Cacat yang menghalangi keabsahan hewan kurban dibagi menjadi dua:
Diriwayatkan dari al-Bara bin Azib radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berdiri di depan kami. Beliau bersabda,
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأُضْحِيَّةِ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْـمَرِيْضُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي
‘Empat hal yang tidak diperbolehkan pada hewan kurban: (1) yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, (2) yang sakit dan jelas sakitnya, (3) yang pincang dan jelas pincangnya, dan (3) yang kurus dan tidak bersumsum’.” (HR. Abu Dawud no. 2802, at-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dinilai sahih oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’, 8/227)
Dalam hadits ini ada empat cacat yang dilarang pada hewan kurban menurut kesepakatan ulama, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Syarhul Kabir (5/175) dan an-Nawawi dalam al-Majmu’ (8/231, cet. Dar Ihyaut Turats al-Arabi).
Sakitnya hewan tersebut dapat diketahui dengan dua cara:
Ketentuannya adalah dia tidak bisa berjalan bersama dengan hewan-hewan yang sehat sehingga selalu tertinggal. Adapun hewan yang pincang dan masih dapat berjalan normal bersama kawanannya, maka tidak mengapa.
Ada dua persyaratan yang disebutkan dalam hadits ini:
Ada beberapa cacat yang masih diperbincangkan para ulama, tetapi yang rajih adalah tidak boleh ada pada hewan kurban.
Baca juga:
Disebutkan dalam asy-Syarhul Mumti’ (3/394—397) di antara cacat jenis ini adalah:
An-Nawawi dalam al-Majmu’ (8/231) bahkan menukilkan kesepakatan ulama tentang masalah ini.
Selama dia dalam kondisi pingsan, tidak sah dijadikan hewan kurabn, sebab termasuk hewan yang jelas sakitnya.
Ia tidak bisa buang angin dan tidak diketahui keselamatannya dari kematian kecuali apabila buang air besar. Maka dari itu, ia termasuk hewan yang jelas sakitnya selama belum buang air besar.
Sebab, kondisinya lebih parah daripada hewan yang pincang (al-‘arjaa`).
Di antara cacat tersebut ada yang tidak berpengaruh sama sekali karena sangat sedikit atau ringan sehingga dimaafkan. Ada pula cacat yang mengurangi keafdalannya, tetapi hewan tersebut masih sah untuk dijadikan hewan kurban.
Baca juga:
Di antara cacat jenis ini adalah:
Adapun hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,
نَهَى النَّبِيُّ أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang berkurban dengan hewan yang hilang mayoritas tanduk dan telinganya.”
Baca juga:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2805), at-Tirmidzi (no. 1509), Ibnu Majah (no. 3145), dan yang lainnya, dan dinilai dha’if oleh Syaikh Muqbil dalam Tahqiq al-Mustadrak (4/350) karena dalam sanadnya ada Jurai bin Kulaib as-Sadusi. Ibnul Madini berkata, “Dia majhul.” Abu Hatim berkata, “(Seorang) syaikh, haditsnya tidak bisa dijadikan hujah.”
Adapun hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang berisikan larangan berkurban dengan al-muqabalah, al-mudabarah, asy-syarqaa`, dan al-kharqaa`, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1503), Abu Dawud (no. 2804), Ibnu Majah (no. 3142), adalah hadits yang dinilai dha’if oleh Syaikh Muqbil dalam Tahqiq al-Mustadrak (4/350), karena dalam sanadnya ada Syuraih bin Nu’man. Abu Hatim berkata, “Mirip orang majhul, haditsnya tidak bisa dijadikan hujah.” Al-Bukhari berkata tentang hadits ini, “Tidak sahih secara marfu’.”
Baca juga:
Cacat yang disebutkan di atas dan yang semisalnya dinilai tidak berpengaruh karena dua alasan:
Wallahul Muwaffiq.