Warisan Salaf
Warisan Salaf

fatawa kurban 2: syarat hewan kurban dan pembagian dagingnya

10 tahun yang lalu
baca 5 menit
FATAWA KURBAN 2: SYARAT HEWAN KURBAN DAN PEMBAGIAN DAGINGNYA
image_pdfimage_print

Asy-Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kemudian berkurban memiliki beberapa syarat, di antaranya ada syarat terkait waktunya, dan ada syarat terkait hewan kurban itu sendiri.

Adapun waktunya: Sesungguhnya berkurban memiliki waktu yang telah ditentukan, yang tidak disyari’atkan untuk dilakukan sebelum atau setelahnya. Waktunya adalah dimulai sejak selesai dilaksanakannya shalat ‘ied sampai terbenamnya matahari di malam 13 (DzulHijjah). Sehingga waktunya ada 4 hari, yaitu hari Ied dan 3 hari setelahnya.

Maka siapa saja yang menyembelih hewan kurbannya dalam kurun waktu tersebut baik di waktu siang atau malam hari maka sembelihannya adalah sah, ini ditinjauh dari sisi waktu.

Dan barangsiapa menyembelihnya sebelum shalat ‘Ied maka hewan kurbannya adalah hewan kurban lahm (yaitu daging biasa,pen) dan tidak bisa dijadikan sebagai hewan kurban, dia boleh menyembelih hewan kurban lain sebagai pengganti yang pertama.

Barangsiapa menyembelih setelah matahari terbenam di malam ke 13 (DzulHijjah) maka hewan kurbannya tidak sah, kecuali jika ada udzur.

Sedangkan syarat terkait hewan kurbannya, maka syaratnya adalah:

Pertama: harus dari bahimatul an’am (hewan ternak), yaitu Onta, sapi, dan kambing domba atau kacang. Barangsiapa yang berkurban dengan selain hewan tersebut maka kurbannya tidak sah. Misalnya seseorang berkurban dengan kuda, kijang, atau burung unta, maka kurbannya tidak diterima darinya, karena hewan kurban hanyak berlaku bagi hewan-hewan ternak. Udhiyah adalah ibadah dan syari’at, sehingga tidaklah seseorang menjadikan sebuah syari’at dan tidak beribadah kecuali yang telah ditetapkan di dalam syari’at. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد”

“Barangsiapa melakukan sebuah perbuatan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalannya tertotak.” (HR. Muslim no.1718) yakni ditolak tidak diterima.

Kedua: telah mencapai usia yang cukup menurut syari’at. Bagi kambing domba usia 6 bulan, kambing kacang/jawa 1 tahun, sapi 2 tahun, dan unta 5 tahun.

Barangsiapa menyembelih di bawah usia tersebut maka tidak sah kurbannya. Seandainya ia menyembelih kambing domba berusia 5 bulan maka tidak sah kurbannya, atau menyembelih sapi usia 1 tahun lebih 10 bulan juga tidak sah kurbannya, atau menyembelih unta usia 4 tahun lebih 6 bulan juga tidak sah kurbannya. Maka harus telah sampai usia yang telah ditentukan. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

(لا تذبحوا إلا مُسِنَّة- يعني ثنيّة- إلا أن تعْسُرَ عليكم فتذبحوا جَذَعة من الضأن “

“Janganlah kalian menyembeli (hewan kurban) kecuali musinnah (yaitu tsaniyyah). Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka boleh menyembelih jadza’ah dari domba.”

(Keterangan tambahan: Musinnah adalah Tsaniyah. Tsaniyah pada Unta adalah unta yang genap berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’iz) adalah yang genap berumur satu tahun.Adapun jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.)

Ketiga: Terbebas dari ‘aib yang membuatnya tidak sah.

‘Aib pada hewan kurban ada empat: (keempatnya) telah dijawab oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya, “Apa yang harus dihindari dari hewan kurban? Maka beliau menjawab, “yang buta dan jelas butanya, yang sakit dan jelas sakitnya, yang pincang dan jelas pincangnya, yang kurus tidak bersumsum.” (HR. Malik)

Hewan-hewan seperti di atas atau bahkan lebih parah lagi maka dihukumi sama. Inilah 3 syarat yang kembalinya kepada hewan kurban, dan 1 syarat sebelumnya kembali kepada waktu pelaksanaannya, dan telah dijelaskan sebelumnya.

CARA PEMBAGIANNYA

Adapun mengenai bagaimana cara pembagiannya, maka Allah telah berfirman,

“ليَشهَدُوا مَنافِعَ لَهُم وًيذكرُوا آسمَ اللهِ فِى أيامٍ معلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم من بَهِيمَةِ اَلأنعامِ فَكُلُواْ مِنْهَا وَأطْعِمُوا آلْبَآئِسَ اَلفَقِيرَ “

supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (QS. Al-Hajj:28)

Allah juga berfirman,

وَالبُدنَجَعَلْنَاهَا لَكْم مٍنّ شَعَائِرِ اللهِ لَكْمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاَذْكُرُوا اَسمَ اَللهِ عَلَيها صَوَآفَّ فَإذَا وَجَبَت جُنُوبُهَا فَكُلْواْ مِنْهَا وَأطعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعتَرَّ كَذَالِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكْمْ لَعَلَّكم تَشْكُرُونَ

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj:36)

Jadi hendaknya seseorang memakan sebagian dagingnya, menyedekahkan sebagiannya kepada fuqoro’, dan menghadiahkan sisanya kepada orang yang mampu, dalam rangka melembutkan hati dan menumbuhkan rasa cinta. sehingga di dalam udhiyah tersebut terkumpul tiga perkara yang dimaukan oleh Syari’at, yaitu:

  1. Bersenang-senang dengan nikmat Allah dengan memakan sebagiannya.
  2. Mengharap pahala Allah dengan menyedekahkannya.
  3. Saling mencinta di antara hamba Allah dengan cara menghadiahkannya.

Ini adalah kandungan mulia yang dimaukan oleh syari’at. Oleh karenanya sebagian ulama menyukai daging hewan kurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga dimakan, sepertiga disedekahkan, dan sepertiga lagi di hadiahkan.

Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/12-14.