Tashfiyah
Tashfiyah

wali songo

7 tahun yang lalu
baca 3 menit
Wali Songo

oleh Ustadz Zubair

Walisongo dipercaya sebagai pembawa Islam di tanah air terkhusus di Pulau Jawa. Walisongo artinya wali yang berjumlah sembilan orang. Kata ‘wali’ sendiri adalah kosakata yang berasal dari bahasa Arab, arti yang diinginkan di sini adalah orang yang dicintai Allah. Sedangkan kata ‘songo’ berasal dari bahasa jawa yang artinya sembilan.
Sejarah walisongo lebih banyak dituturkan dari mulut ke mulut daripada terbukukan secara ilmiah dalam lembaran-lembaran sejarah. Meskipun saat ini banyak buku yang dijual yang menceritakan tentang kisah-kisah dan ajaran mereka, namun mayoritasnya tidak mencantumkan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa pihak mengklaim menemukan dokumen-dokumen kuno sebagai bukti otentik kiprah walisongo dalam penyebaran Islam di Jawa. Namun sayang dokumen-dokumen itu kini beritanya berada di perpustakaan milik negara di seberang lautan.

Namun demikian, jika kita ingin menampik kebenaran keberadaan mereka pun tampaknya harus menyiapkan argumentasi yang lengkap. Karena bagaimana pun bekas-bekas keberadaan walisongo ini begitu masyhurnya di tanah Jawa. Bahkan nama-nama mereka pun diabadikan menjadi nama-nama universitas-universitas Islam negeri di Jawa. Makam-makam mereka dimakmurkan dan diziarahi sepanjang tahun. Kebanyakan para pengagum dan pengingkutnya sampai sekarang mayoritasnya memperlakukan mereka secara berlebihan.

Jika kita membaca sejarah mereka dari tulisan-tulisan pemerhatinya, ada satu nama anggota walisongo yang dipandang paling sukses dakwahnya di Jawa, terkhusus di Jawa Tengah. Dia adalah Sunan Kalijogo, sebuah gelar sebenarnya. Konon nama aslinya adalah Raden Said. Sunan Kalijogo dianggap tokoh yang paling berhasil meng-akulturasi-kan Islam dengan budaya Jawa. Tradisi-tradisi Jawa yang notabene berasal dari Hindu dipoles dengan warna-warna Islam.

Beberapa contoh akulturasi yang dianggap merupakan buah dakwah Sunan Kalijogo adalah seperti berbagai jenis upacara ritual ‘selametan’ -yang asalnya adalah budaya animisme-dinamisme- hinduisme- kemudian dihiasi dengan ‘warna Islam’ seperti dengan tilawah Al Quran dan shalawat kepada Nabi n. Dalam bidang pemerintahan, bahkan dulu ‘Madzhab Sunan Kalijogo’ menjadi madzhab resmi Kerajaan Mataram Islam Yogyakarta. Upacara sekatenan yang sampai sekarang masih dilakukan di sana dikukuhkan sebagai simbol akulturasi. Konon acara ini dulu digunakan Raja untuk mengajak rakyatnya masuk Islam. Kata sekatenan sendiri dijelaskan oleh kerajaan diambil dari kata “syahadatain” (dua kalimat syahadat). Puncak acara ini dilaksanakan pada setiap tanggal 12 Rabiul Awwal yang diklaim sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Pada dasarnya acara ini adalah acara perayaan maulid Nabi n khas keraton Yogyakarta dan Surakarta. Jadilah ia kini sebagai sebuah acara yang tidak lepas dari aroma kesyirikan khas Hindu dan pelanggaran syariat lainnya, namun dihiasi dengan istilah-istilah Islam. Subhanallah.

Padahal Islam datang sudah dalam keadaan sempurna. Menambahi yang sudah sempurna justru membuatnya cacat. Bagi seorang muslim, yang benar seharusnya ia mengikuti tradisi Islam (mengikuti Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) bukan menjadi pengikut ‘Islam Tradisi’.
Wallahu a’lam bi shawab.

Sumber Tulisan:
Wali Songo