Di masa dahulu hiduplah kaum Madyan. Kaum Madyan adalah suatu kaum yang hidup bergelimangan dosa dan kemaksiatan. Sehari-harinya, yang mereka sembah adalah sesembahan-sesembahan selain Allah. Dalam berjual beli, maka mereka adalah kaum yang dikenal curang dalam menakar dan menimbang. Untuk memperbaiki kehidupan mereka yang buruk inilah Allah mengutus Nabi-Nya Syu’aib. Maka beliau pun mulai mengajak dan mendakwahi kaumnya.
Tentunya berbagai seruan dakwah pun beliau sampaikan dengan sejelas-jelasnya kepada kaumnya. Dengan penuh harapan besar agar kaumnya mau mengikuti beliau dan meninggalkan segala perbuatan bodoh dan zalim yang selalu mereka lakukan. Hanya saja, walaupun ajakan dan seruan beliau telah beliau lakukan, ternyata sama saja, mereka masih saja enggan mengikuti beliau dan tetap bersikukuh melakukan apa yang biasa mereka lakukan. Lebih dari itu, kalimat–kalimat penghinaan, intimidasi dan provokatif pun mereka arahkan kepada Nabi Syuaib. Akan tetapi, subhanallah, tidaklah beliau mendapati perlawanan dan pembangkangan yang dilakukan kaumnya, melainkan justru membuat beliau semakin tegar dan sabar dalam menjalani apa yang telah menjadi tugasnya.
Di antara kalimat mutiara yang terucap dari beliau ketika menghadapi tantangan dakwah kaumnya ialah apa yang Allah sampaikan, bahwa Nabi Syu’aib q berkata kepada kaumnya yang artinya, “Dan aku tidak ingin untuk menyelisihi apa yang telah aku larang kalian untuk melakukannya.” [Q.S. Hud:88] Yakni, aku tidak akan mengikuti kemauan kalian untuk melakukan apa yang kalian lakukan. Padahal, aku telah melarang kalian melakukan apa yang kalian lakukan. Apa yang aku sampaikan tak mungkin kuselisihi.
Inilah sepenggal kalimat mutiara yang terucap dari lisan Nabi Syu’aib. Dari ucapan beliau ini dapat kita ambil faedah:
Pertama, kalimat yang beliau ucapkan ini menggambarkan dan mengungkapkan kepada kita mengenai keteguhan dan kekokohan prinsip Nabi Syu’aib q di dalam menjalankan misi dakwahnya.
Bagaimana pun bentuk ancaman, intimidasi, dan cercaan yang terus membayangi beliau, maka beliau tetap tidak mau menuruti kaumnya untuk meninggalkan medan dakwah yang menjadi tanggung jawabnya. Ya, inilah yang semestinya selalu dilakukan oleh setiap pendakwah, selalu tegar melantangkan kebenaran sebagai sesuatu hak yang harus diikuti. Menyiarkan yang batil sebagai sesuatu yang batil dan harus ditinggalkan. Ia harus konsisten dengan prinsipnya tersebut dan sama sekali tidak akan berubah haluan. Tidak memilih dunia yang ditawarkan kepadanya dan rela meninggalkan jalur benar yang sedang ia ikuti.
Seorang pendakwah hendaknya benar-benar ikhlas di dalam dakwahnya. Ketika ia berdakwah, tiada lain yang ia cari ialah keridhaan dan pahala dari Allah, bukan keridhaan dan upah dari manusia. Sehingga, ketika ia menyampaikan materi dakwahnya, maka ia selalu berusaha mencari ridha Allah dalam penyampaiannya. Ia tidak pernah menyembunyikan ilmu, berfatwa tanpa ilmu, bermuka dua di dalam berdakwah, menerima pesanan materi dakwah yang memiliki tendensi tertentu, menjadi setan yang bisu dengan mendiamkan kemungkaran yang ia sebenarnya mampu mengingkarinya, dan yang semisal dengannya. Ia lebih memilih keridhaan Allah walau mungkin membuat manusia marah kepadanya. Ia lebih takut akan kemarahan Allah dan menganggap enteng kemarahan manusia.
Selama yang ia amalkan itu merupakan petunjuk dan bimbingan dari Allah dan Rasul-Nya, ia pun melaksanakannya. Rasulullah n bersabda:
“Barang siapa yang mencari keridhaan Allah yang membuat manusia murka kepadanya, maka Allah akan ridha kepadanya dan akan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan membuat Allah murka, maka Allah pun murka kepadanya dan menjadikan manusia pun memurkainya” [H.R. Ibnu Hibban dari sahabat ‘Aisyah dengan sanad yang shahih. Lihat Shahih Targhib; 2250]
Kedua, Ucapan Nabiyullah Syu’aib q ini pun memberikan faedah kepada kita mengenai pentingnya kejujuran dalam berdakwah. Seorang pendakwah dituntut selalu jujur dalam dakwahnya. Maksudnya jujur, dia selalu sesuai keadaan lahir maupun batinnya. Sama antara apa yang dia dakwahkan dengan apa yang ia lakukan. Ia selalu terdepan dalam melakukan makruf yang ia perintahkan dan meninggalkan mungkar yang ia larang. Dengan kata lain, seorang pendakwah harus benar-benar menjadi teladan yang baik bagi manusia, baik dalam ucapannya ataupun dalam tindakannya. Ucapan dan tindakannya selalu sesuai dan tidak pernah berlawanan.
Lain halnya jika memang ia belum bisa untuk melakukannya karena alasan yang dibenarkan, maka tidak masalah ia belum melakukannya walaupun dia tetap harus bertekad untuk melakukannya kala ia diberi kemampuan oleh Allah. Selanjutnya, ketika ia melarang manusia untuk melakukan suatu hal, maka ia pun harus menjadi yang terdepan di dalam meninggalkan apa yang ia larang tersebut.
Seorang pendakwah seyogianya selain berdakwah dengan lisannya, ia juga berdakwah dengan amalannya. Ketahuilah, sesungguhnya manusia bertabiat tidak mau menerima ucapan orang yang tidak mempraktikkan apa yang ia ucapkan. Sebaliknya, betapa banyak manusia yang mampu mendapatkan faedah dan pelajaran berharga dari melihat amalan orang-orang saleh walaupun mereka tidak pernah mengajak dan memerintahkan secara langsung.
Intinya, manusia lebih memerhatikan apa yang diamalkan oleh seseorang ketimbang apa yang ia sampaikan.
Seorang pendakwah yang ucapannya tidak selaras dengan apa yang ia lakukan, manusia pun enggan mengikutinya. Lebih dari itu, mereka justru akan menghinakan dan merendahkannya. Mereka juga menjadikan kesalahan dai tersebut sebagai argumen untuk tidak melakukan kebaikan yang ia ketahui. Jikalau ia dituntut untuk melakukannya, maka ia beralasan, “Dia saja tidak mengamalkannya”
Subhanallah, intinya, hendaknya dai benar-benar memerhatikan segala tindak-tanduknya. Ia adalah seorang yang akan selalu disorot dan diawasi oleh manusia. Jika ia menampakkan kebaikan dalam ucapan dan perbuatannya, selalu mengedepankan akhlak mulia di dalam segala sisi kehidupannya, maka manusia akan semakin menghormatinya dan mereka pun perlahan akan mengikutinya. Minimalnya, mereka tidak mendapatkan celah untuk merendahkannya. Persis seperti apa yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad n. Coba perhatikan, ketika kaum Quraisy berkumpul untuk mencari julukan yang tepat untuk Nabi Muhammad, ternyata mereka kesulitan untuk mencapatkan julukan yang tepat untuk beliau. Dikarenakan mereka sendiri mengakui keluhuran akhlak dan perilaku yang beliau miliki.
Seseorang yang tidak mengamalkan apa yang dia perintahkan dan tidak menjauhi yang ia larang, maka ia telah terjatuh dalam perbuatan dosa yang sangat besar. Allah l sangat murka kepada-Nya.
Allah berfirman yang artinya, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian amalkan. Sungguh teramat besar kemurkaan Allah jika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian amalkan” [Q.S. Ash Shaff: 2-3]
Rasulullah n juga bersabda:
“Akan didatangkan di hari kiamat nanti, seseorang yang lantas dilemparkan ke dalam neraka. Maka usus-ususnya pun terburai. Lalu dia berputar-putar membawanya laksana seekor keledai yang berputar-putar pada tempat penggilingannya. Maka penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka menanyakan, ‘Wahai fulan, bagaimana kamu bisa begini?! Bukankah dahulu di dunia kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?!’Maka ia pun menjawab, ‘Dahulu aku memang memerintahkan kalian untuk melakukan kebaikan tetapi aku sendiri malah tidak melakukannya. Aku pun dulu melarang kalian dari keburukan tetapi aku justru melakukannya” [Muttafaqun ‘alaihi dari sahabat Usamah bin Zaid]
Inilah ayat dan hadis yang menunjukkan kepada kita ngerinya perbuatan ini. Maka satu hal yang wajib dijadikan pegangan oleh setiap muslim, ialah untuk selalu memiliki kebulatan tekad untuk bisa mengamalkan kebaikan apa pun yang ia ketahui dan meninggalkan segala keburukan apa yang ia ketahui.
Maka kita selalu memohon kepada Allah agar Ia selalu membantu kita untuk bisa terus ikhlas dalam menyerukan syiar-Nya dan bersabar dalam menerjang setiap aral yang menghantam di dalam menelusuri jalan-jalan menuju keridhaan-Nya. Wallahu a’lam.
[Ustadz Abu Ruhmaa Sufyan Alwi al Banjary]