10 golongan manusia terkait dengan puasa ramadhan. dari golongan manakah anda?
11 tahun yang lalu
baca 11 menit
Pertama: Seorang muslim yang baligh, berakal (tidak gila atau pingsan,pen), mukim (bukan musafir,pen), mampu, dan tidak ada penghalang-penghalang (seperti musafir,pen). Maka wajib bagi golongan pertama ini untuk berpuasa tepat pada waktunya. Berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Allah berfirman,
“Bulan Ramadhan yang telah diturunkan padanya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan petunjuk dan pembeda. Maka barangsiapa di antara kalian melihat bulan (hilal,pen) maka hendaknya dia berpuasa.”
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
«إذا رأيتم الهلال فصوموا»
“Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah.”
Dan kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya berpuasa tepat pada waktunya bagi orang yang telah disifatkan di atas.
Orang kafir tidak diwajibkan atas mereka berpuasa. Seandainya mereka berpuasa maka tidak akan diterima puasanya tersebut.
Apabila seseorang masuk Islam di pertengahan bulan ramadhan, maka tidak diharuskan mengqadha’ puasa pada hari-hari sebelumnya, berdasarkan firman Allah, “Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka mau berhenti (dari kekafiarannya) maka niscaya akan diampuni apa yang telah lalu.”
Apabila seseorang masuk Islam di siang hari ramadhan, maka dia harus menahan diri dari pembatal-pembatal puasa sampai waktu berbuka. Karena ketika itu dia telah menjadi seorang muslim yang wajib menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Tetapi tidak wajib mengqadha’ puasa hari tersebut, karena dia termasuk yang tidak diwajibkan ketika puasa di mulai (yakni ketika fajar)
Kedua: Anak kecil. Tidak wajib bagi anak kecil berpuasa hingga mencapai usia baligh, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Diangkat pena (beban kewajiban,pen) dari tiga jenis manusia; dari seorang yang tidur hingga terbangun, dari anak kecil hingga dewasa (baligh), dari orang yang gila hingga tersadar.” (HR. Ahmad)
Orang tua diharapkan melatih mereka berpuasa dari usia dini agar mereka terbiasa berpuasa ketika telah masuk usia baligh. Dan ini merupakan bentuk kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Tiga tanda yang dengannya seorang anak laki-laki telah memasuki usia baligh, yaitu:
Keluarnya mani dengan mimpi atau selainnya.
Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.
Mencapai usia lima belas tahun.
Ditambah bagi wanita dengan haid. Kapan saja seorang wanita haid, maka dia telah baligh walaupun belum berusia lima belas tahun.
Anak kecil yang masuk usia baligh di siang hari ramadhan, apabila sebelumnya dia berpuasa maka hendaknya menyempurnakan puasanya tersebut. Dan apabila dia tidak berpuasa, maka hendaknya menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, karena ketika itu dia sudah masuk ke dalam golongan orang yang diwajibkan berpuasa. Akan tetapi tidak diwajibkan mengqadha’ karena ketika fajar mereka belum baligh.
Ketiga: Orang gila, yaitu orang yang hilang akalnya. Tidak diwajibkan atas mereka berpuasa, berdasarkan sabda Nabi, bahwa pena diangkat dari tiga golongan manusia, di antaranya, “dari seorang yang gila hingga tersadar.”
Seseorang yang terkadang gila dan terkadang sadar, maka wajib mengqadha’ puasa ketika tersadar.
Seseorang yang hilang akalny di siang hari ramadhan, maka puasanya tidak batal jika hal tersebut berlangsung beberapa saat saja. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa puasanya batal. Maka atas dasar ini, tidak ada kewajiban mengqadha’ puasa di hari tersebut.
Apabila seseorang baru tersadar di siang hari ramadhan, maka dia diharuskan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Karena dia telah menjadi orang yang wajib berpuasa. Dan tidak diharuskan mengqadha’ puasa, karena keadaannya seperti seorang yang masuk Islam di siang hari ramadhan dan anak kecil yang baligh di siang ramadhan.
Keempat: Orang tua yang sering berbicara sendiri seperti anak kecil, yang sudah tidak bisa lagi membedakan. Maka tidak wajib baginya berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah. Karena telah gugur beban darinya disebabkan hilangnya sifat tamyiiz pada dirinya seperti anak kecil. Namun jika terkadang dia memiliki sifat tamyiiz dan terkadang tidak, maka wajib baginya berpuasa ketika ada sifat tamyiiz.
Kelima: Seorang yang tidak sanggup berpuasa karena lemah yang berkelanjutan, yang tidak ada harapan sembuh. Seperti orang yang lanjut usia atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, seperti sakit kanker dan sejenisnya. Maka tidak wajib baginya berpuasa, karena sudah tidak mampu. Allah berfirman, “Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.”, Allah juga berfirman, “Tidaklah Dia membebani seseorang kecuali dalam perkara yang dimampui.”
Tetapi wajib baginya membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti dari puasa.
Boleh memilih antara memberi makan setiap hari satu orang miskin atau sekaligus dalam satu hari.
Keenam: Seorang musafir yang tidak menjadikan safarnya sebagai alasan untuk berbuka. Apabila dia meniatkan hal itu (yakni bersafar hanya untuk berbuka), maka berbuka ketika itu haram baginya, dan dia harus tetap berpuasa.
Tetapi jika dia tidak memaksudkan hal tersebut, boleh baginya memilih antara berbuka atau tetap berpuasa. Hal ini berlaku baik safarnya karena tiba-tiba untuk kebutuhan tertentu atau safar yang berkelanjutan seperti seorang pilot atau sopir mobil rentalan. Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “maka hendaklah dia berpuasa. Dan barangsiapa yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka diganti di hari-hari yang lain. Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagi kalian”.
Dan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, “Kami dahulu bersafar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada orang yang berpuasa mengejek orang yang berbuka, dan tidakpula orang yang berbuka mengejek orang yang berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Apabila sopir mobil rentalan merasakan beban yang berat jika berpuasa karena cuaca panas, boleh baginya menunggu musim dingin untuk mengqadha’ puasanya.
Yang lebih afdhal bagi seorang musafir adalah melakukan sesuatu yang lebih mudah baginya, berpuasa ataukah berbuka. Jika antara berbuka dan berpuasa sama saja baginya, maka hendaknya dia berpuasa. Karena hal tersebut lebih cepat menyelesaikan kewajiban dan dia akan lebih bersemangat ketika berpuasa bersama dengan kaum muslimin, dan ini merupakan perbuatan Rasulullah. Dalam hadits Abu Darda’ beliau berkata, “Kami keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika Ramadhan pada cuaca yang sangat panas, sampai-sampai ada di antara kami yang meletakkan tangannya di atas kepala karena saking panasnya. Dan tidak ada di antara kami ketika itu yang berpuasa kecuali Rasullah dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berbuka ketika terdengar kabar bahwa berpuasa memberatkan para shahabat. Dari Jabir Radhiallahu ‘anhu, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pergi ke Makkah pada Fathu Makkah, dan beliau berpuasa hingga tiba di Kuro’ Ghamim. Saat itu para shahabat juga berpuasa. Lalu ada yang menyampaikan kepada beliau, bahwasanya puasa memberatkan para shahabat, dan mereka masih menunggu apa yang akan engkau perbuat. Maka setelah ashar, beliau meminta satu gayung berisi air, lalu beliau minum dan para shahabat ikut minum. (HR. Muslim)
Seorang musafir yang tidak mampu berpuasa hendaknya dia berbuka. Jangan memaksakan untuk berpuasa karena itu bukan kebaikan baginya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk kebaikan yaitu berpuasa ketika safar.” Ini beliau ucapkan ketika ada shahabat yang pingsan disebabkan puasa ketika safar.
Apabila seseorang bersafar di siang hari ramadhan, ternyata dia merasakan berat meneruskan puasanya, maka boleh dia berbuka apabila telah keluar dari daerahnya.
Apabila seorang musafir tiba di kampungnya pada siang hari Ramadhan dalam keadaan tidak berpuasa, maka tidak diharuskan dia menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Karena tidak ada fungsiny dia menahan diri sedangkan dia diwajibkan mengqadha’. Ini pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal. Namun hendaknya dia tidak makan atau minum di hadapan orang-orang agar tidak timbul prasangka buruk disebabkan ketidak tahuan mereka.
Ketujuh: Orang sakit yang masih ada harapan sembuh. Ini ada tiga keadaan:
Tidak merasa keberatan untuk berpuasa dan tidak membahayakannya. Maka berpuasa wajib baginya karena dia tidak termasuk orang yang boleh berbuka.
Merasa berat untuk berpuasa dan puasa tidak membahayakannya. Maka hendaknya dia berbuka, berdasarkan firman Allah, “Maka siapa saja di antara kalian sakit atau sedang dalam perjalanan maka hendaknya diganti di hari-hari yang lain.” Dan berpuasa ketika itu adalah makruh baginya, karena hal itu berarti dia tidak melaksanakan keringanan yang Allah berikan, padahal Allah menyukai jika keringanan-Nya dilaksanakan, dan juga ada unsur menyiksa diri. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan rukhsah (keringanan)-Nya, sebagaimana dia membenci dilaksanakan kemaksiatan kepada-Nya.”
Puasa menimbulkan mudharat. Maka wajib baginya berbuka. Allah berfirman, “dan janganlah kalian membinasakan diri-diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyanyang kepada kalian.”
Apabila seorang yang berpuasa jatuh sakit di siang hari ramadhan, dan tidak sanggup melanjutkan puasanya, maka diperbolehkan berbuka.
Apabila seorang sembuh dari sakitnya di siang hari ramadhan, maka tidak diharuskan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Dan wajib mengqadha’ hari tersebut.
Apabila ada keterangan dari dokter bahwa berpuasa dapat memperparah sakitnya atau menunda kesembuhan maka boleh berbuka dalam rangka menjaga kesehatan dan menghindarkan diri dari penyakit.
Kedelapan: Wanita haid. Puasa adalah haram bagi mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukankah jika wanita haid tidak shalat dan tidak puasa? Itulah bentuk kekurangan agamanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Apabila seorang wanita selesai dari haidnya di siang hari ramadhan, maka wajib mengqadha’ puasa di hari tersebut, dan tidak diharuskan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa.
Apabila seorang wanita selesai dari haidnya beberapa saat sebelum masuk waktu shubuh, wajib baginya berpuasa. Dan puasanya sah walaupun belum mandi besar.
Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid.
Wajib bagi keduanya (wanita haid dan nifas) mengqadha’ sesuai dengan jumlah hari yang dia berbuka padanya. Aisyah Radhiallanu ‘anha pernah ditanya, “apa sebab wanita haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat? Beliau menjawab, kami dahulu tertimpa hal itu, dan kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kesembilan: Wanita menyusui atau wanita hamil, yang khawatir atas dirinya atau atas anaknya jika berpuasa, maka hendaknya dia berbuka. Berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Allah meletakkan beban separuh shalat bagi seorang musafir, dan (meletakkan beban) puasa bagi seorang musafir, wanita hamil, dan wanita menyusui.” (Dikeluarkan oleh Imam yang lima)
Wajib bagi wanita haid dan wanita nifas untuk mengqadha’ puasa sesuai dengan jumlah hari yang dia berbuka padanya.
Kesepuluh: Seorang yang membutuhkan makan atau minum untuk menolong orang lain. Seperti menolong orang yang akan tenggelam, dalam kobaran api, tertimbun longsor, atau yang lainnya. Seandainya tidak mungkin menolongnya melainkan dengan berbuka agar tenaga kuat, maka dibolehkan berbuka. Bahkan wajib berbuka, karena menyelamatkan jiwa yang dilindungi dari kebinasaan adalah wajib. Sesuatu yang wajib jika tidak dapat direalisasikan kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib untuk ditempuh.
Wajib baginya mengqadha’ hari yang dia berbuka padanya.
Seperti itu juga jika seorang membutuhkan kekuatan untuk berjihad melawan musuh, maka diperbolehkan berbuka, baik peperangan tersebut berlangsung di luar daerahnya (musafir) atau di daerahnya sendiri. Karena pada peperangan tersebut ada upaya membelah kaum muslimin dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu, “Kami bersafar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ke kota Makkah dalam keadaan kami berpuasa. Kemudian beliau berhenti di sebuah tempat dan berkata, ‘sesungguhnya kalian telah dekat dengan musuh-musuh kalian, dan berbuka lebih menguatkan kalian.’ Seruan pertama ini masih berbentuk rukhsoh sehingga di antara kami masih ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Kemudian kami berhenti di tempat berikutnya dan beliau berkata, ‘Sesungguhnya kalian akan mendatangi musuh-musuh kalian dan berbuka lebih menguatkan kalian, maka berbukalah.’ Ini adalah keharusan dan kami pun berbuka.” (HR. Muslim)
Diringkas dari Majalis Syahri Ramadhan Syaikh Shalih Al-Utsaimin pertemuan yang keenam. Semoga bermanfaat