Demikianlah keadaan mereka. Pada malam hari mereka sudah berencana untuk tidak memberi bagian sedikit pun kepada orang-orang yang miskin. Esok paginya, justru mereka sendiri yang menuai kerugian dan penyesalan. Tidak ada sisa yang dapat diharapkan dari kebun yang mereka rawat selama ini. Renungkanlah, bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala membalas rencana dan niat buruk mereka.
Silakan baca kembali bagian pertama kisah ini.
Kisah ini adalah sebuah perumpamaan yang dibuat oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk orang-orang kafir Quraisy. Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi mereka nikmat yang sangat besar dengan mengutus Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka. Akan tetapi, mereka menerimanya dengan sikap mendustakan, menolak, bahkan memerangi beliau.
Itulah sebabnya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,
إِنَّا بَلَوۡنَٰهُمۡ كَمَا بَلَوۡنَآ أَصۡحَٰبَ ٱلۡجَنَّةِ إِذۡ أَقۡسَمُواْ لَيَصۡرِمُنَّهَا مُصۡبِحِينَ
“Sesungguhnya Kami menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji para pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka pasti akan memetik (hasil) nya di pagi hari.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa sesungguhnya Dia telah menguji orang-orang yang mendustakan kebaikan ini. Allah subhanahu wa ta’ala memberi tempo kepada mereka dan memperbanyak untuk mereka apa saja yang Dia kehendaki, berupa harta, anak, usia, dan lain-lain yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Akan tetapi, itu bukan karena kemuliaan mereka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, melainkan sebagai istidraj buat mereka dari arah yang tidak mereka sadari.
Jadi, tertipunya mereka dengan hal-hal tersebut sama seperti tertipunya para pemilik kebun tersebut, yaitu orang-orang yang memiliki usaha bersama dalam kebun itu. Pada saat kebun itu mulai ranum buahnya dan tumbuh pohon-pohonnya serta tiba waktu panennya, mereka merasa yakin bahwa kebun itu di bawah kekuasaan serta sesuai dengan aturan mereka. Tidak pula ada yang menghalangi mereka memetik (hasil) kebun itu.
Mereka pun bersumpah tanpa istitsna (mengucapkan insya Allah, -red.) bahwa mereka pasti benar-benar akan memetik hasilnya di pagi hari. Mereka tidak sadar bahwa Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mengawasi mereka. Bahkan, azab Allah subhanahu wa ta’ala akan menggantikan mereka pada kebun itu dan mendahului mereka menuju kebun tersebut.
Baca juga:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah al-Qalam ayat 19—33,
فَطَافَ عَلَيۡهَا طَآئِفٌ مِّن رَّبِّكَ
“Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu.”
Maksudnya, azab yang menimpa kebun itu datang pada malam hari;
وَهُمۡ نَآئِمُونَ
“Ketika mereka sedang tidur,” lalu menghancurkan dan merusaknya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَأَصۡبَحَتۡ كَٱلصَّرِيمِ
“Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita,”
pohon-pohon dan buah-buahannya musnah serta kering, dalam keadaan mereka tidak mengetahui kejadian yang menyakitkan ini.
Pagi harinya, mereka saling memanggil untuk berangkat memetik hasil kebun mereka. Sebagian dari mereka berkata kepada yang lain (sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala),
أَنِ ٱغۡدُواْ عَلَىٰ حَرۡثِكُمۡ إِن كُنتُمۡ صَٰرِمِينَ ٢٢ فَٱنطَلَقُواْ
“Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
Mereka pun pergi menuju kebun itu,
وَهُمۡ يَتَخَٰفَتُونَ
“dalam keadaan saling berbisik-bisik,” sesama mereka, tanpa didengar oleh orang lain.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan apa yang dibisikkan oleh mereka dengan sesama mereka,
أَن لَّا يَدۡخُلَنَّهَا ٱلۡيَوۡمَ عَلَيۡكُم مِّسۡكِينٌ
“Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Artinya, berangkatlah lebih pagi sebelum orang-orang bertebaran. Janganlah kamu memberi kesempatan orang-orang fakir dan miskin ikut masuk ke kebun itu bersama kamu.
Karena besarnya ketamakan dan kekikiran mereka, mereka saling berbisik dan mengucapkan kalimat seperti ini. Mereka khawatir kalau ada orang yang mendengarnya lalu menyampaikannya kepada orang-orang miskin.
Baca juga:
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَغَدَوۡاْ
“Dan berangkatlah mereka di pagi hari,” dalam keadaan yang sangat buruk ini, yaitu kaku, kasar, dan tidak mempunyai belas kasih sayang.
عَلَىٰ حَرۡدٍ قَٰدِرِينَ
“Dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya),”
yaitu menahan dan menghalangi hak Allah subhanahu wa ta’ala, sambil merasa yakin akan kemampuan mereka bahwa mereka pasti akan memetik hasil kebun mereka. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَلَمَّا رَأَوۡهَا
“Tatkala mereka melihat kebun itu,” sebagaimana keadaan yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu bagai malam yang gelap gulita;
قَالُوٓاْ
“Mereka berkata,” dengan penuh rasa heran dan goncang;
إِنَّا لَضَآلُّونَ
“Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan)”; yakni tersesat dari kebun itu. Mungkin itu adalah kebun yang lain (bukan milik mereka).
Akan tetapi, setelah mereka memastikan itulah kebun yang mereka tuju, muncullah kesadaran (akal) mereka. Kemudian mereka berkata (sebagaimana dalam ayat),
بَلۡ نَحۡنُ مَحۡرُومُونَ
“Bahkan, kita dihalangi,” dari kebun ini (untuk memetik hasilnya). Akhirnya, mereka menyadari bahwa itu adalah sebuah hukuman. Maka dari itu,
قَالَ أَوۡسَطُهُمۡ
“Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka,” yakni paling adil (lurus) dan paling baik jalan (hidupnya),
أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ لَوۡلَا تُسَبِّحُونَ
“Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Rabbmu)?”
Artinya, mengapa kalian tidak bertasbih menyucikan Allah subhanahu wa ta’ala dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya, bersyukur kepada-Nya atas kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya kepada kalian?
Baca juga:
Termasuk di sini ialah menyucikan Allah subhanahu wa ta’ala dari anggapan bahwa kemampuan yang ada pada diri kamu adalah sesuatu yang bebas, berdiri sendiri (lepas dari kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala). Mengapakah kamu tidak mengucapkan;
إِنْ شَاءَ اللهُ
“Jika Allah menghendaki,” dan menjadikan kehendakmu mengikuti (kehendak) Allah subhanahu wa ta’ala? (Kalau kamu berbuat demikian), tentu tidak akan terjadi apa yang telah menimpamu.
Mereka pun berkata (sebagaimana dalam ayat),
قَالُواْ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِنَّا كُنَّا ظَٰلِمِينَ
“Mahasuci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”
Artinya, mereka memperbaiki (sikap mereka) sesudah itu, tetapi setelah kebun mereka hancur ditimpa oleh azab yang tidak akan terangkat lagi. Itulah sebuah ketaatan yang tidak ada gunanya setelah turunnya azab. Namun, mudah-mudahan tasbih dan pengakuan mereka bahwa mereka telah berbuat zalim, berguna bagi mereka untuk meringankan dosa serta menjadi tobat bagi mereka.
Sebab itulah, mereka menyesal dengan penyesalan yang sangat dalam. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَأَقۡبَلَ بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ يَتَلَٰوَمُونَ
“Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela,” karena rencana yang mereka buat, yaitu menahan hak orang-orang fakir dan miskin.
Tidak ada jawaban dari yang lain kecuali mengakui bahwa mereka bersalah dan berdosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالُواْ يَٰوَيۡلَنَآ إِنَّا كُنَّا طَٰغِينَ
Mereka berkata, “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas,” baik terhadap hak Allah subhanahu wa ta’ala maupun hak para hamba-Nya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
عَسَىٰ رَبُّنَآ أَن يُبۡدِلَنَا خَيۡرًا مِّنۡهَآ إِنَّآ إِلَىٰ رَبِّنَا رَٰغِبُونَ
“Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita.”
Baca juga:
Ayat ini menerangkan bahwa mereka berharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberi mereka ganti yang lebih baik dari kebun itu. Bahkan, mereka berjanji bahwa mereka akan berharap hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka mendesak meminta kepada-Nya di dunia. Ada pula yang berpendapat bahwa mereka mengharapkan pahalanya di akhirat. Wallahu a’lam.
Bagaimanapun, seandainya mereka memang seperti yang mereka katakan, secara zahir—ayat ini menunjukkan bahwa—Allah subhanahu wa ta’ala menggantikan untuk mereka di dunia sesuatu yang lebih baik daripada kebun yang hancur itu. Sebab, siapa saja yang berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan jujur, bersandar, dan berharap kepada-Nya, pasti Allah subhanahu wa ta’ala memberikan apa yang dimintanya.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menjelaskan apa yang terjadi,
كَذَٰلِكَ ٱلۡعَذَابُۖ
“Seperti itulah azab.”
Artinya, itulah azab duniawi bagi mereka yang menjalankan sebab-sebab yang mengundangnya. Azab itu ialah Allah subhanahu wa ta’ala mencabut dari hamba, sesuatu yang dijadikannya sarana untuk berbuat dosa dan melampaui batas, serta lebih mengutamakan kehidupan dunia. Allah subhanahu wa ta’ala akan melenyapkan sarana tersebut darinya di saat dia sangat membutuhkannya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَعَذَابُ ٱلۡأٓخِرَةِ أَكۡبَرُۚ
“Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar,” daripada azab dunia;
لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ
“Jika mereka mengetahui.”
Sebab, apabila mereka mengetahuinya, hal itu akan mendorong mereka berhenti dari semua sebab yang akan mendatangkan azab dan siksa serta menghalangi pahala.[1] Wallahul muwaffiq.
أَن كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ ١٤ إِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِ ءَايَٰتُنَا قَالَ أَسَٰطِيرُ ٱلۡأَوَّلِينَ ١٥
Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala.” (al-Qalam: 14—15)
Maksudnya, karena Allah subhanahu wa ta’ala memberinya harta, dia kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, padahal Allah subhanahu wa ta’ala memberinya semua itu sebagai ujian. Kalau dia memilih kekafiran, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala menghancurkan hartanya, sebagaimana Dia menghancurkan tanaman tuan-tuan kebun itu ketika mereka melakukan ‘sedikit’ kemaksiatan.
Jika demikian, bagaimana halnya dengan orang yang mengerjakan maksiat yang lebih besar? Seperti menentang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tetap dalam kekafiran dan kedurhakaan?
Ada yang lulus ketika menghadapi ujian berupa kesulitan, tetapi banyak juga yang gagal. Begitu pula kesenangan, ada yang berhasil menghadapinya, tetapi banyak juga yang gagal.
Sebagian salaf mengatakan, “Ketika kami diuji dengan kesusahan, kami bisa bersabar. Akan tetapi, (ketika) diuji dengan kesenangan, kami tidak bisa bersabar.”
Wallahu a’lam.
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir as-Sa’di tentang ayat-ayat yang mulia ini.