Tashfiyah
Tashfiyah

wanita makhluk berhias

8 tahun yang lalu
baca 6 menit
Wanita Makhluk Berhias

Dalam sebuah kesempatan hari raya, setelah menyampaikan khutbah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merasa perlu untuk memberikan nasihat khusus bagi kaum wanita. Ditemani oleh sahabat Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mendatangi lokasi shalat kaum wanita.

Di sana dan pada kesempatan itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kaum wanita sebagai mayoritas penghuni neraka. Hal itu disebabkan sikap kufur nikmat yang akrab terjadi pada mereka. Oleh sebab itu, beliau meminta mereka untuk lebih banyak dan mempersering sedekah.

Subhanallah! Kaum shahabiyah hanya mengenal sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat. Saat itu juga mereka melepas perhiasan yang melekat di badan. Cincin, giwang, gelang dan kalung milik mereka dikumpulkan di atas selembar kain yang dibawa keliling oleh sahabat Bilal bin Rabah.

Sobat Tashfiyah, kisah di atas hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun senang berhias. Mereka juga mempunyai perhiasan emas dan perak yang dilekatkan di badan. Wanita memang makhluk yang menarik. Namun akan lebih menarik lagi jika di badannya menempel perhiasan.

Sejatinya, wanita adalah makhluk berhias. Ia senang merias dan mempercantik diri. Di salah satu ayat surat Az Zukhruf, Allah menegaskan tentang sifat dasar kaum wanita ini. Allah berfirman yang artinya, “Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” [Q.S. Az Zukhruf:18]

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum wanita adalah makhluk yang selalu akrab dan senang dengan perhiasan sejak ia dilahirkan. Salah satu fungsinya adalah untuk mempercantik diri secara lahir. Sifat wanita lainnya adalah keterbatasan di dalam mengungkapkan dan mengutarakan isi hati. Sekuat dan setegar apapun seorang wanita di dalam menghadapi kerasnya kehidupan, tetap saja ia harus memperoleh kelembutan dan perhatian. (Tafsir As Sa’di)

Ringkasnya, Islam sangat mengerti dan memahami wanita yang memang garis fitrahnya senang berhias dan tampil cantik. Akan tetapi, di hadapan siapa ia boleh berhias dan tampil menawan? Di manakah pula ia diperbolehkan untuk merias diri? Apakah semua cara berhias diperbolehkan oleh Islam?

***

Secara umum, seorang wanita muslimah diperbolehkan untuk tampil tanpa hijabnya yang lengkap di hadapan laki-laki mahramnya. Perhiasan yang bersifat lahir pun boleh diperlihatkan. Laki-laki mahram bisa dibagi menjadi dua, yakni suami dan selainnya.

Selain suami, laki-laki mahram bagi seorang wanita adalah ayah, kakek dan seterusnya ke atas, bapak mertua, kakek mertua dan seterusnya ke atas, anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki suami, cucu laki-laki suami dan seterusnya ke bawah, saudara laki-laki baik seayah seibu ataupun seayah saja atau seibu saja, keponakan laki-laki, cucu keponakan dan seterusnya ke bawah. Selain itu budak yang dimiliki, laki-laki yang tidak bersyahwat terhadap wanita dan anak kecil pun dihukumi sama.

Untuk suami, diperbolehkan melihat seluruh bagian tubuh istrinya tanpa kecuali. Selain suami, seorang wanita diperbolehkan untuk menampakkan anggota wudhunya di hadapan laki-laki mahram.

Hal ini berdasarkan riwayat Al Imam Al Bukhari (193) dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menyatakan,

كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمِيعًا

“Dulu di masa hidup Rasulullah n, kaum wanita dan laki-laki melakukan berwudhu secara bersama.”
Dipahami oleh para ulama bahwa hal itu dilakukan di hadapan laki-laki mahramnya.

Al Imam Al Bukhari (251) dan Muslim (320) menyebutkan sebuah kisah tentang Abu Salamah dan seorang saudara sepersusuan ibunda Aisyah. Mereka bertanya tentang tata cara mandi janabahnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah meminta air satu bejana, ibunda Aisyah mandi dan menuangkan air di atas kepalanya. Hal itu dilakukan dengan adanya hijab antara ibunda Aisyah dengan mereka.

Al Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa yang tersurat dari hadits menunjukkan bahwa kedua orang tersebut menyaksikan Aisyah yang menuangkan air di atas kepala dan bagian tubuh lainnya yang memang di halalkan untuk mahram melihatnya. Sementara bagian bawah tubuh yang tidak boleh untuk dilihat, ibunda Aisyah menggunakan hijab.

Perlu diketahui bahwa Abu Salamah adalah mahram Aisyah. Sebab, Abu Salamah pernah disusui oleh Ummu Kultsum bintu Abu Bakar. Saudari Aisyah. Dengan demikian, Aisyah adalah bibi susu Abu Salamah.

Jelas bukan, Sobat Tashfiyah? Bila wanita muslimah harus menutupi tubuhnya agar tidak terlihat oleh laki-laki non mahram, maka berbeda halnya jika berada di hadapan laki-laki mahramnya. Ia diperbolehkan untuk tidak berhijab secara lengkap di hadapan mereka.

***

Bukan hanya boleh! Seorang istri diwajibkan untuk berhias dan tampil menarik di hadapan sang suami. Itulah salah satu tugas pokok dan area juangnya. Menjadi seorang istri yang selalu menyenangkan jika dipandang. Oleh sebab itu, seorang wanita mestinya belajar berhias dan merias diri sebelum ia melangsungkan pernikahan.
Berhias secantik-cantiknya akan membuat suami selalu ridha. Bukankah itu yang dicari oleh wanita pendamba surga? Jika anda, wahai saudariku, ingin berhias dan tampil menawan, tungggulah pada saatnya anda telah resmi menjadi seorang istri. Apalagi bila sang suami mendukung dan membantu anda untuk tampil berhias. Masya Allah!
Istri boleh menggunakan pakaian tipis, menerawang, pendek dan sempit di hadapan suami. Sebab, tidak ada batasan aurat antara suami dan istri. Ibunda Aisyah pernah bertutur untuk kita dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari (250) dan Muslim (321).

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ قَدَحٍ

“Dulu, aku dan Rasulullah mandi bareng dari satu bejana”
Walaupun sejumlah ulama melarang suami istri untuk melihat aurat pasangannya, namun pendapat yang benar adalah bolehnya. Mengapa mereka melarang? Berdasarkan sebuah riwayat yang ternyata dihukumi palsu oleh ulama ahli hadits. Riwayat tersebut menyebutkan bahwa memandang kemaluan istri akan mengakibatkan kebutaan.

Selain palsu, riwayat tersebut bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud (3501) dan dihasankan oleh Al Albani. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;

اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ

“Jagalah auratmu! Kecuali dari istri dan budak milikmu!”

***

Maka, kata siapa Islam melarang wanita untuk berhias? Kata siapa, Islam menghalangi kaum wanita untuk tampil cantik dan menawan? Kata siapa pula, Islam mempersempit ruang gerak wanita dalam berdandan?

Selama tidak menyerupai wanita kafir, tidak menyerupai kaum pria juga tidak berlebihan, seorang wanita muslimah diperbolehkan untuk berdandan. Mandi dengan seluruh alat yang ada. Berhias dengan alat kosmetik dan kecantikan. Menggunakan pakaian yang terindah. Memakai perhiasan dan pelengkap kecantikan lainnya.

Bagaimana pun juga, Islam sangat mengerti tentang wanita. Wanita yang sudah fitrahnya senang berdandan dan berhias. Akan tetapi, demi menjaga dan melindungi kaum wanita, Islam pun mengatur serta menetapkan batasan-batasannya. Walaupun, perhiasan terindah seorang wanita muslimah adalah akhlak yang mulia. Semoga Allah membimbing menuju jalan yang terbaik. Amin.

[Al Ustadz Mukhtar bin Rifai]

Sumber Tulisan:
Wanita Makhluk Berhias