingin mengazab mereka di kehidupan dunia dengannya." (Q.S. At Taubah: 55)

Menyaksikan manusia yang berlomba-lomba mengejar dunia  adalah perkara yang biasa dan lumrah. Tak perlu dijelaskan. Akan tetapi yang menakjubkan ialah orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya  untuk tidak mengambil dari harta dunia kecuali seperlunya saja. Inilah yang mengherankan.

Lebih mengherankan ialah orang-orang yang mampu menghindar dari harta dunia karena khawatir harta itu bukanlah haknya. Padahal, harta itu ada di hadapannya dan tidak ada seorang manusia pun yang mengawasinya. 

Lumrahnya, ketika manusia menemukan suatu harta dunia, ia akan berusaha mendapatkannya.  Terlebih jika berbagai faktor yang mampu mendapatkannya tersebut telah ia miliki. Walaupun ia sadar betul bahwa harta itu bukanlah haknya. Pasti ia akan mengusahakannya agar ia berada dalam genggaman tangannya. 

Suatu kisah menarik pernah terjadi di masa lampau. Kisah mengenai tiga orang yang sangat wara'. Sangat berhati-hati dalam mendapatkan harta dunia. Hingga harta yang sudah ada di hadapan matanya pun ia tinggalkan.

Dahulu, ada seorang laki-laki yang membeli sepetak tanah pada seorang laki-laki yang lain. Tak disangka, ternyata si pembeli menemukan seguci emas terpendam di sepetak tanah yang telah ia beli tersebut. Maka ia pun menemui si penjual. 

"Ambillah emasmu ini. Aku hanya membeli tanah darimu. Sama sekali aku tidak membeli emas ini.” kata si pembeli tanah. 

"Tidak, aku telah menjual tanah ini untukmu seluruhnya. Beserta apa pun yang ada di dalamnya." jawab si penjual yang juga tak mau menerima emas itu darinya.

Akhirnya keduanya pun bersepakat untuk menemui seorang hakim untuk memutuskan permasalahan mereka.

"Apakah kalian berdua memiliki anak ?" tanya si hakim kepada keduanya.

"Aku punya anak laki-laki" 

"Kalau aku punya anak perempuan" 

"Kalau begitu, nikahkanlah anak perempuanmu dengan anak laki- lakinya. Nafkahilah keduanya dengan emas ini. Dan bersedekahlah kalian dengannya.” demikian keputusan si hakim. Masya Allah. Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Bukhari (no: 3213) dan Muslim (no: 3246).

Subhanallah, kita pasti takjub dengan sifat yang dimiliki oleh ketiga orang ini. Si pembeli merasa khawatir jika harta itu bukan haknya, hingga ia pun tidak ingin mengambilnya. Ia khawatir telah menzalimi si penjual. Si penjual pun demikian, ia merasa bahwa harta itu sudah bukan miliknya. Kalau ia mengambilnya, ia khawatir ia telah memakan sesuatu yang bukan haknya. 

Demikian pula si hakim, ia tidak menggunakan kesempatan ini untuk menjadikan harta itu menjadi haknya. Tentu, ia pasti bisa mencari alibi dan taktik agar bagaimana harta itu bisa terlepas dari keduanya dan menjadi miliknya. Ya, ia pun sadar betul bahwa harta itu bukan haknya. Jika ia memaksakan diri untuk mendapatkannya, berarti ia telah memakan harta yang bukan merupakan haknya. 

Rasulullah ﷺ pernah bersabda yang artinya, “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan sesungguhnya perkara yang haram itu juga jelas. Dan di antara keduanya, ada perkara yang samar. Perkara itu tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barang siapa yang meninggalkan segala perkara yang samar, maka ia telah berusaha menyelamatkan agama dan kehormatannya." (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Pembaca Qudwah رحمكم الله, dari keterangan Rasulullah ﷺ di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang ada di dunia itu terbagi menjadi tiga macam:

✹ Yang pertama adalah perkara yang halal.

✹ Yang kedua adalah perkara yang haram.

Dan yang ketiga adalah perkara yang masih samar hukumnya. 

Untuk perkara yang pertama dan yang kedua, maka jelas hukumnya. Yang halal, boleh untuk kita nikmati,  kita manfaatkan dan kita lakukan. Sementara yang haram, harus kita tinggalkan. Baik itu dalam makanan, minuman, profesi dan yang semisal dengannya.

Jika telah jelas dalilnya bahwa makanan, minuman, atau profesi ini dihalalkan dan diperbolehkan oleh syariat, maka kita pun boleh menikmati dan melakukannya. Sementara, jika telah jelas pula dalilnya bahwa makanan, minuman, atau profesi itu diharamkan oleh syariat, maka bagaimanapun kita harus menghindarinya. 

Adapun jenis yang ketiga, yakni perkara yang masih samar hukumnya. Rasulullah ﷺ mengajari dan membimbing bahwa lebih baik kita meninggalkannya. Dikhawatirkan perkara itu ternyata hukumnya haram hingga ketika kita nekat menikmati dan melakukannya, berarti kita telah menjatuhkan diri kita pada suatu hal yang Allah haramkan. Tentu, selamat dari hal ini merupakan perkara yang terbaik. 

Sekali lagi, kisah ini sangatlah menakjubkan. Dan kita pun pantas untuk terkesima dengan sifat mulia yang dimiliki ketiga orang ini. Ketiga orang ini benar-benar telah Allah bimbing untuk tidak bertindak gegabah dalam mendapatkan harta dunia. Hingga mereka pun rela menyerahkan harta yang demikian banyaknya untuk saudaranya.

Mengapa? Karena mereka khawatir itu bukan haknya. Sementara mereka yakin betul bahwa Allah pasti akan meminta pertanggungjawaban mengenai harta yang mereka milikinya, dari mana ia mendapatkannya, ia salurkan untuk apa, dan apakah ia mampu mensyukurinya ataukah tidak.

Allah سبحانه وتعالى berfirman yang artinya, "Kemudian kalian pasti akan dimintai pertanggungjawaban mengenai segala bentuk kenikmatan yang kalian dapatkan" 

(Q.S. At Takatsur: 8)

Rasulullah ﷺ juga bersabda, "Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam dari persidangan Allah di hari kiamat nanti hingga ia ditanya mengenai empat perkara: -di antara 4 perkara itu- mengenai hartanya, dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia salurkan." 

[H.R. At Tirmidzi dari shahabat Abu Barzah رضي الله عنه dan dishahihkan Al Albani رحمه الله dalam Shahih Al Jami']

Ayat dan hadits Nabi di atas patut untuk selalu menjadi bahan renungan kita. Ketika suatu saat muncul dan terbetik di hati kita keinginan untuk mendapatkan harta dunia, maka tanyakan pada hati kita, jika kita benar mendapatkannya mampukah kita mensyukurinya. Siapkah diri kita untuk mempertanggungjawabkan apa yang kita dapatkan ini di hadapan Allah سبحانه وتعالى nanti.

Jika merasa belum kuat untuk itu, maka meninggalkannya dan mencukupkan diri dengan apa yang telah Allah tentukan untuknya, itulah yang terbaik untuknya. Ya,  seluruh kenikmatan dunia akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah kelak.


Pernah, suatu saat Rasulullah berjumpa dengan sahabat Abu Bakr رضي الله عنه kemudian Umar رضي الله عنه. Beliau bertemu keduanya dalam keadaan lapar. Beliau sendiri pun sedang merasakan lapar tersebut. Maka Rasulullah ﷺ mengajak keduanya untuk berkunjung ke rumah salah seorang shahabat Anshar yang bernama Abul Haitsam. 

Ternyata si empunya rumah sedang pergi. Ia sedang mencari air segar untuk keluarganya. Tak lama berselang, ia pun pulang ke rumahnya. Ia terkejut bercampur bahagia ketika ia temukan rumahnya didatangi oleh Rasulullah ﷺ dan kedua sahabatnya. Tak menunggu lama, ia pun mengajak ketiganya untuk menuju ladang kurmanya. 

la memang seorang shahabat yang memiliki ladang kurma. Sesaat setelah itu ia persilakan Rasulullah ﷺ duduk di atas tikar yang ia siapkan sembari bernaung di bawah salah satu pohon kurma, ia pun mendatangi beliau dengan membawa kurma basah dan kurma yang masih muda. Maka Rasulullah ﷺ pun memakan kurma-kurma itu. Demikian pula Abu Bakr dan Umar رضي الله عنهما.

Ketiganya pun ikut mencicipi kesegaran air tawar yang baru diambil oleh Abul Haitsam. Demi mendapati kenikmatan yang beliau rasakan, maka beliau pun berujar seraya mengingatkan, "Demi Allah, ini termasuk kenikmatan yang kalian akan  dimintai pertanggungjawaban mengenainya di hari kiamat nanti. Naungan yang sejuk, kurma yang enak dan air yang segar." (H.R. At Tirmidzi dan dishahihkan al Albani رحمه الله dalam Shahih At Tirmidzi no: 2367)

Semoga Allah membimbing kita untuk bisa dan mau menjalankan segala kebaikan dan semoga Allah membimbing kita untuk mau dan bisa meninggalkan segala bentuk keburukan dan kemaksiatan. Amin.

والله أعلم 

Majalah Qudwah Edisi 13 | https://t.me/Majalah_Qudwah

Oleh:
Atsar ID