Warisan Salaf
Warisan Salaf

semua tentang i’tikaf bersama asy-syaikh muhammad bin shalih al-utsaimin (bagian 1)

10 tahun yang lalu
baca 10 menit
SEMUA TENTANG I’TIKAF Bersama Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (BAGIAN 1)
image_pdfimage_print

Bismillah. Kami kumpulkan dalam artikel ini fatwa-fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-utsaimin Rahimahullah khusus tentang i’tikaf yang kami ambil dari Majmu’ Fatawa wa Rasail beliau. Mudah-mudahan jawaban Asy-Syaikh Al-Utsaimin ini bisa menuntaskan permasalahan yang ada dibenak kita.

 

FATAWA I’TIKAF BAGIAN PERTAMA

Dalam bagian ini ada 8 Tanya jawab. Yang akan dibahas oleh Asy-Syaikh dalam bagian ini adalah:

  • Makna dan Hukum I’tikaf
  • Jenis-Jenis I’tikaf
  • Hukum I’tikaf dan Tatacaranya yang benar
  • I’tikaf Tanpa Restu Orang Tua
  • I’tikaf di Selain Ramadhan
  • I’tikaf di Selain Tiga Masjid
  • Rukun dan Syarat I’tikaf
  • Tempat i’tikaf bagi Wanita

* * *

Pertanyaan Pertama: Asy-Syaikh Al-Utsaimin ditanya tentang makna I’tikaf dan Hukumnya.

Beliau menjawab, “I’tikaf adalah seseorang berdiam diri di masjid dalam rangka keta’atan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyendiri dari keramaian manusia, sibuk dan tenggelam dalam keta’atan kepada Allah. I’tikaf (dapat dilakukan) di semua masjid, baik masjid yang ditegakkan padanya shalat jum’at atau tidak. Akan tetapi yang afdhal adalah di masjid yang diadakan padanya shalat jum’at agar dia tidak disibukkan keluar dari masjid untuk shalat jum’at.”

[ penjelasan: karena seorang yang beri’tikaf di masjid yang disitu tidak diadakan shalat jum’at, maka pada hari jum’at dia akan keluar ke masjid yang ada shalat jum’atnya. Oleh karenya i’tikaf di masjid yang di adakan shalat jum’at lebih afdhal dari yang tidak dilaksanakan shalat jum’at. Tambahan dari Penerjemah]

Pertanyaan Kedua: Asy-Syaikh Al-Utsaimin ditanya tentang jenis-jenis i’tikaf?

Beliau menjawab, “I’tikaf hanya ada satu jenis seperti yang telah lalu, yaitu seseorang berdiam diri di masjid dalam rangka melakukan keta’atan kepada Allah Azza wa Jalla. Hanyasaja terkadang disertai puasa dan terkadang tidak. Para ulama berbeda pandangan, apakah sah i’tikafnya seseorang tanpa puasa? Atau tidak sah kecuali dengan puasa? Akan tetapi i’tikaf yang disyari’atkan adalah yang dilakukan pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu beri’tikaf di sepuluh malam ini berharap mendapatkan malam lailatul qodar. Beliau tidak beri’tikaf di bulan lainnya kecuali hanya satu kali ketika beliau berhalangan i’tikaf di bulan Ramadhan maka beliau menggantinya di bulan Syawwal.

Pertanyaan Ketiga: Apa Hukum I’tikaf? Apakah boleh orang yang i’tikaf keluar untuk buang hajat, makan, dan berobat? Dan apa saja sunnah-sunnah i’tikaf? Dan bagaimana tatacara i’tikaf yang benar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?

Beliau menjawab, “I’tikaf adalah berdiam di masjid untuk menyendiri melakukan keta’atan kepada Allah Azza wa Jalla. I’tikaf adalah sunnah dengan tujuan mencari malam lailatul qodr. Allah Ta’ala telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an tentang i’tikaf ini pada firman-Nya,

{وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ}

“Dan janganlah kalian mencampuri mereka sedang kalian ber’itikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.”

Dan telah tetap riwayat di dalam Ash-Shahihain juga selain keduanya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan i’tikaf, dan para shahabat beri’tikaf bersama beliau. Maka i’tikaf terus disyari’at dan tidak dimansukh (dihapus hukumnya,pen). Di dalam Ash-Shahihain dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, ia berkata,

«كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله عز وجل، ثم اعتكف أزواجه من بعده»

“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan hingga Allah Azza wa Jalla mewafatkan beliau. Kemudian beri’tikaf setelah itu para isteri-isteri beliau.”

Dan di dalam Shahih Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan i’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, kemudian beliau i’tikaf di sepuluh malam kedua. Lalu  beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku i’tikaf di sepuluh malam pertama karena mencari malam lailatul qodr, kemudian aku kembali i’tikaf di sepuluh malam yang kedua. Lalu aku didatangi dan dikatakan kepadaku, sesungguhnya malam lailatul qodr ada di sepuluh malam terakhir. Siapa di antara kalian yang ingin i’tikaf hendaknya ia beri’tikaf.’ Maka para shahabat pun melakukan i’tikaf bersama beliau.

Al-Imam Ahmad berkata, “Aku tidak mengetahui adanya khilaf dari seorang ulama pun bahwasanya i’tikaf hukumnya sunnah.”

Atas dasar ini maka i’tikaf adalah sunnah berdasarkan nash dan ijma’ ulama.

Dan tempatnya adalah masjid-masjid yang ditegakkan padanya shalat jama’ah yang terdapat di semua negeri. Berdasarkan keumuman firman Allah

{وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ}

“Dan janganlah kalian mencampuri mereka sedang kalian ber’itikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.”

Dan yang lebih afdhal i’tikaf dilakukan di masjid-masjid yang ada shalat jum’atnya agar dia tidak usah keluar darinya. Andai pun seseorang i’tikaf di masjid yang tidak ada shalat jum’atnya maka tidak mengapa untuk berangkat segera ke shalat jum’at.

Dan seyogyanya bagi mu’takif (orang yang i’tikaf) agar menyibukkan dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dari shalat, membaca alqur’an, dan dzikrullah azza wa jalla. Karena hal itu adalah tujuan utama dari i’tikaf. Dan tidak mengapa berbincang sedikit dengan temannya, terlebih bila dapat menimbulkan manfaat.

Dan diharamkan bagi mu’takif melakukan jima’ atau pendahuluan-pendahuluannya (seperti bercumbu,pen).

Adapun keluarnya mu’takif dari masjid, maka para fuqoha telah membagi menjadi tiga bagian:

Pertama: Boleh, yaitu keluar untuk keperluan yang memang harus dilakukan secara syari’at atau secara tabi’at. Seperti keluar untuk shalat jum’at, makan dan minum jika tidak ada orang yang melayaninya, dan keluar untuk berwudhu’, mandi wajib, dan buang air kecil dan air besar.

Kedua: Keluar untuk melakukan ketaatan yang tidak wajib atasnya, seperti menjenguk orang sakit, takziyah. Jika dia mensyaratkan di awal i’tikaf maka boleh keluar untuknya, dan jika tidak mensyaratkan maka tidak boleh keluar.*

Ketiga: Keluar untuk sesuatu yang menafikan makna i’tikaf, seperti keluar untuk jual beli, menjima’ isterinya, dan selain keduanya. Jenis ini tidak boleh dilakukan baik dengan syarat atau tidak dengan syarat.

[ * maksudnya sebelum mulai i’tikaf dia mensyaratkan dalam hatinya, jika ada orang yang sakit aku akan menjenguknya. Apabila diawal i’tikaf dia tidak mensyaratkan hal itu maka dia tidak boleh keluar dari masjid dengan alasan tersebut.. Penjelasan Tambahan dari penerjemah ]

Pertanyaan Keempat: apa hukum bila seorang ayah tidak mengijinkan anaknya i’tikaf dengan sebab-sebab yang tidak memuaskan?

Beliau menjawab, “(hukum) i’tikaf adalah sunnah sedangkan berbakti kepada ke dua orang tua adalah wajib. Perkara wajib tidak boleh digugurkan dengan perkara sunnah, dan pada dasarnya (perkara sunnah) tidak boleh menentang perkara wajib. Karena perkara wajib lebih didahulukan dari yang sunnah. Allah Ta’ala telah berfirman dalam hadits Qudsi,

«ما تقرب إليَّ عبدي بشيء أحب إليّ مما افترضت عليه»

“Tidaklah Hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada perkara-perkara yang Aku wajibkan atasnya.”

Apabila ayahmu memerintahkanmu untuk meninggalkan i’tikaf dengan alasan-alasan yang mengharuskan engaku tidak i’tikaf, karena dia membutuhkanmu, maka tolok ukurnya ada pada dia bukan pada dirimu. Karena bisa jadi timbangan yang ada padamu tidak lurus dan tidak adil, karena engkau telah condong kepada i’tikaf. Sehingga engkau mengira bahwa alasan-alasan (yang diutarakan ayahmu tersebut) tidak bisa dibenarkan, sementara ayahmu menganggap bahwa (alasan) itu dibenarkan. Maka yang aku nasehatkan ialah agar engkau tidak usah i’tikaf. Akan tetapi jika ayahmu tidak menyebutkan alasan dari larangannya maka pada keadaan ini engkau tidak wajib mentaatinya. Karena engkau tidak wajib mentaati suatu perintah yang tidak menghasilkan manfaat, dan padanya ada manfaat yang hilang darimu.

Pertanyaan Kelima: Apakah disyari’atkan i’tikaf di selain bulan Ramadhan?

Beliau menjawab, “Yang disyari’atkan adalah di bulan Ramadhan. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah i’tikaf di selain Ramadhan kecuali satu ketika beliau i’tikaf di bulan Syawwal karena beliau luput dari i’tikaf di bulan Ramadhan sehingga diganti di bulan Syawwal. Akan tetapi andai saja seseorang i’tikaf di selain Ramadhan maka hal itu boleh. Karena umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Aku pernah bernazar i’tikaf satu malam atau satu hari di masjidil haram.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Tunaikanlah nazarmu.” Akan tetapi seseorang tidak diperintah dan tidak dituntut untuk i’tikaf di selain Ramadhan.

Pertanyaan Keenam: Bolehkah i’tikaf di selain tiga masjid?

Beliau menjawab, “Dibolehkan i’tikaf di selain tiga masjid, yang dimaksud tiga masjid adalah masjidil harom, masjid nabawi, dan masjidil aqso. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kalian mencampuri mereka sedangkan kalian i’tikaf dalam masjid. Itulah larangan-larangan Allah maka jangan kamu dekati. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.”

Ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin. Seandainya kita katakan, sesungguhnya yang dimaukan di sini adalah tiga masjid, niscaya kebanyakan kaum muslimin tidak masuk dalam pembicaraan ayat ini. Karena kebanyakan kaum muslimin berada di luar Makkah, Madinah, dan Qudus. Atas dasar ini kami katakan, Sesungguhnya i’tikaf boleh dilakukan di semua masjid. Dan andai saja hadits “Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid.” Adalah hadits shahih, maka yang dimaksud adalah i’tikaf yang lebih sempurna dan afdhal. Tidak diragukan jika i’tikaf di tiga masjid tersebut lebih afdhal dari masjid lainnya. Sebagaimana juga shalat di tiga masjid tersebut jauh lebih afdhal dari masjid lainnya. Shalat di Masjidil Haram lebih baik 100.000 kali lipat (dari shalat di masjid lainnya), dan shalat di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lebih baik 1.000 kali lipat dari shalat yang dilakukan di masjid lainnya selain masjidil haram. Sedangkan shalat di masjidil aqsha lebih baik 500 kali lipat (dari shalat di masjid lainnya).

Pertanyaan Ketujuh: Asy-Syaikh ditanya tengan rukun dan syarat-syarat I’tikaf. Dan apakah sah i’tikaf tanpa puasa?

Beliau menjawab, “Rukun i’tikaf adalah seperti yang telah lalu, yaitu berdiam diri di masjid dalam rangka ketaatan dan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, mendekatkan diri kepada-Nya dan kosentrasi dalam ibadah. Adapun syaratnya seperti syarat-syarat ibadah lainnya, di antaranya Islam, berakal, sah sebelum baligh, sah dari laki-laki dan wanita, sah tanpa puasa, dan sah di semua masjid.

Pertanyaan Kedelapan: Wanita yang ingin melakukan i’tikaf, dimana dia i’tikaf?

Beliau menjawab, “Seorang Wanita apabila hendak i’tikaf maka dilakukan di masjid, jika padanya tidak ada pelanggaran syar’i. Bila ada pelanggaran sya’ri maka tidak boleh i’tikaf.

Insya Allah bagian kedua segera menyusul….

Oleh

Abu Rufaidah Abdurrahman

Admin Warisan Salaf