Tashfiyah
Tashfiyah

syak dan wasangka

8 tahun yang lalu
baca 6 menit

“Dua tahun telah berlalu, semenjak aku beranikan diri untuk mencari pasangan hidup. Entah apa saja yang aku telah usahakan, banyak yang telah aku lupakan. Dalam kurun waktu itu, Allah tak jua mengaruniakanku pendamping hidup. Padahal tak bosan-bosan ku panjatkan doa kepada-Nya berharap agar Ia berkenan mengabulkan doaku. Terbesit sebuah syak dan sangkaan yang bukan- bukan kepada Allah, kenapa Ia tak jua mengabulkannya. Justru menjadikanku semakin bertambah bingung dan sedih. Yaa Allah jangan kau biarkan diriku berprasangka jelek kepada-Mu..”

1Sobat muda, seringkali kita terbentur dengan sebuah masalah saat menjalani kehidupan. Dengan sekuat usaha dan upaya kita cari solusi dan jalan keluar dalam mengatasinya. Namun, ternyata usaha kita dan upaya kita tak membuahkan hasil bahkan justru semakin membuat runyam permasalahan. Kitapun kecewa dan bersedih, lalu terseretlah kita dalam prasangka yang jelek kepada Allah. Kenapa yaa Allah takdirkan aku seperti ini, apa sih salah dan dosaku, kenapa Allah hinakan aku, dan berbagai keluh kesah muncul sebagai ekspresi kekecewaan dan ketidakterimaan dengan takdir-Nya.

Memang, demikianlah sifat manusia yang sering dan banyak berkeluh kesah. Hal ini sebagaimana yang Allah gambarkan dalam firman-Nya :

“Adapun manusia, apabila Allah uji mereka dengan kemuliaan dan kenikmatan, mereka mengatakan Rab ku telah memuliakanku. Adapun apabila (Allah) uji mereka dengan kekurangan rizki, merekapun mengatakan Allah telah menghinakanku” [Q.S. Al Fajr : 15-16]

Sobat muda, merasa sedih saat keinginan yang ingin kita capai tak terlaksana tentu dalam batas wajar selama tidak menyeret pada perkara yang Allah haramkan. Hanya saja, banyak diantara kita yang justru terjerumus dalam perkara yang diharamkan saat tertimpa masalah. Cobalah kita tengok dalam kenyataan sehari-hari, banyak bukan diantara teman atau kerabat yang berprasangka buruk kepada Allah saat ia diuji dengan kesusahan. Padahal berprasangka buruk kepada-Nya adalah salah satu pintu maksiat yang sangat berbahaya. Sebab hal ini akan menyeret pelakunya untuk tidak terima dengan takdir. Padahal Allah swt berfirman dalam hadits qudsy dari shahabat Abu Hurairah rau

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

 “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku” [H.R. Bukhari dan Muslim].

Kalau kita coba untuk berpikir sebentar saja, kita akan ketahui bahwa prasangka buruk kepada Allah ini justru menjadikan kita mendapat kesusahan dua kali. Kesusahan saat merasakan cobaan dari Allah dan yang kedua adalah kemurkaan-Nya dari hasil berburuk sangka kepada-Nya. Jadi, buruk sangka kepada Allah hakekatnya tak membawa hamba tersebut kepada jalan keluar dari kesusahan bukan? Justru menjadikan dirinya tambah terpuruk di dunia terlebih diakhirat kelak.

Sangkaan baik kepada Allah, pintu kebaikan  yang berharga

Sobat muda, ber”husnudzan” kepada Allah adalah salah satu sifat orang yang beriman. Jika sifat ini tidak dimiliki oleh seorang muslim maka tidak akan sempurna keimanannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud rau pernah mengatakan, “tidak ada kebaikan yang lebih berharga bagi seorang mukmin kecuali berbaik sangka kepada Allah. Demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia, tidaklah seorang hamba berbaik sangka kepada Allah kecuali Dia pasti akan memberikan segala prasangka tersebut. Itu karena segala kebaikan ada ditangan-Nya.”

Bagus bukan kesudahan seorang yang ber”husnudzan” kepada Allah? Tentu kita akan berusaha untuk menjadi seorang muslim yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Cobalah kita belajar berbaik sangka kepada-Nya, bahwa Ia akan senantiasa menghendaki kebaikan buat kita, kita yakin akan pertolongan-Nya kepada kita, akan membimbing, memelihara, memberi rizki dan berbagai sangkaan baik lainnya. An Nawawi dalam kitab syarah Shahih Muslim berkata tentang makna berbaik sangka kepada Allah. Beliau mengatakan: “ Para ulama mengatakan : makna husnudzan kepada Allah adalah yakin bahwa Allah akan merahmatinya dan mengampuninya “. Kemudian beliau mengatakan pula : “Al-Qadhi berkata : mengampuninya jika seorang hamba meminta ampun, menerimanya jika seorang hamba bertaubat, mengabulkannya jika seorang hamba memohon, dan mencukupinya jika seorang hamba meminta”.

Sobat muda, seluruh prasangka baik seorang hamba kepada Allah hakekatnya adalah salah satu hasil dari keimanan hamba kepada Rabnya. Bagaimana tidak, Berhusnudzan merupakan salah satu ibadah hati yang agung, dan merupakan bagian dari konsekuensi tauhid yang paling dalam. Oleh karenanya Rasulullah ` memberikan wejangan kepada umatnya untuk senantiasa berprasangka baik kepada Allah walau sampai di akhir masa hidupnya. Tiga hari sebelum kematian Rasulullah `, beliau menasehati

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah seorang diantara kalian meninggal kecuali dia telah berbaik sangka kepada Allah“ [H.R. Muslim dari shahabat Jabir bin Abdillah rau ]

Nah oleh karena itu, kita tentu berusaha semaksimal mungkin untuk senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Dengan menata hati kita, membiasakannya dan tentu dengan terus berdoa minta pertolongan kepada Allah agar Ia membimbing kita dalam merealisasikannya

Husnudzan vs nifaq dan kerapuhan iman

Sobat muda, telah menjadi sunnatullah bahwa tidak akan bersatu antara berbaik sangka kepada Allah saat ujian melanda dengan sikap kemunafikan. Berbaik sangka kepada Allah hanya akan diperoleh pada kaum mukminin, dan tidak ditemui pada orang-orang munafik. Bagaimana kaum munafik mampu berbaik sangka kepada Allah, disaat dalam keadaan lapangpun mereka adalah kaum yang tidak beriman kepada-Nya. Sehingga saat mereka diuji dengan sesuatu yang susah,  mereka tentu akan berprasangka buruk terhadap Allah.  Lihatlah kisah perang Ahzab yang diabadikan Allah dalam surat Al Ahzab berikut,

إِذْ جَاؤُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتْ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا. هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً شَدِيداً. وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُوراً

“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata :”Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya”. [Q.S. Al Ahzab: 10-12]

Demikianlah sikap kaum munafik saat tertimpa ujian. Tentu kita takut bukan menjadi seperti orang-orang munafik tersebut. Nah sobat muda, barangkali Allah akan menguji hamba-hamba-Nya dengan kesusahan dan kesedihan, dan itu pasti terjadi. Dengan itu akan nampaklah sebesar apa husnudzan masing-masing hamba kepada-Nya. Oleh karena itu sejak saat ini marilah kita membiasakan diri kita untuk senantiasa berprasangka baik kepada Allah. Jadikanlah hal itu sebagai kebiasaan kita dalam menyikapi seluruh takdir Allah kepada kita. Agar kita dapat bersikap dengannya saat ujian-itu benar-benar terjadi. Hanya kepada-Nyalah kita mohon bimbingan dan pertolongan. amin

Sumber Tulisan:
Syak dan Wasangka