“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Allah mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.”
[Q.S. Al Alaq: 4-5].
Dua di antara lima ayat mulia yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di Gua Hira’. Lima ayat yang mengandung perintah pembelajaran. Allah subhanahu wata’ala lah yang memberikan pembelajaran kepada manusia secara hakiki. Karena Allah Maha Dermawanan, Allah subhanahu wata’ala mencipta manusia, kemudian melengkapinya dengan berbagai perangkat pembelajaran. Allah subhanahu wata’ala dukung pula dengan mempermudah sarana belajar.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsir beliau menerangkan bahwa yang nampak dari makna Al Qalam adalah jenis pena yang digunakan untuk menulis. Seperti firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Alaq ayat 4 dan 5. Di awal surat Al Qalam, Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan pena. Ini sebagai penegasan bagi manusia atas besarnya nikmat Allah subhanahu wata’ala berupa pembelajaran menulis kepada mereka. Dengan menulis, akan dikuasailah berbagai cabang ilmu.
Sementara, dalam tafsir surat Ali Imran ayat 48, Asy Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan firman Allah subhanahu wata’ala yang artinya, “Dan Allah mengajarkan menulis kepada Isa”, karena menulis termasuk nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada hamba yang terbesar. Oleh sebab itu, Allah subhanahu wata’ala menganugerahkan pengajaran dengan pena kepada mereka seperti pada awal surat Al ‘Alaq.
Qatadah bin Di’amah As Sadusi rahimahullah, murid sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, menafsirkan empat ayat pertama dalam surat Al Alaq bahwa pena adalah nikmat Allah yang agung. Seandainya tanpa ada pena, kehidupan manusia tidak akan tegak dan baik. [Tafsir Ath Thabari].
Mempertegas makna tafsir para ulama di atas, Imam Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena.” Yaitu tulisan dan penulisan. Allah subhanahu wata’ala mengajarkan tulisan kepada manusia dengan pena. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Qatadah rahimahullah di atas. Ini menunjukkan kesempurnaan kedermawanan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala mengajarkan kepada hamba-Nya apa yang tidak mereka ketahui, mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan kepada cahaya ilmu. Allah k pun mengingatkan keutamaan ilmu menulis. Berbagai keutamaannya yang besar, tidak ada yang mengetahui semua keutamaan itu kecuali Allah subhanahu wata’ala. Tidaklah disalin berbagai disiplin ilmu, ditetapkan hukum-hukum, dibukukan berita orang terdahulu dan berbagai pernyataan mereka, dijaga pula kitab-kitab Allah subhanahu wata’ala yang diturunkan kecuali dengan tulisan. Seandainya tanpa penulisan, tidak akan tegak perkara agama dan dunia.
Wujud Nyata Syukur Nikmat
Pembaca, bisa dibayangkan apabila tidak ada tulisan. Atau kita tidak mengenal tulis menulis. Tentu akan sangat menghambat kehidupan kita, apalagi di zaman ini. Cobalah kita tidak menyentuh HP sehari saja. Pastinya rasa berat, tidak tahan ingin segera membaca dan membalas pesan-pesan yang masuk. Baik pesan dari teman bisnis, atau agenda kegiatan dalam grup, atau sekadar membaca informasi faedah ilmu. Sungguh menulis adalah nikmat yang sangat besar. Kita pun hampir tidak lepas dari aktivitas ini dalam keseharian kita.
Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mensyukuri nikmat yang besar ini. Semua mengerucut pada pemanfaatan kemampuan menulis beserta semua sarananya dalam kebaikan, untuk mendukung peribadahan kepada Allah subhanahu wata’ala. Alhamdulillah, dengan menuliskan salam melalui WhatsApp, bertanya tentang kabar berita kerabat di luar kota sudah termasuk silaturahmi. Semoga dengan selingan nasihat singkat, mencuplik ayat atau hadis, atau penjelasan para ulama termasuk dalam dakwah yang berpahala.
Fasilitas grup dalam medsos seperti WhatsApp juga bisa menjadi media dakwah, tukar faedah, saling menasihati, bisa juga menjadi alternatif rapat koordinasi. Peluang bisnis online semakin terbuka lebar dengan menjamurnya berbagai medsos. Semua itu tidak lepas dari tulis menulis. Dengan niat yang tulus, insya Allah, semua akan bernilai ibadah. Karena ibadah wilayahnya sangat luas. Mencakup segala yang dicintai dan diridai oleh Allah subhanahu wata’ala baik perkataan maupun perbuatan yang lahir atau batin. Tidak dibatasi tempat dan waktu.
Di antara bentuk syukur nikmat tulisan adalah tidak menulis kecuali kebaikan. Sebagaimana kewajiban menjaga lisan, lebih baik diam daripada bicara yang tidak baik, demikian pula menulis. Lebih baik diam daripada menulis yang tidak baik. Apalagi pengaruh tulisan bisa jadi lebih luas daripada ucapan. Karena tulisan bisa dikirim dan dibaca siapa saja. Memang ucapan pun bisa dikirim dalam bentuk rekaman, namun itu relatif sedikit dibandingkan tulisan. Maka menulis harus ekstrahati-hati. Tulislah hal yang bermanfaat bagi agama dan dunia orang lain. Simaklah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berikut:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” [H.R. Ahmad dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih At Targhib]. Alhamdulillah, sarana berbagi manfaat saat ini sangat mendukung.
Dengan menulis faedah keagamaan, kita dapat memperoleh pahala yang besar. Perhatikanlah pula hadis berikut:
“Barang siapa memberi petunjuk pada orang lain, maka dia mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang melakukannya.” [H.R. Muslim dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu]. Kemudian berbahagialah dengan janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau:
“Seandainya Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan unta merah.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiyallahu ‘anhu]. Unta merah adalah harta paling mewah di kalangan Arab waktu itu. Maksudnya adalah janji besar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa pahala yang besar.
Lihatlah para pembaca, bayangkan seandainya tulisan kita dalam grup WhatsApp, atau di mana saja dibaca oleh sepuluh orang, kemudian mereka mengimani, selanjutnya mengamalkannya. Berapakah pahala yang akan didapat? Belum lagi apabila pembaca pertama tersebut mengirim tulisan kita ke grup lain. Lalu dibaca, diimani, diamalkan, diajarkan kepada anak serta keluarganya dan seterusnya. Subhanallah, akan berlipat berapa pahala kita? Hanya Allah subhanahu wata’ala Yang Mahaluas karunia-Nya yang mengetahuinya.
Pembaca, dalam berkomunikasi dengan tulisan melalui media sosial, perkara penting yang tidak boleh dikesampingkan adalah memerhatikan bahasa tulisan. Tulisan sering terkesan ambigu atau multi tafsir. Bisa dimaknai ini dan itu. Maksud penulisnya baik, namun kadang dipahami lain oleh penerima pesan. Yang seperti ini sering memicu hal kurang baik dalam hubungan pertemanan. Inilah kelemahan bahasa tulisan. Berbeda dengan dialog secara langsung yang diselingi tawa, bahkan intonasi penekanan suara dan mimik wajah pun akan memberi kesan dalam tatap muka. Sehingga hal ini harus dipahami oleh pihak yang terlibat chatting. Penulis dan pembacanya. Menulis dengan setepat mungkin, si pembaca juga harus memahami dengan baik. Masing-masing mengedepankan prasangka yang baik. Memang saling memahami dan mengalah sangat dibutuhkan dalam berinteraksi dan komunikasi antar sesama di mana pun dan kapan pun.
Sebagian orang bermudah-mudahan dalam menampilkan gambar atau simbol dalam pesan mereka. Gambar emoticon, gambar makhluk bernyawa, simbol-simbol orang fasik seperti love, bibir merah, dan semisalnya, lambang kekafiran berupa salib, bintang David, stupa, dan semacamnya harus dihindari. Ada juga gambar daun ganja, botol bir, dan yang serupa tidak layak tampil menghiasi tulisan seorang muslim. Jangan sampai tanpa sengaja kita terlibat dalam propaganda mereka, menyemarakkan simbol-simbol kefasikan dan kekafiran. Na’udzubillah min dzalik. Sebagaimana menghindari debat kusir, juga chattingan dengan wanita yang bukan mahram, dan siapa saja yang memungkinkan menimbulkan kejelekan.
Semoga dengan santun dalam menulis, memperhatikan adab islami, akan lebih maksimal dalam memberikan kemanfaatan kepada orang lain. Sekaligus menjadi wujud syukur kita terhadap nikmat tulisan.
Tentu semuanya secara proporsional, sekadarnya, jangan menulis melulu hingga lupa waktu, atau kewajiban lain yang lebih penting. Apalagi dalam konteks ramah-tamah atau perbincangan ringan, jangan sampai menjadi terlena sehingga terjatuh dalam hal sia-sia. Ibnul Qayyim rahimahullah menasihatkan dalam kitab beliau Al Jawabul Kafiy, bahwa waktu adalah umur seseorang. Sebagai modal dasar kehidupan kekal abadi dalam kenikmatan yang kekal, atau kehidupan sempit dalam azab yang dahsyat. Waktu berlalu sangat cepat layaknya awan berarak melintas. Sehingga, selama waktumu untuk Allah, karena Allah, maka itulah kehidupan dan umurmu yang sebenarnya. Adapun selain itu, maka tidak terhitung dalam kehidupanmu. Hidup seperti itu layaknya kehidupan binatang. Ketika seseorang menghabiskan waktunya dalam kelalaian, pelampiasan nafsu, angan-angan batil, paling mendingnya ia habiskan saat tidur dan menganggur, maka mati lebih baik daripada hidup baginya.
Sebelum itu semua, di antara bentuk syukur terhadap nikmat tulis menulis, di samping memanfaatkan dalam wujud ibadah, juga keyakinan kuat dalam qalbu bahwa nikmat itu murni dari Allah subhanahu wata’ala, kemudian lisan dengan tulus memuji-Nya. Segala puja-puji milik Allah subhanahu wata’ala yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada hamba-Nya.
[Ustadz Farhan]