Warisan Salaf
Warisan Salaf

kenalilah 7 pembatal puasa (syaikh muhammad bin shalih al-utsaimin)

11 tahun yang lalu
baca 9 menit
Kenalilah 7 Pembatal Puasa (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
image_pdfimage_print

maaf_lagi_puasa_kompas

Para pembaca rahimakumullah, pada kesempatan kali ini, marilah kita mengenali tujuh pembatal puasa yang telah dijabarkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam tulisan beliau berjudul Majalis Syahri Ramadhan. Pada pertemuan keempat, Syaikh Al-Utsaimin menjelaskan secara gamblang apa saja perkara-perkara yang dapat membatalkan puasa dan juga konsekuensi yang didapat oleh pelakunya. Berikut penjelasan beliau:

Saudaraku fillah, Allah Ta’ala berfirman,

{فالآن باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل}

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al Baqarah:187)

Allah menyebutkan dalam ayat ini pokok-pokok pembatal puasa, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyempurnakan penjelasannya dalam hadits-hadits beliau. Dan pembatal puasa ada tujuh macam:

Pertama: Jima’, yaitu masuknya dzakar ke dalam farji. Ini adalah pembatal yang dosanya paling besar.

  • Kapan saja seorang yang berpuasa melakukan hubungan dengan isterinya maka puasanya batal, baik itu puasa wajib atau puasa sunnah.
  • Jika hal itu dilakukan di siang hari ramadhan dan puasanya adalah puasa wajib, maka harus diganti dan membayar kaffaroh mugholazhoh; yaitu membebaskan budak, jika tidak menemukan budak bisa dengan puasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh bolong walaupun satu hari selama dua bulan tersebut kecuali ada udzur syar’i seperti bertepatan dengan hari ‘Iedul Fithri, I’edul Adha, dan hari tasyriq yang ada larangan berpuasa. Atau karena udzur hissi, seperti jatuh sakit atau safar yang tidak dibuat-buat hanya untuk berbuka. Tetapi bila dia berbuka tanpa udzur walaupun satu hari saja maka harus mengulang dari awal lagi.

Apabila tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut maka dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang miskin mendapat jatah setengah kilo sepuluh gram gandum yang baik. Boleh juga dengan beras tapi harus disesuaikan timbangannya, jika beras jenis barangnya lebih berat dari gandum maka ditambahkan takarannya sesuai dengan gandum, jika lebih ringan maka dikurangi takarannya. Dalam sebuah hadits, bahwasanya ada seorang shahabat yang telah melakukan hubungan dengan isterinya di (siang) ramadhan. Lalu dia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka beliau berkata, “Apakah kamu mendapati budak (untuk dibebaskan)?” orang tadi menjawab, tidak ada. Beliau melanjutkan, “apakah kamu mampu berpuasa dua bulan (berturut-turut)?” orang tadi menjawab, tidak mampu. Kemudian beliau berkata, “kalau begitu berilah makan enam puluh orang miskin.” (HR. Muslim)

Kedua: Keluar mani dengan kehendaknya, baik disebabkan ciuman, sentuhan, masturbasi, atau yang lainnya. Karena semua itu adalah syahwat yang mana puasa tidak akan teranggap kecuali dengan menjauhinya. Hal ini Sebagaimana dalam hadits qudsi, “Dia meninggalkan makannya, minumnya, dan syahwatnya hanya karena Aku.” (HR. Al-Bukhari) adapun ciuman dan sentuhan yang tidak sampai mengeluarkan mani maka tidak membatalkan puasa, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium (isterinya) ketika berpuasa dan mencumbu ketika berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling bisa menahan syahwatnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dan dari Umar bin Abi Salamah bahwasanya beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Apakah seorang yang berpuasa boleh mencium (isterinya)? Beliau menjawab, “Tanya kepada orang ini” maksud beliau adalah Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah mengkhabarkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan hal itu. Lantas pria tadi berkata, Wahai Rasulullah! Sungguh Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Maka beliau menjawab, “Adapun Demi Allah. Aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian semua.”  (HR. Muslim)

  • Apabila seorang yang berpuasa khawatir atas dirinya jika melakukan hal itu akan mengeluarkan mani (Inzal), atau bisa menjerumuskannya kepada perbuatan jima’ disebabkan tidak ada kemampuan mengekang syahwatnya, maka mencium atau yang sejenisnya adalah haram dalam rangka menutup cela terjadinya hal itu dan menjaga puasanya dari kerusakan. Yang semisal dengan ini adalah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bagi seorang yang berwudhu’ agar bersungguh-sungguh dalam melakukan istinsyaq (memasukan air ke dalam hidung) kecuali jika dalam keadaan berpuasa karena dikhawatirkan air bisa masuk ke tenggorokannya.
  • Adapun Inzal (keluar mani) karena bermimpi atau berfikir tanpa ada aktivitas maka tidak membatalkan puasa. Karena bermimpi bukan kehendak orang tersebut, sedangkan berfikir adalah sesuatu yang dimaafkan. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku apa yang terbetik di dalam hatinya, selama hal itu belum direalisasikan dalam bentuk amalan atau perbuatan.” (Muttafaqun ‘alaihi)

 

Ketiga: Makan dan minum, yaitu sampainya makanan dan minuman ke tenggorokan melalui mulut dan hidung, dalam bentuk apapun makanan dan minuman itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

{وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل}

“Dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dan sa’uth (obat yang dimasukkan ke hidung) masuk dalam kategori makan dan minum, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits Laqith bin Sabirah, “Dan bersungguhlah engkau dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila dalam keadaan puasa.” (Diriwayatkan oleh yang lima dan dishahihkan At-Tirmidzi)

  • Adapun mencium aroma-aroma tidak membatalkan puasa.

Keempat: Sesuatu yang bermakna makan dan minum, yaitu ada dua:

  1. Transfusi darah. Seperti seorang yang berpuasa mengalami perdarahan hebat sehingga membutuhkan transfusi darah. Yang seperti ini membatalkan puasa, karena darah adalah energi puncak dari makan dan minum. (Syaikh Al-Utsaimin berkata, ini adalah pendapat yang dahulu aku pegang. Kemudian tampak bagiku bahwa transfusi darah tidak membatalkan puasa, karena tidak masuk dalam kategori makan minum dan yang semakna dengannya. Hukum asal adalah tetapnya puasa hingga jelas ada sesuatu yang merusaknya.)
  2. Suntik infus. Seorang yang diinfus tidak akan butuh kepada makan dan minum. Ini juga membatalkan puasa. Karena walaupun infus tidak disebut makan dan minum, tetapi ia masuk dalam kategori keduanya, sehingga hukumnya juga sama.

Adapun suntik biasa tidak membatalkan puasa, baik disuntik melalui otot atau uratnya. Walaupun didapati ada rasa panas ditenggorokannya tetap tidak membatalkan puasa. Karena hal itu tidak disebut makan dan minum atau semakna dengan keduanya, sehingga hukumnya berbeda. Dan tidak menjadi masalah dengan didapatinya rasa di tenggorokan dari selain makan dan minum. Oleh karena itu para fuqoha’ kita berkata, “Seandainya dia melumuri telapak kakinya dengan buah hanzhol (sejenis labu yang pahit rasanya) dan dia mendapati rasanya di tenggorokan, tidak membatalkan puasa.”

Kelima: Keluar darah dengan bekam. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam.” (HR. Ahmad) ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad dan kebanyakan fuqoha’ belakangan. Dan semakna dengan bekam ini adalah donor darah dan sejenisnya yang memiliki pengaruh terhadap tubuh seperti halnya bekam. Oleh karenanya, tidak boleh bagi seorang yang berpuasa dengan puasa wajib mengeluarkan darahnya untuk didonor dengan jumlah yang banyak yang berpengaruh terhadap tubuhnya, kecuali dalam keadaan darurat yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan mengambil darahnya dan tidak memudharatkan orang yang berpuasa, maka diperbolehkan karena darurat, dan puasanya batal dan diganti di hari yang lain.

  • Adapun keluarnya darah disebabkan mimisan, batuk, penyakit bawasir, cabut gigi, luka, untuk tes laboratorium, tusukan suntik, dan yang sejenisnya maka tidak membatalkan puasa, karena semua itu bukan termasuk bekam yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang.

Keenam: Muntah dengan sengaja, yaitu mengeluarkan apa yang ada di lambung berupa makanan atau minuman dari mulut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

«من ذرعه القيء فليس عليه قضاء ومن استقاء عمدا فليقض»

“Barangsiapa terkalahkan oleh muntah (muntah tanpa sengaja) maka tidak ada qadha’ atasnya. Dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja hendaknya dia mengqadha’.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima)

Muntah yang disengaja membatalkan puasa, biasanya dilakukan dengan mengurut perutnya, merogoh tenggorokannya, mencium aroma tertentu atau melihat sesuatu yang dapat membuatnya muntah, maka semua itu membatalkan puasa. Sedangkan muntah yang terjadi tanpa sebab maka tidak membatalkan puasa. Seandainya dia merasakan ada yang tidak beres dengan lambungnya sehingga akan muntah, maka jangan ditahan. Karena seandainya dia muntah tidak akan membatalkan puasanya, dengan catatan harus dibiarkan, jangan dimuntahkan dan jangan ditahan.

Ketujuh: Keluar darah haid dan darah nifas. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Bukankah wanita apabila sedang haid tidak shalat dan tidak puasa?” kapan saja seorang wanita melihat darah haid atau darah nifas, maka puasanya batal, baik hal itu terjadi di siang hari atau di sore hari, bahkan walaupun beberapa saat sebelum maghrib.

  • Jika seorang wanita merasakan ada darah yang akan keluar dan baru terlihat setelah masuknya waktu maghrib maka puasanya sah dan tidak perlu menqadha.

Haram bagi seorang yang berpuasa wajib seperti ramadhan, kaffaroh, dan nadzar melakukan pembatal-pembatal yang telah disebutkan di atas kecuali bila ada udzur yang syar’i seperti sedang safar, sedang sakit, atau udzur lainnya. Karena seorang yang sedang melakukan sesuatu yang wajib harus disempurnakan hingga selesai kecuali bila ada udzur yang dibenarkan.

Apabila pembatal-pembatal tersebut dilakukan di siang hari ramadhan tanpa udzur yang dibenarkan, maka wajib baginya untuk menahan diri dari melakukan pembatal puasa di hari tersebut. Jika berbukanya karena udzur yang dibenarkan, maka tidak diharuskan menahan diri. Adapun bila puasanya adalah puasa sunnah, dibolehkan baginya berbuka walaupun tanpa udzur, namun yang lebih utama adalah menyempurnakannya.

Diterjemahkan secara bebas dan ringkas.