Meninggalkan kemaksiatan ketika Ramadhan, tetapi dengan niat akan mengulanginya lagi di bulan yang lain, Maka dia teranggap sebagai orang yang terus menerus melakukan kemaksiatannya itu[1].
Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa [X/743-744] -ketika menjelaskan bentuk terus-menerusnya orang yang berbuat maksiat-:
“Dan terkadang seseorang dikatakan terus menerus berbuat maksiat ketika dia bertekad untuk melakukannya (maksiat tersebut) pada waktu tertentu dan tidak pada waktu yang lain, seperti seseorang yang bertekad untuk meninggalkan kemaksiatan pada bulan Ramadhan tetapi tidak demikian pada bulan yang lain, maka dia bukan termasuk orang yang benar-benar bertaubat secara mutlak.
Namun orang yang meninggalkan perbuatan (maksiat) pada bulan Ramadhan akan diberi pahala manakala upaya dia dalam meninggalkan maksiat tadi karena Allah, dan dalam rangka mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, serta menjauhi segala sesuatu yang diharamkan-Nya pada bulan tersebut. Akan tetapi dia bukan termasuk orang yang benar-benar bertaubat, yang akan diampuni dosanya dengan taubat dia, dan bukan pula orang yang dikatakan terus menerus berbuat maksiat secara mutlak[2].
Adapun orang yang terus menerus (berbuat maksiat) sebagaimana yang disifatkan oleh Ibnul Mubarak adalah jika di antara niatnya adalah mengulangi minum khamr.[3]
Aku (Ibnu Taimiyyah katakan):
Dan orang yang meninggalkan maksiat pada bulan Ramadhan, dan di antara niatnya adalah mengulanginya pada selain bulan Ramadhan, maka dia termasuk orang yang terus-menerus (berbuat maksiat itu) juga.”
-selesai perkataan Ibnu Taimiyyah-.
Aku memohon kepada Allah agar Dia memberikan rizki untuk kita semua taubat yang sebenar-benarnya, dan agar Dia menjauhkan kita semua dari segala bentuk kemaksiatan dan terus-menerus berbuat maksiat selama hidup kita. Amin.
Diterjemahkan dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=380510
Dengan tambahan catatan kaki dari penerjemah.
[1] Di antara syarat taubat adalah meninggalkan perbuatan maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sehingga apabila seseorang telah meninggalkan suatu perbuatan maksiat, namun masih ada padanya keinginan dan tekad untuk mengulanginya lagi, maka dia belum dikatakan orang yang jujur dan sungguh-sungguh dalam taubatnya.
Allah ta’ala menyebutkan beberapa sifat orang yang bertaqwa (dalam surat Ali ‘Imran: 133-136), di antaranya adalah:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.” [Ali ‘Imran: 135].
[2] Jadi orang yang mengulangi perbuatan maksiatnya, apakah dia dikatakan terus-menerus berbuat maksiat ataukah tidak, sangat terkait dengan niat dan tekad si pelakunya sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Ibnul Mubarak setelah ini. Pelaku kemaksiatan yang bertekad untuk mengulanginya di waktu yang lain tentunya berbeda dengan orang yang megulanginya karena kealpaan atau kelalaian dirinya, selama dia sudah bertekad dengan jujur untuk tidak mengulanginya. Wallahu a’lam.
[3] Nampaknya perkataan beliau ini dalam konteks pembicaraan tentang peminum khamr yang meninggalkan kemaksiatannya ini. Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=529