Warisan Salaf
Warisan Salaf

fatawa ar-radha’ah: syarat-syarat saudara persusuan (syaikh shalih al-fauzan)

10 tahun yang lalu
baca 3 menit
Fatawa Ar-Radha’ah: Syarat-Syarat Saudara Persusuan (Syaikh Shalih Al-Fauzan)
image_pdfimage_print

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya, “Ada seorang pria yang menikahi seorang wanita dan telah hidup bersamanya selama dua tahun. Kemudian setelah itu keduanya mengetahui bahwa keduanya telah disusui oleh satu orang wanita di pedesaan atau tetangganya. Apakah wanita tersebut menjadi mahram bagi pria tadi atau tidak? Dimana keadaan keduanya seperti yang telah aku sebutkan tadi yaitu pernah disusui oleh satu orang wanita. Berilah kami fatwa semoga Allah memberikan pahala kepada anda.

Beliau menjawab, “Sebuah perkara yang telah tetap di dalam syari’at bahwasanya penyusuan membuat seseorang menjadi mahram. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya, “Penyusuan membuat seseorang menjadi mahram sebagaimana kelahiran membuat seseorang menjadi mahram.” Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda,

يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب

Diharamkan bagi persusuan seperti apa yang diharamkan bagi hubungan nasab.”

Dan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi ketika menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi,

{وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ}

“Dan ibu-ibu kalian yang telah menyusui kalian dan saudara perempuan kalian sepersusuan.” (QS. An-Nisaa:23)

Akan tetapi, ar-radha’ah (penyusuan) tidak akan berlaku (yakni tidak menjadi mahram,pen) kecuali terpenuhinya dua syarat:

Pertama: Penyusuan dilakukan selama lima kali secara sempurna.

Kedua: Penyusuan dilakukan ketika umur bayi dua tahun (atau dibawahnya).

Itulah kaedah dalam hal penyusuan yang menjadi mahram.

Adapun kasus anda secara khusus, dan apa yang telah disebutkan bahwasanya anda menikahi seorang wanita yang ternyata anda dan dia menyusu kepada seorang wanita yang sama dan bahwasanya anda telah hidup bersamanya selama dua tahun. Maka kasus semacam ini perlu dikembalikan kepada hakim syari’ah yang berwenang di daerah kalian, atau (dikembalikan) kepada mufti yang bisa dijadikan sandaran agar dia dapat memahami duduk perkaranya dan kemudian dapat menghukuminya dengan hukum syar’i, insya Allah.

Sumber: MAJMU’ FATAWA AL-FAUZAN 2/614

Admin Warisan Salaf