Para pembaca, semoga Allah ‘azza wajalla selalu mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Tidak diragukan lagi bahwa manusia yang memiliki fitrah yang suci pasti mencita-citakan kebahagiaan dan ketentraman dalam kehidupannya, terkhusus pada zaman sekarang yang penuh dengan fitnah. Sesuatu yang diharamkan Allah ‘azza wajalla dianggap sebagai sesuatu yang halal, perbuatan yang melanggar norma-norma agama dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar. Masyarakat pun bertambah hari semakin jauh dari bimbingan Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh dalam kondisi seperti ini seorang hamba sangat butuh dengan pertolongan Allah ‘azza wajalla.
Saudaraku seiman…
Merupakan fitrah yang telah Allah jadikan pada diri manusia bahwa kaum lelaki memiliki ketertarikan (kecintaan) kepada kaum wanita dan juga sebaliknya, Allah ‘azza wajalla dalam Al-Qur’an menyatakan (artinya);
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada sesuatu yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
Allah ‘azza wajalla memberitakan bahwa kecintaan kepada kenikmatan-kenikmatan dunia tersebut ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah ‘azza wajalla menyebutkan beberapa jenis kenikmatan dunia secara khusus, karena ia merupakan ujian yang paling dahsyat, sedangkan yang selainnya mengikuti. Tatkala ia ditampakkan indah dan menarik kepada manusia, kemudian disertai faktor lain yang menghiasinya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka pun akan cenderung kepadanya. (Lihat Taisir Al Karimirrahman, hal. 124)
Dengan demikian Allah ‘azza wajalla telah menjadikan kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki dan tertarik ketika melihatnya.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam sebuah haditsnya;
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnahnya) wanita.” (HR. Al Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Akan tetapi Allah ‘azza wajalla dengan hikmah-Nya memiliki syari’at yang mengatur hubungan keduanya (laki-laki dan wanita). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَر وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لمَ ْيَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya bersegera menikah, karena yang demikian itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu hendaknya dia bershaum (puasa) karena itu adalah pemutus syahwatnya.” (HR. Al Bukhari no. 1905 dan Muslim no. 1400)
Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam hafizhahullah menjelaskan bahwa pengkhususan para pemuda dalam hadits diatas karena kebanyakan yang memiliki syahwat kuat adalah para pemuda, dibanding orang lanjut usia. (Taudhihul Ahkam hal. 214)
Adapun yang dimaksud dengan البَاءَةَ (kemampuan) disini adalah kemampuan untuk menikah baik fisik, maupun harta, berupa pemberian mahar dan nafkah. (Lihat Syarh Bulughul Maram Ibnu ‘Utsaimin)
Sungguh mulianya agama ini, dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam manusia termulia dan paling bertaqwa yang senantiasa membimbing umatnya agar selamat dari makar syaithan yang berupaya menjerumuskan anak manusia kepada kemaksiatan. Dengan menikah, seseorang dapat meraih ketenangan jiwa serta melahirkan kasih sayang antara laki-laki dan wanita dengan penuh keridhaan Ilahi.
DEFINISI NIKAH
Asy Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa nikah secara bahasa artinya berkumpul. Adapun secara istilah syari’at adalah berkumpulnya antara laki-laki dan wanita yang dibangun diatas aturan syari’at yang khusus, berupa akad nikah dan syarat-syarat yang sudah diketahui bersama. (Syarh Bulughul Maram, Kitabun Nikahhal. 419)
Nikah juga bisa diistilahkan dengan sebuah ikatan (akad) antara seorang laki-laki dan wanita yang apabila terpenuhi segala rukun dan syaratnya, maka halal bagi keduanya (untuk bersentuhan atau yang selainnya) dari apa yang dibolehkan dan dihalalkan dalam ketentuan syari’at. Adapun sebelum adanya akad, maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana yang dijelaskan Asy Syaikh Abdullah Al Bukhari hafizhahullah.
DISYARI’ATKANNYA NIKAH
Menikah, wahai saudaraku muslim merupakan sunnah yang diajarkan dan ditekankan dalam agama ini. Bahkan, ketika seseorang telah menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh dari agamanya. (Lihat Ash Shahihah 2/199). Menikah juga merupakan sunnah para rasul ‘alaihimussalam terdahulu. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya);
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Dalam ayat-Nya yang lain pula Allah ‘azza wajalla memerintahkan para wali (orang tua/wali) untuk menikahkan putra-putrinya yang telah mampu untuk menikah. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya);
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya (budak) kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penyampai dan penjelas wahyu ilahi, telah menyampaikan dan menjelaskan tentang sunnah (nikah) tersebut kepada umat ini. Suatu hari datang 3 (tiga) orang kepada istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika diberi kabar bagaimana ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sepertinya mereka menganggap sedikit apa yang mereka amalkan. Maka diantara mereka berkata, “Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.” Yang lain berkata, “Aku akan puasa terus menerus dan tak akan berbuka.” Yang lainnya lagi berkata, “Aku tak akan menikahi wanita.” Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan diberitahu tentang ucapan mereka ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut kepada Allah ‘azza wajalla daripada kalian dan yang paling bertaqwa. Akan tetapi aku sholat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan golonganku (bukan berada diatas sunnahku dan jalanku).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
MANFAAT PERNIKAHAN
Merupakan suatu yang mustahil jika Allah ‘azza wajalla Yang Maha Pencipta, Pengatur dan Pemelihara alam semesta ini dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pengemban risalah agama ini memerintahkan sebuah amalan ibadah tanpa ada hikmah dan tujuan. Tidak ada amalan ibadah yang diperintahkan dalam syari’at ini melainkan dibalik itu mengandung manfaat yang besar, termasuk pernikahan. Diantara hikmah dan manfaat pernikahan adalah kesempatan menjalankan perintah Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang hakekatnya merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba di dunia dan di akhirat. Selain itu akan terjalin kasih sayang antara suami dan istri yang diridhoi oleh Allah ‘azza wajalla, sebagaimana firman-Nya (artinya);
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat diatas, “Maka dengan adanya istri tersebut dapat diraih kenikmatan dan kelezatan dalam hidup, diperoleh kemanfaatan yang besar berupa (lahirnya) anak-anak, adanya pendidikan terhadap mereka, dan diperoleh juga ketenangan hidup bersamanya (istri). Maka tidaklah engkau dapati pada diri seseorang secara umum seperti yang didapati pada sepasang suami istri dalam hal kasih sayang.” (Taisir Al Karimirrahman hal. 639).
Islam telah menjadikan pernikahan sebagai ibadah, sebab dengan pernikahan tersebut seseorang dapat menjaga dirinya dari keburukan fitnah, membatasi pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Pernikahan juga dapat menjaga dan membentengi diri seseorang dari syaithan yang selalu mengajak dan menjerumuskan anak adam ke dalam perbuatan keji (zina).
NASEHAT
Wahai para pemuda rahimakumullah…
Ketahuilah, seseorang tidak akan menemukan kekecewaan bila ia menjadikan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai prinsip dalam meniti sebuah kehidupan. Karena dengan mengikuti bimbingannya seseorang akan terbimbing untuk menempuh jalan yang lurus, dan tidak akan tersesat. Allah ‘azza wajalla menyatakan (artinya);
“Dan jika kalian menaatinya (Rasulullah) niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk” (An-Nur: 54)
Jika engkau sudah mampu untuk menikah, menikahlah karena menikah merupakan perintah Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Janganlah seseorang takut dan tidak menikah karena terpengaruh dengan bisikan syaithan dengan dibayangi kesulitan ekonomi dan kemiskinan. Hati-hatilah dari membujang (menahan diri dari menikah) hanya karena khawatir tidak mampu menanggung beban hidup. Bertawakallah kepada Allah ‘azza wajalla dengan disertai ikhtiar, niscaya Allah ‘azza wajalla akan mewujudkan janji-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya);
“Dan barangsiapa yang bertawakkal (menyandarkan dirinya) kepada Allah niscaya Allah akan cukupkan keperluannya.” (At-Thalaq: 3)
Juga Allah ‘azza wajalla berjanji dalam firman-Nya:
“Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nuur: 32)
Dalam sebuah hadits, sebagaimana diriwayatkan dari shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: اَلْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ العَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.
“Tiga golongan yang Allah pasti akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah dengan tujuan menjaga kehormatanya dari perkara-perkara yang diharamkan, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa’i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3218, 3120).
Hilangkan bayangan kemiskinan dan kesengsaraan, sebab semua urusan di tangan Allah ‘azza wajalla, Allah akan bukakan jalan keluar dari berbagai kesulitan dalam hidup ini jika kita berusaha sekuat tenaga untuk bertaqwa kepada-Nya. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya);
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan jadikan untuknya jalan keluar. Dan memberi rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka.” (At-Thalaq: 2-3)
Para pemuda, semoga Allah ‘azza wajalla merahmati kita semua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberi solusi bagi pemuda yang belum mampu untuk menikah agar ia berpuasa. Dengan berpuasa ia lebih mampu untuk mengendalikan hawa nafsunya, lebih menjaga kehormatan dan pandangannya dari perkara yang diharamkan, sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas. Bukan dengan cara-cara yang tidak syar’i, seperti onani, karena yang demikian juga diharamkan.
PENUTUP
Para pembaca yang kami cintai, dengan ini marilah kita bersama-sama berusaha menjadikan petunjuk Allah ‘azza wajalla dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah di pahami dan dipraktekkan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai jalan satu-satunya meraih keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup ini. Dengan mengamalkannya, hidup kita akan senantiasa terjaga dan diliputi ridha dari Yang Maha Pencipta, Pemilik, Pengatur dan Pemelihara alam ini.
Wallahu a’lam bish shawaab.
Buletin Islam AL ILMU Edisi: 11/III/VIII/1431