Memetik Anugerah
|
Kisah : Memetik Anugerah |
Hidayah itu serasa mahal harganya ketika kita harus berpisah
dengan orang yang kita cintai. Dan kesabaran itu manis rasanya ketika doa yang
kita panjatkan dikabulkan oleh-Nya Dzat Yang Maha Pemurah.
Inilah kisahku, Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai
suami dengan dua orang anak. Kehidupan kami bahagia secara duniawi. Tapi tidak
dari sisi rohani. Aku merasakan kegersangan. Hari-hari yang kujalani berlalu
begitu-begitu saja. Memasak, nonton TV, mendengarkan musik, jalan-jalan, makan
dan tidur. Terasa hampa. Apalagi yang kucari semua sudah kurasakan, demikian
gumamku dalam hati.
Suatu ketika, datanglah kakak lelakiku mengunjungngiku, semoga
Allah menjaga beliau. Dalam kunjungan itu, beliau memberikan untukku CD ceramah
agama dan buku-buku agama. Dari sinilah aku mulai mengenal dakwah salafiyah.
Subhanallah ketika kuputar, kudengar, kusimak, ceramah ustadz ini segala apa
yang disampaikan sungguh sangat mengena di hati. Semuanya menggunakan dalil. Hatiku
sangat tertarik dan selanjutnya aku sering membeli buku-buku dan majalah salafiyah.
Respon suami ketika kuajak mendengarkan ceramah ini, dia
enggan. Menolak. Tidak! Namun aku tetap belajar sendiri. Aku selalu
berangan-angan ingin seperti mereka wanita yang cantik itu. Wanita yang
mengenakan hijab sempurna. Betapa anggun dan cantiknya mereka.
Semakin aku belajar, semakin menancap kuat dan kokoh di sanubariku
untuk memondokkan anak-anakku sedari kecil agar mereka mengerti agama sedini
mungkin. Kurayu suamiku, kunasehati tiap hari, akhirnya luluh juga dan
membangunkanku rumah ala kadarnya di dekat Ma'had untuk aku tinggal di
lingkungan Ma'had bersama anak-anak. Namun sejalan dengan itu, justru di
sinilah ujian hidupku dimulai.
Hari demi hari berganti dan aku asyik dengan kehidupanku di Ma'had.
Kehidupan yang memang aku inginkan. Tentram dan damai. Jauh dari kemaksiatan. Ketika
ingin belajar, mudah. Tapi tidak dengan suamiku.
Ia merasa hidupnya terkekang
dengan banyak aturan. Nonton TV tidak boleh, merokok tidak boleh, mendengarkan
musik tidak boleh, serba tidak boleh. "Aku tidak suka dan tidak betah
tinggal di sini! Bagaimana mau betah kalau tidak ada hiburannya?" Demikian
selalu ia menggerutu. "Membaca Al Quran itu hiburan, mendengarkan ceramah
itu hiburan," demikian jawabku. "Itu buatmu, bukan buatku!" bentaknya.
Sedih rasanya orang yang kucintai seperti ini.
Jarak antara Ma'hhad dan rumah kami yang di kota sekitar 20
menit. Kehidupan rumah tangga kami semakin tidak harmonis karena perbedaan
prinsip. Suamiku mulai jarang pulang ke rumah yang di ma'had. Kadang 3 hari
sekali baru datang, kadang 5 hari sekali. Itupun setiap bertemu selalu
bertengkar. "Ayo kita kembali ke kota hidup seperti dulu." Pintanya. Aku
hanya diam membisu. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.
Pada puncaknya suamiku mempunyai wanita idaman lain,
intensitas pertengkaran kami semakin bertambah. Pemukulan, kekerasan, kata-kata
kasar kurasakan sudah. Akhirnya dia memberikan pilihan. "Aku akan
meninggalkan wanita itu, kalau kau mau kembali bersamaku tinggal di kota, hidup
bahagia seperti dulu. Tidak di ma'had ini. Namun jika kau tetap memilih tinggal
di sini, kau bukan istriku lagi." Aku menangis sejadi-jadinya mendengar
semua itu.
Haruskah kami berpisah karena agama ini? Meskipun jiwa kami
sudah tidak sama lagi, namun aku masih mencintainya kala itu. Berat rasanya
harus memilih salah satu dari keduanya. Akan tetapi jika mengingat bagaimana
nikmatnya hidayah ini, sesak dadaku jika harus kembali lagi ke kota. Sudah
panas telingaku jika harus mendengarkan musik kembali. Sudah sesak dadaku jika
harus menonton TV lagi. Banyaknya kemaksiatan di sana dan pastinya agamaku akan
menjadi taruhannya.
Setelah salat istikharah aku memilih berpisah dengan suami
dengan segala resikonya. Ya Allah Yang Mahasuci Suci dan Mahatinggi, berikan
pahala dari musibahku ini dan berikan pengganti yang lebih baik dari ini. Doa
ini yang aku panjatkan terus waktu itu. Doa yang Rasulullah ajarkan ketika
tertimpa musibah.
Hari-hari berikutnya kujalani menjadi seorang janda. Semua
serba sendiri. Sungguh tidak mudah menjadi seorang janda, terasa berat sekali. Ketika
musim hujan rumah kami kebanjiran. Kami tidur dengan kasur yang basah bersama
anak-anak, ular masuk ke rumah, listrik mati, sungguh terasa berat sekali ujian
ini. Untuk meneruskan hidup, aku hanya bekerja serabutan di rumah ummahat di
ma'had ini.
Kalau bukan karena pertolongan Allah mungkin aku sudah tidak
kuat hidup lagi. Namun kemudian sadar. Bukankah Allah Yang Maha Mengetahui akan
menolong hamba-Nya ketika dalam kesulitan.
Ya Allah, tolonglah aku dalam setiap
keadaanku. Janganlah engkau beri beban yang aku tidak sanggup memikulnya. Ya
Allah, Engkau melihatku dan juga keadaanku, aku tidak bisa hidup sendiri
seperti ini. Gerakanlah hati laki-laki yang saleh yang Engkau ridai agamanya
untuk menikahiku, membantuku dalam urusan dunia dan akhiratku. dan aku juga
cenderung kepadanya wahai Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kabulkan
permohonanku.
Itulah doa yang selalu kuulang-ulang dan selalu kupanjatkan
ketika aku merasa sudah tidak mampu lagi hidup sendiri. Setahun lebih kujalani
hidup tanpa suami. Butuh kesabaran ekstra menjadi seorang janda.
"Kring... kring... kring..." telepon genggamku
berbunyi. "Assalamualaikum," suara kakak laki-lakiku di seberang sana
menyapa. "Wa'alaikumsalam," jawabku. Beliau tanya kabar dan bla.. bla..
bla.. bla.. kemudian beliau bertanya, "Anti maukah menikah lagi? Ada yang
menanyakan anti tapi di ta'adud." Aku pun kembali salat istikharah dan
menerima pinangannya.
Proses pernikahan kami begitu cepat. Alhamdulillah aku
banyak-banyak mengucapkan rasa syukur. Alhamdulillah betapa baiknya Allah
kepadaku. Kesabaranku berbuah manis. Aku menikah dengan lelaki yang saleh insyaAllah.
Lembut tutur katanya, bagus akhlaknya. Lelaki terbaik idaman wanita, dan aku
mencintainya karena Allah Insya Allah.
Ya Rabb, Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku dari
pada diriku sendiri. Setiap orang mempunyai kisah masing-masing menuju hidayah.
Pasti akan datang ujian dan kita harus melaluinya dengan sabar dan salat.
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua untuk senantiasa berdoa. Dan yakinlah
seyakin- yakinnya bahwasanya Allah pasti akan mengabulkan segala doa kita. Dan
Allah lebih tahu kapan waktu yang tepat doa-doa itu akan dikabulkan.
Sumber : majalah Qudwah edisi 73 vol. 07 tahun 1441 H. hal 28