Sepuluh tahun sudah aku meninggalkan kampung halaman. Berawal sejak lulus dari bangku SLTP yang membosankan, jiwa ini serasa melayang. Ingin rasanya mencicipi segarnya udara luar di tanah lapang. Maka, aku beranikan diri untuk merantau ke luar pulau.
Kini, tak terasa usiaku sudah menginjak kepala tiga. Dan Allah telah mengaruniakan kepadaku seorang istri dan dua anak laki-laki.
Tak lepas dari rencana Allah, selama berada di pulau seberang, aku senantiasa rajin bekerja dan tidak banyak tingkah seperti kebanyakan anak remaja di sekitarku. Baik itu teman sepekerjaanku, maupun para tetangga sebaya di sekelilingku. Berbekal keyakinan yang sempit dan terbelakang terhadap ajaran islam, Allah mengantarkan aku untuk mengenal luasnya dunia, ramai serta carut-marutnya ragam manusia di belahan bumi yang lain. Dulu Islam yang kukenal hanya sebatas yasinan, tahlilan, dan teriak-teriak sambil diiringi berisiknya suara rebana. Kini aku mengenal Islam yang lebih luas.
Pertama kali, seseorang memberitahuku bahwa berpartai adalah bagian dari mendakwahkan
agama. Sekian waktu aku tenggelam dalam suasana seperti itu. Rupanya kejenuhan menghinggapi naluri keagamaanku, karena selama aku di sini, tak satu pun uraian dari para ustadznya yang bisa menenangkan liarnya jiwaku yang gelisah. Jiwa yang tidak mendapatkan walau setetes embun Islam yang kuharap bisa menyejukkan qalbuku. Dengan tekad yang bulat, akhirnya kutinggalkan komunitas ini. Keputusanku mendapat respon kilat. Salah satu ustadz yang lebih senior tidak
terima, aku dimarahi habis-habisan seperti budaknya, walaupun dia tahu, aku tidak punya tanggung jawab apapun terhadapnya. Aku diam tak bergeming. Karena aku tahu, mulutnya lebih besar dari mulutku. Setelah kehabisan kata-kata, dengan sendirinya ustadz itu pun berlalu dari hadapanku.
Putus hubungan dari cinta pertamaku, aku terkesima dengan sekumpulan orang-orang yang ‘tegas’ dalam menyuarakan Islam yang ‘murni’. Menu harian mereka adalah pencitraan buruk terhadap pemerintah. Namun setelah sekian waktu, aku memilih hengkang dari komunitas ini dengan sebuah alasan. “Aku ingin mempelajari Islam, namun yang kujadikan guru tidak bisa membaca Al-Quran. Mustahil ini!” ucap batinku.
Aku pun menuju segerombolan manusia yang suka berkostum layaknya Wali Songo. Sebagaimana yang aku lihat pada adegan fi lm di layar kaca ketika aku masih di SD. Aku memandang saat itu, disini kudapati ustadz yang cukup mumpuni, fasih berabahasa Arab, ahli orator, dan bersemangat dalam menegakkan ‘sunnah’. Namun aku tidak suka kalau ke mana-mana bawa kompor karena minim perbekalan. Dan dengan berjalannya waktu, aku mengingkari semua yang dulunya pernah jadi idola qalbuku tersebut.
Berawal dari kebiasaan shalat shubuh di masjid, aku mengenal seorang kawan. Di kemudian hari, dia menunjukkan aku kepada Islam seperti yang aku damba, yaitu Islam yang berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah. Setelah aku kian yakin dan mantap, di awal-awal menekuni Ahlus Sunnah, aku pun berusaha mengajak seorang wanita yang paling tahu tentang diriku dibanding orang lain, yaitu ibu dari anak-anakku. Istriku.
Dia berkata, “Mas, sebentar lagi hari baikmu akan datang. Aku akan buatkan untukmu bubur merah seperti biasa dan akan kubagikan kepada tetangga. Supaya hidupmu selalu mendapat kebaikan dunia akhirat.”
Aku bilang, “Istriku, ini dilarang syariat. Engkau telah melakukan sesuatu perbuatan yang tidak dicontohkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam” Dengan rasa jengkel di wajahnya, istriku berpaling dariku. Setelah beberapa saat kemudian, aku hampiri dia. Kucoba untuk menjelaskan kepadanya dengan penuh sayang. Sebagaimana layaknya seorang suami yang sangat takut akan kehilangan istri tercintanya. Alhamdulillah dia mau mengerti.
Suatu ketika kami hendak keluar rumah. Aku sudah siapkan kendaraan di luar, sambil menunggunya di atas sepeda motor. Cukup lama aku menunggu, aku tak sabar, kuhampiri istriku di dalam kamar. Ternyata dia masih asyik berdandan dengan santainya. Aku berkata, “Apakah aku boleh menanyakan sesuatu?”
“Tanya apaan?” sahutnya.
“Kalau di rumah kamu tidak pernah berdandan secantik ini, tapi kalau mau keluar rumah, kok kamu seperti ini. Sebenarnya kamu mempercantik diri untuk siapa sih?” tanyaku.
Dia menjawab, “Ya untuk mas dong. Biar mas dipuji orang karena mempunyai istri yang cantik.”
Lalu kami pun adu mulut sebentar dan mengurungkan niat untuk keluar. Sejak saat itu, aku tidak pernah membelikan gincu untuknya. Alhamdulillah, dia mau introspeksi dan sadar. Setelahnya, aku pun mempersilakannya untuk berbelanja peralatan guna merias diri.
Pada episode selanjutnya, tebersit padaku untuk mengajaknya menghadiri majelis taklim. Kuhubungi salah seorang teman. Pikirku, supaya istrinya berkenalan dengan istriku dan menemani di tempat taklim agar tidak terkesan asing. Teman tersebut menyetujuinya. Setelah hari yang ditentukan tiba, aku bersiap mengantar istriku ke rumah teman tersebut. Setelah sampai di rumahnya, aku mencium aroma kurang sedap pada raut istriku. Tak lama kemudian, kami berempat meluncur ke tempat yang telah disepakati. Selesai taklim, aku dan istri pulang duluan. Di tengah perjalanan pulang, ia mengeluarkan apa yang tersembunyi dari raut wajahnya. Ia berkata, “Mas, pokoknya lain kali aku ndak mau lagi diajak ngaji lagi sama orang-orang yang pakai hijab serba item-item itu. Mereka itu maunya menyapa cuma sesama komunitasnya saja. Sampai-sampai aku tidak disapa sama sekali sama istri temanmu itu mulai dari rumahnya sampai ngaji usai.” Mendengar ucapan itu, aku pun terdiam tak banyak kata.
Dalam hati aku bergumam, “Waduh, kalau pengalaman pertama tidak berkesan, bagaimana selanjutnya?”
Tak lepas dari kuasa dan kehendak Allah, di saat seperti ini aku teringat ayat yang artinya, “Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita.” Aku tak tahu nama suratnya, ayat yang nomor berapa, bahkan lafalnya aku tak hafal. Hanya saja, artinya yang singkat itu senantiasa terpaku di benak. Dengan harap-harap cemas, aku berniat mengadukan hal ini kepada seorang ustadz. Setelah mendengar keterangan dariku, ustadz tersebut menyarankan supaya istriku diajak lagi taklim besok malam, supaya nanti istri saya diajak ngobrol oleh istri ustadz tersebut.
Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Ustadz tersebut atas apa yang beliau perbuat untukku. Dengan penuh semangat, aku bujuk istriku supaya mau ikut menghadiri majelis. Mulanya ia menolak, tapi aku terus melancarkan serangan mulai dari kata-kata mutiara sampai kata-kata rayuan. Aku bilang, “Pokoknya kalau kamu mau ngaji besok malam, apa pun yang kamu minta akan aku penuhi...” Dalam hati aku tambahkan “... selama aku mampu.” Rupanya dia luluh dengan
rayuanku. Dengan memendam harapan yang besar, aku antar istriku ke majelis taklim. Sebelum berangkat, tak lupa, ustadz aku kirimi SMS dengan bunyi, “Ustadz, istri saya memakai baju merah bermotif dan membawa tas warna hitam.” Begitu bunyi SMS singkat yang aku tulis.
Kami pun berangkat. Selama taklim berlangsung, aku berdoa dalam hati dan kadang terucap, “Ya Allah, berilah hidayah kepada istriku dan berilah kecintaan kepadanya terhadap majelis Ahlus Sunnah dan orang-orangnya.”
Senantiasa aku mengulang-ulang doa itu hingga majelis usai. Suara azan Isya berkumandang. Aku masih belum bisa tenang terhadap istriku. Selesai shalat Isya, segera kuraih HP. Aku cari nomor istriku dan aku pencet. Seruku, “Bagaimana, sudah siap pulang?”
Dia menjawab, “Iya, aku sudah siap.”
Kami pun sepakat untuk bertemu di tempat parkir sepeda motor. Sebelum naik di belakangku, dia bilang sesuatu yang membuat jantungku hampir copot. “Mas, aku ada cerita menarik malam ini.” katanya sambil tersenyum ceria.
Aku jawab, “Sudah, cepat naik dulu, ceritanya nanti.”
Karena kebiasaan kami berkendaraan sambil bercerita-cerita ke sana ke mari, aku tanya, “Ada cerita apa?”
“Tadi waktu di masjid ada orang yang pakai hijab serem sekali. Tiba-tiba dia mendatangiku dan mengajak kenalan. Eh, setelah dia buka hijab, ternyata orangnya tersenyum ramah. Dia lama sekali ngobrol denganku, sampai-sampai kami tidak mendengarkan ceramah.” jawabnya.
(Defaultnya, kalau ta'lim ya mendengarkan ceramah. Mungkin sebelumnya, istri sang ustadz telah diperintahkan oleh suami untuk mengajak ngobrol istri ikhwan tersebut. Istri kan harus taat kepada suami. Allahu a'lam. Ed)
Ia melanjutkan, “Iya mas, bener! Dia itu orangnya baik sekali. Ternyata ada ya, orang berhijab yang baik hati.”
Mendengar istriku semangat bercerita, aku pun mengimbangi dengan sesekali menanyakan pura-pura heran ingin tahu. Alhamdulillah, semenjak kejadian di malam itu, dia jadi mudah untuk diajak menghadiri majelis taklim. Bahkan dia sendiri yang kadang mengingatkan aku untuk berangkat ke majelis. Sampai-sampai ia ketagihan dan bilang padaku, “Mas, akhwat yang lain hampir tiap hari taklim, sedangkan aku cuma seminggu sekali.”
“Bagaimana lagi, aku ‘kan kerja, nggak bisa antar.” sahutku.
Dia membalas, “Bagaimana kalau aku berangkat bersama Ummu Fulan dan Ummu Fulan?”
“Ya silakan kalau kamu mau. Tapi janji, kalau taklim jangan ngobrol melulu biar dapat ilmu.” jawabku.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki aku dan istriku ke dalam agama Islam yang lurus, yaitu Ahlu Sunnah. Di dalamnya berpenghunikan orang-orang yang cerdas dan jujur dalam beragama.
Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan kepadaku, istriku, dan seluruh sala fiyyin di dalam menapaki kefanaan dunia yang penuh dengan fatamorgana. Wallahu a’lam bish shawab.
Di sadur dari Majalah Qudwah Edisi 16, VOL2 1435H/2014