✅💡📜 SEMESTINYA BELIAU MENJADI TELADAN BAGI KITA DALAM MENUNTUT ILMU
Beliau adalah Abu Muhammad, Sa’id bin al-Musayyib. Berasal dari suku Quraisy, keturunan dari Bani Makhzum. Seorang yang sangat berilmu di antara penduduk kota Madinah serta pemuka para tabi’in di masanya.
Beliau dilahirkan pada tahun 15 Hijriah, setelah pemerintahan ‘Umar bin al-Khaththab berjalan dua atau empat tahun. Ayah dan kakeknya adalah shahabat Rasulullah ﷺ. Sa’id tumbuh dalam suasana keilmuan, perjalanan hidupnya dipenuhi dengan mempelajari ilmu dan mengajarkannya.
Sungguh Allah akan mengangkat derajat hamba-hamba yang beriman dan melebihkan orang-orang yang berilmu di antara mereka. Hal inilah yang tampak pada diri Sa’id. Sejak kecil beliau telah berjanji untuk menuntut ilmu agama.
Dalam perjalanan keilmuannya, Sa’id berguru kepada para shahabat besar; ‘Utsman bin‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaib bin Tsabit, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan selainnya. Beliau juga mempelajari ilmu dari Ummul Mukminin ‘Aisyah dan juga Ummu Salamah. Sa’id adalah orang yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits dari Abu Hurairah yang tak lain adalah mertuanya. Pernikahannya dengan putri Abu Hurairah menjadikan beliau orang yang paling memahami hadits-hadits yang diriwayatkan darinya.
Sejak usia muda, Sa’id banyak melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan hadits Nabi ﷺ. Beliau pernah bertutur, “Apabila aku tidak mengetahui suatu hadits, sementara di tempat lain ada yang mengetahuinya, tentulah aku akan berjalan beberapa hari dan malam untuk mencari satu hadits tersebut.”
Pada puncaknya, Sa’id menjadi satu dari al-Fuqaha’as-Sab’ah (Tujuh Ulama Ahli Fikih) di kota Madinah. Bahkan disebutkan bahwa beliau adalah pemuka para ahli fikih, serta paling tahu tentang hukum halal dan haram.
Demi mendapatkan kemudahan dalam meraih ilmu, beliau pun memilih menikah dengan putri gurunya, Abu Hurairah yang hidup dalam kefakiran. Padahal, sangat mungkin bagi beliau mendapatkan istri bernasab mulia dari kalangan Quraisy sebagaimana kedudukan beliau sendiri.
Hal ini pula yang Sa’id pilihkan untuk putrinya. Mengutamakan agama dan kehidupan akhirat daripada kesenangan dunia. Tersebutlah kisah penolakan beliau terhadap pinangan khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan untuk al-Walid, putranya. Seorang ayah yang mengkhawatirkan keteguhan agama putrinya, lantaran gelimang harta dan kemewahan sebagai istri khalifah.
Menakjubkan, beliau justru menikahkan putrinya dengan Ibnu Abi Wada’ah, seorang yang tekun menghadiri majelis ilmu di Masjid Nabawi dan paling sering mengikuti majelis Sa’id bin al-Musayyib. Seorang fakir yang baru saja menduda, menikahi putri tokoh terkemuka hanya dengan mahar dua dirham saja.
Tatkala beliau mengalami sakaratul maut, Sa’id masih meninggalkan uang seratus dinar untuk keluarganya. Lalu beliau berseru kepada Rabbnya, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa tidaklah aku meninggalkan dinar-dinar ini melainkan agar aku bisa menjaga keluargaku dan agamaku.”
Pada tahun 94 Hijriah, hamba yang shalih ini menghadap Rabbnya. Tahun tersebut dikenal juga dengan Tahun Fuqaha’ dikarenakan sejumlah ulama ahli fikih meninggal di tahun itu.
Sa’id bin al-Musayyib wafat pada usia 79 tahun. Semoga Allah merahmatinya.
🔎 Isi artikel ini dinukil dari :
https://bit.ly/2HMluR4
📮Boleh Join & Share :
http://simpellink.com/medsosuak
🔰 UKHUWAH ANAK KULIAH 🔰
•• ════════ ❁✿❁════════ ••