Pertanyaan:
Orang tua angkat memberikan hibah sebagian harta kepada anak angkat. Bagaimana menurut syariat, apakah dibolehkan hibah ini?
Tidak mengapa, bahkan dianjurkan seseorang menerima hibah dari orang dekatnya, seperti orang tua asuh (angkat), selama yang memberikan hibah dalam kondisi normal, sehat akalnya, dan tidak ada maksud untuk menghalangi atau mengurangi hak ahli warisnya.
Baca juga: Mahramkah Anak Pungut?
Bisa jadi, itu adalah salah satu solusi bagi seseorang ketika ingin membagikan sebagian hartanya kepada orang dekatnya yang bukan ahli warisnya. Tentu saja hal ini dilakukan dengan menjalin komunikasi yang baik dengan ahli waris supaya tidak terjadi sengketa dan kesalahpahaman di kemudian hari.
Namun, ada hal yang penting untuk diketahui terkait dengan hibah, yaitu harta yang sudah dihibahkan kepada selain anak kandungnya dan sudah diterima, maka tidak boleh diminta lagi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ، كَالْكَلْبِ يَقِيءُ، ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
“Orang yang mengambil kembali hibahnya seperti anjing yang muntah lalu memakan kembali muntahnya.” (HR. al-Bukhari no. 2589 dan Muslim no. 1564 dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)
Baca juga: Larangan Mengambil Kembali Pemberian
Oleh karena itu, tidak ada salahnya hal ini disampaikan dengan cara yang hikmah kepada pihak yang ingin menghibahkan hartanya.
Selain itu, para ulama menyebutkan bahwa hibah seperti hadiah; tidak sepantasnya ditolak walaupun jumlahnya sedikit. Di samping itu, disunnahkan pula untuk membalasnya. Di antara dalil yang mereka sebutkan adalah hadits,
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا
“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 594; Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya hasan dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)
Baca juga: Berilah Hadiah
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima hadiah dan membalasnya.” (HR. al-Bukhari no. 2585 dari sahabat Aisyah radhiallahu anha)
(Sumber: kitab al-Fiqhul Muyassar fi Dhau` al-Kitab was Sunnah hlm. 262—263, terbitan Dar A’lamus Sunnah)
Wallahu a’lam bish-shawab.