Tashfiyah
Tashfiyah

tradisi yang baik sejalan dengan syariat islam

7 tahun yang lalu
baca 8 menit
Tradisi Yang Baik Sejalan Dengan Syariat Islam

Orang Arab terkenal sangat menghormati tamu. Sejak zaman jahiliah, sifat ini sudah ada pada mereka. Mereka sangat bangga dengan hal tersebut. Konon, mereka senang kalau diri mereka digambarkan, ‘dapurnya tidak pernah berhenti mengepul karena banyaknya tamu.’

Lalu, Islam pun datang dibawa oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Tradisi ini tetap dijaga. Bukan cuma dijaga, bahkan lebih dimotivasi dan dianjurkan. Tak hanya sekali dua kali, beliau berpesan:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia muliakan tamunya.” [H.R. Al Bukhari, Muslim, dan imam lainnya, dari sahabat Abu Hurairah, Abdullah bin Amr, Aisyah, Fathimah, Abdullah bin Salam, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Syuraih, dan sahabat dari Mazinah g]

Banyaknya sahabat dan redaksi riwayat hadis ini menunjukkan bahwa beliau mengucapkannya tidak hanya sekali atau dua kali. Ini menunjukkan bahwa beliau mengulang-ulang pesan ini.

Perhatikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan tradisi ini bagian dari iman. Siapa yang tidak memiliki sifat tersebut, imannya tidak sempurna. Jadi, tradisi yang baik, kenapa tidak?

—- oOo —–

Sejak zaman jahiliah, sifat amanah merupakan sifat yang terpandang. Ketika itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam belum diutus sebagai nabi. Usia beliau baru menginjak 35 tahun. Quraisy merenovasi Ka’bah yang rusak terkena banjir. Namun, ketika peletakan Hajar Aswad, mereka pun berselisih siapa yang berhak untuk mengangkatnya ke tempatnya karena itu merupakan kehormatan. Akhirnya, mereka sepakat untuk meletakkan keputusan kepada orang yang pertama masuk Ka’bah. Ternyata, orang yang masuk pertama itu adalah Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat mereka melihatnya, mereka pun mengatakan, “Dia adalah orang yang menjaga amanah, kami rela untuk berhukum kepadanya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan untuk meletakkan Hajar Aswad pada sebuah baju, kemudian masing-masing kabilah memegang pojok baju tersebut lalu mereka angkat bersama-sama. Amanah, sebuah nilai yang semenjak dahulu dijunjung tinggi oleh manusia.

Beberapa tahun setelahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus membawa risalah Islam yang mulia ini. Nilai yang tinggi ini terus dipupuk dan dimotivasi kepada para pemeluknya. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam sebuah ayat-Nya yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menunaikan amanat pada yang berhak, dan (menyuruh kalian) apabila menghukumi di antara manusia supaya kalian memutuskan dengan adil.” [Q.S. An-Nisa:58]

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun juga mewasiatkan:

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah hak orang yang memberikan amanah kepadamu dan janganlah engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” [H.R. Abu Dawud, At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani t].

Beliau juga menjadikan khianat, lawan amanah, sebagai salah satu ciri kemunafikan yang tidak boleh ada pada seorang mukmin. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda seorang munafik ada tiga: jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika diamanahi berkhianat.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Ya, amanah adalah sebuah nilai yang selalu dijunjung tinggi pada setiap tradisi. Jadi, tradisi yang baik, kenapa tidak?

—– oOo ——

Islam bukanlah agama yang anti dan benci terhadap tradisi. Hanya saja, risalah Islam adalah risalah yang sempurna. Segala yang diperintahkan di dalam Islam hanya ada dua kemungkinan: mengandung maslahat murni atau maslahatnya yang lebih kuat daripada mudaratnya. Demikian pula, segala yang dilarang di dalam Islam berkisar antara dua hal: perkara itu mengandung mudarat murni atau mudarat yang lebih kuat daripada maslahatnya.

Contoh perintah yang mengandung masalahat murni, misalnya berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturahmi. Tidak ada mudarat di balik itu semua.

Contoh perintah yang mengandung maslahat lebih kuat adalah perintah untuk wajib berpuasa di bulan Ramadan. Ibadah ini memiliki mudarat, tubuh menjadi lemas, aktivitas menjadi tidak seperti biasanya, dan sebagainya.

Namun, maslahat yang dikandung jauh lebih banyak. Sebutlah, melatih kepekaan sosial terhadap sesama, menempa pribadi yang bertakwa, dan lain sebagainya dari maslahat-maslahat yang tinggi.

Contoh larangan pada perkara yang mengandung mudarat murni, misalnya larangan durhaka kepada orang tua dan memutus silaturahmi. Sedangkan contoh larangan pada perkara yang mengandung mudarat yang lebih kuat adalah larangan meminum minuman keras. Maslahatnya adalah menikmati minuman tersebut dan menghangatkan badan. Sedang mudaratnya kehilangan akal, terjadi berbagai tindakan tanpa pertimbangan, dan sebagainya.

Nah, inilah syariat kita yang mulia. Makanya, tradisi pun juga memakai timbangan yang sama. Jika tradisi itu memiliki maslahat yang murni, tradisi itu perlu dilestarikan. Namun jika tradisi itu memiliki maslahat yang bercampur dengan mudarat, maka harus dirinci dan dipilah mana yang boleh dan mana yang tidak. Dalam hal ini, syariatlah yang menjadi hakim, mana tradisi yang boleh, mana yang tidak.


Nah, inilah syariat kita yang mulia. Makanya, tradisi pun juga memakai timbangan yang sama. Jika tradisi itu memiliki maslahat yang murni, tradisi itu perlu dilestarikan. Namun jika tradisi itu memiliki maslahat yang bercampur dengan mudarat, maka harus dirinci dan dipilah mana yang boleh dan mana yang tidak. Dalam hal ini, syariatlah yang menjadi hakim, mana tradisi yang boleh, mana yang tidak.


Adat dalam Timbangan Syariat

Jadi, tradisi di dalam timbangan Islam bisa dibagi menjadi dua bagian:

Pertama, tradisi yang diperbolehkan (Al ‘Urf Ash Shahih). Yakni, adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nash Al Quran dan sunnah, tidak menghilangkan maslahat, dan tidak menyebabkan mudarat yang lebih kuat.
Contoh tradisi yang pertama ini adalah penggunaan uang kartal, yakni uang logam dan kertas yang beredar di masyarakat dan memiliki nilai tertentu. Contoh lainnya adalah penggunaan isyarat dan tanda lalu lintas. Misalnya pula, ucapan sapaan di suatu tempat yang digunakan bersama –yakni bukan sebagai pengganti- salam (misalnya kata ‘punteun’ dalam adat Sunda, kata ‘nyuwun sewu’ dalam adat Jawa, dan kata ‘horas’ dalam adat Batak). Ini semuanya adalah sebuah tradisi di masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Kedua, tradisi yang tidak diperbolehkan (Al ‘Urf Al Fasid). Yakni, adat istiadat yang bertentangan dengan Al Quran dan sunnah, menghilangkan maslahat, atau menyebabkan mudarat yang lebih kuat.

Contoh dari tradisi ini adalah ritual larung sesaji dan tolak bala. Pada kedua adat ini, biasanya diadakan penyembelihan hewan kurban. Bisa berupa sapi, wedhus (kambing) ‘kendhit’, kerbau, dan lain sebagainya. Tradisi ini adalah tradisi yang tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan dalil dari Al Quran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ

“Allah melaknat orang yang mencerca orang tuanya. Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang melindungi penjahat. Allah juga melaknat orang yang mengubah patok tanah.” [H.R. Muslim]

Haramnya menyembelih sesaji ini dikarenakan menyembelih kurban adalah ibadah. Ibadah tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Apa pun bentuk yang dikorbankan. Bahkan menyembelih lalat sekalipun, jika untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, hukumnya haram. Simaklah ucapan Salman Al Farisi z berikut ini, “Ada orang masuk surga karena lalat, ada juga yang masuk neraka karena lalat. Dahulu, ada dua orang muslim yang melewati suatu kaum yang menyembah berhala. Kaum tersebut tidak memperbolehkan seorang pun untuk lewat sampai memberi suatu sesaji untuk patung itu. Mereka pun mengatakan kepada salah seorang asing itu, ‘Kurbankanlah sesaji!’
‘Aku tidak memiliki apa pun,’ katanya.
‘Berkurbanlah, meski hanya dengan lalat!’ kata mereka. Maka, orang yang pertama mempersembahkan kurban berupa lalat. Lantas, mereka mempersilakannya, dia pun masuk neraka.
Mereka mengucapkan kepada yang satunya, ‘Berilah persembahan, walau dengan lalat!’
‘Aku tidak akan memberikan persembahan apa pun kepada selain Allah k,’ katanya. Maka, mereka pun memenggal kepalanya, akhirnya masuklah ia ke dalam surga.” [diriwayatkan secara mauquf kepada Salman z oleh Imam Ahmad di dalam Az Zuhd]

Contoh tradisi fasid lainnya adalah kebiasaan bertransaksi dengan cara riba, sama saja dinamakan dengan istilah bunga, faidah, bagi hasil, atau yang lainnya.

Contoh lain, tradisi ‘jamasan’, yakni mencuci benda-benda dengan tujuan mengeramatkannya. Dalam ritual ini, minimalnya ada dua penyelisihan syariat. Pertama, pengeramatan semacam ini akan menyebabkan orang menjadi menggantungkan kalbunya kepada benda yang dikeramatkan. Hal ini tidak diperbolehkan tentunya, karena menghilangkan sikap tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala . Kedua, orang yang menghadiri acara ini biasanya memperebutkan air sisa jamasan untuk ber-tabarruk atau ngalap berkah. Mereka meyakini air bekas ini bisa mendatangkan manfaat (misalnya membuat sehat dan menarik rezeki) atau menolak mudarat (misalnya menolak sial).

Inilah beberapa hal terkait dengan tradisi. Satu yang perlu kita garis bawahi, tidak semua tradisi bisa berpadu dengan Islam. Maka, saat terjadi kontradiksi antara tradisi dengan syariat, tentu kita mengedepankan syariat. Karena syariat turun dari Allah subhanahu wata’ala, sedangkan tradisi merupakan hasil olah dari akal manusia. Syariat dari Allah subhanahu wata’ala tentu pedoman yang paling sempurna karena itu merupakan wujud kasih sayang Allah subhanahu wata’ala kepada manusia dilandasi ilmu-Nya yang sempurna. Berbeda dengan tradisi yang bersumber dari manusia yang serbaterbatas dalam berbagai bidang.

Allahu a’lam bish shawab. [Abu Yusuf Abdurrahman]