Dia adalah Salamah bin Amr bin Al Akwa’. Nama asli Al-Akwa’ adalah Sinan bin Abdillah bin Qasyir bin Khuzaimah bin Malik bin Salaman bin Al Afsha Al Aslami. Para ulama berbeda pendapat tentang kuniah Salamah. Sebagian berpendapat ia adalah Abu Iyyas, yang lain berkata Abu Muslim, atau Abu Amir. Namun yang masyhur adalah Abu Iyyas. Salamah adalah salah seorang pemanah bangsa Arab yang terkemuka, juga terbilang tokoh yang berani, dermawan dan gemar berbuat kebajikan. Ketika ia menyerahkan dirinya menganut agama Islam, diserahkannya secara benar dan sepenuh hati, hingga agama ini pun menempanya menjadi muslim yang tangguh dan kokoh. Ia masuk Islam beserta kaumnya, Bani Aslam. Umurnya saat itu baru sekitar 12 atau 13 tahun.
Salamah bin Akwa’ adalah seorang sahabat Rasul yang tidak pernah berdusta. Ia senantiasa jujur dalam ucapannya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Iyyas putranya sendiri, “Ayahku tak pernah berdusta!” demikian salah satu keutamaan beliau.
Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu termasuk pula tokoh-tokoh Bai’atur Ridwan pada tahun 6 H. Rasulullah n. bersama para sahabat berangkat dari Madinah dengan maksud hendak berziarah ke Ka’bah, tetapi dihalangi oleh orang-orang Quraisy, maka Rasulullah n mengutus Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu untuk menyampaikan kepada mereka bahwa tujuan kunjungan mereka hanyalah untuk berziarah dan sekali-kali bukan untuk berperang. Sementara menunggu kembalinya Utsman, tersiar berita bahwa ia telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu duduk di bawah naungan sebatang pohon menerima bai’at sehidup semati dari sahabatnya seorang demi seorang. Berceritalah Salamah, “Aku mengangkat bai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bawah pohon, dengan pernyataan menyerahkan jiwa ragaku untuk Islam, lalu aku mundur dari tempat itu. Tatkala mereka tidak berapa banyak lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Hai Salamah, kenapa kamu tidak ikut bai’at?’ ‘Aku telah bai’at, wahai Rasulullah!’ ujarku.’Ulanglah kembali!’ titah Nabi. Maka kuucapkanlah bai’at itu kembali.”
Salamah terkenal sebagai tokoh paling mahir dalam peperangan jalan kaki, dan dalam memanah serta melempar tombak. Ia adalah seorang kesatria Islam yang tangguh lagi cerdik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memujinya:
“Sebaik- baik pasukan pejalan kaki (infanteri) kita adalah Salamah bin Akwa’.”
Demikian ucapan Rasul ini diceritakan oleh anaknya, Iyyas, kepada kita.
Dengan siasat yang dimilikinya, Salamah mampu seorang diri menghalau perampok yang merampok unta-unta penduduk Madinah dan membunuh penggembalanya. Kawanan perampok itu dipimpin oleh Abdurrahman Fizari. Lalu kawanan perampok ini dibantu oleh kawanan lain yang di pimpin Uyainah bin Hishn Al-Fizari, namun dapat dipatahkan oleh Salamah dan pasukan muslimin yang baru tiba dalam suatu peperangan yang disebut perang Dzi Qarad. Ia pergi membuntuti mereka seorang diri, lalu memerangi dan menghalau mereka dari Madinah, hingga akhirnya datanglah bala bantuan dari sahabat-sahabatnya.
Yang meriwayatkan hadits darinya ada sejumlah orang dari kalangan tabiin yang bermukim di Madinah seperti anaknya sendiri Iyyas bin Salamah, lalu Yazid bin Ubaid dan Yazid bin Khashifah.
Tidak pernah Salamah berhati sedih dan merasa kecewa kecuali saat saudaranya yang bernama ‘Amir bin Al Akwa’ terbunuh di perang Khaibar. Ketika itu ‘Amir mengucapkan pantun dengan suara keras di hadapan tentara Islam, katanya:
Kalau tidak karena-Mu tidaklah kami ‘kan dapat hidayah
Tidak akan shalat dan tidak pula akan berzakat
Maka turunkanlah ketetapan ke dalam hati kami
Dan dalam berperang nanti, teguhkanlah kaki-kaki kami.”
Dalam peperangan itu. ‘Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Tetapi rupanya pedang yang digenggamnya hulunya itu melantur dan terbalik menghujam ubun-ubunnya yang menyebabkan kematiannya.
Beberapa sahabat berkata, “Kasihan ‘Amir, ia terhalang mendapatkan mati syahid!”
Maka pada waktu itu, Salamah merasa amat kecewa sekali. Ia menyangka sebagaimana sangkaan sahabat-sahabatnya bahwa saudaranya ‘Amir itu tidak mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, disebabkan ia telah bunuh diri tanpa sengaja.
Tetapi Rasul, segera memberinya air kesejukan dengan jawaban beliau ketika Salamah datang kepadanya bertanya, “Wahai Rasulullah, betulkah pahala ‘Amir itu gugur?’
Maka jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ia gugur sebagai pejuang dan mendapat dua macam pahala. Dan sekarang ia sedang berenang di sungai-sungai surga … !”
Salamah juga terkenal sebagai seorang yang dermawan, apalagi bila permintaan itu atas nama Allah, sebisa mungkin pasti ia kabulkan.
Sewaktu Utsman radhiyallahu ‘anhu dibunuh, pejuang yang perkasa ini merasa bahwa api fitnah telah menyulut kaum muslimin, maka ia hijrah menuju Rabdzah, kampung yang dipilih oleh Abu Dzar. Ia tidak mau membunuh saudara seagama. Di akhir usia, beliau rindu untuk menengok kota Madinah. Selang setelah dua-tiga hari meninggallah beliau di Madinah, di tahun 74 H di usia 80 tahun. Wahai Salamah, semoga Allah meridhai Anda…
[Ustadz Hammam]