Tashfiyah
Tashfiyah

saat tradisi jadi argumentasi (hujah jahiliah yang diadopsi kembali)

7 tahun yang lalu
baca 5 menit
Saat Tradisi Jadi Argumentasi (Hujah Jahiliah Yang Diadopsi Kembali)

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum engkau seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata, ‘Apakah (kalian akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kalian (risalah) yang lebih memberi petunjuk (nyata) daripada apa yang kalian dapati bapak-bapak kalian anut?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’” [Q.S. Az Zukhruf:23-24]

Pembaca yang budiman, perlu kita ketahui bahwa taklid buta (mengikuti orang lain tanpa memperhitungkan alasan, bukti, dan hujah) merupakan kaidah dasar yang senantiasa didengungkan orang kafir di segala zaman. Hujah ini senantiasa menjadi jurus pamungkas mereka saat tak bisa berkelit menghadapi tentara tauhid, baik dari kalangan para nabi atau yang mengikuti mereka. Sebenarnya, yang mereka inginkan bukanlah kebenaran dengan mengemukakan alasan tersebut. Mereka hanya menginginkan untuk tetap berada pada kebatilan yang sudah mendarah daging ada pada mereka. Nas`alullaha as salamah wal ‘afiyah. Kita memohon keselamatan dan ampunan kepada Allah.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di t menafsirkan ayat di atas, “Yang mereka lakukan ini (menyampaikan dalih dengan taklid) bukanlah merupakan hal baru. Mereka bukan orang pertama yang mengucapkan ucapan ini. Argumentasi inilah yang dikeluarkan oleh orang-orang musyrik yang sesat. Yakni, dengan taklidnya mereka terhadap nenek moyang mereka yang sesat. Bukanlah maksud mereka mengikuti kebenaran dan petunjuk, mereka hanya berpegang teguh pada fanatisme saja untuk menolong kebatilan yang ada pada mereka.”

Marilah kita dengar, apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Nuh q, saat beliau menyerukan tauhid kepada mereka, Allah subhanahu wata’ala menyebutkan jawaban kaumnya, “Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kalian. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.’” [Q.S. Al Mu’minun:24]

Lihatlah saudaraku, mereka menjadikan patokan benar tidaknya sesuatu berdasarkan ada atau tidak adanya ajaran tersebut pada masa nenek moyang. Artinya, mereka menafikan kebenaran yang dibawa oleh Nabi Nuh q hanya berdasarkan tradisi yang turun temurun dari nenek moyang.

Dalih yang sama juga dikemukakan oleh kaum ‘Ad kepada nabi mereka, Nabi Hud q, “Mereka berkata, ‘Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.’” [Q.S. Al A’raf:70]

Mereka berani memastikan bahwa apa yang disembah oleh nenek moyang mereka adalah kebenaran. Makanya, mereka pun berani menantang Nabi Hud q untuk mendatangkan azab Allah l.

Nabi Musa q juga mendapatkan alasan yang sama saat menyerukan tauhid kepada kaumnya. Allah l kisahkan, “Maka tatkala Musa datang kepada mereka dengan (membawa) mukjizat-mukjizat Kami yang nyata, mereka berkata, ‘Ini tidak lain hanyalah sihir yang dibuat-buat dan kami belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada nenek moyang kami dahulu.’” [Q.S. Al Qashash:36]

Ya, argumen kaum musyrikin sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang tidak berubah kecuali hanya redaksinya saja. Maknanya sama. Mereka enggan untuk meninggalkan tradisi dan budaya yang sudah ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Meskipun tradisi yang dianut oleh para nenek moyang itu adalah tradisi batil tanpa berdasar dalil. Padahal tak jarang, sejatinya mereka telah yakin benarnya ajaran yang dibawa oleh para rasul tersebut.

Abu Thalib, paman Rasulullah n, adalah contohnya. Abu Thalib sebenarnya yakin dengan kebenaran agama yang dibawa oleh Rasulullah n. Disebutkan dalam beberapa literatur sejarah, Abu Thalib mengucapkan:

وَعُرِضْتُ دِيْناً قَدْ عَرَفْتُ بِأَنَّهُ … مِنْ خَيْرِ أَدْيَانِ الْبَرِيَّةِ دِيْناً

“Aku ditawari sebuah agama dan aku tahu bahwa
itu merupakan agama terbaik di antara manusia.”

Namun sangat disayangkan, hal itu tidak menyebabkannya masuk ke dalam agama yang dibawa oleh Rasulullah n. Apa sebabnya? Marilah kita simak kisah akhir hayat Abu Thalib. Saat Abu Thalib sekarat, Rasulullah n menemuinya, berharap pamannya tersebut mendapatkan hidayah sehingga masuk Islam sebelum meninggalnya. Ternyata, di sana sudah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah, tokoh musyrikin Quraisy.

Nabi n pun mulai mengajak pamannya untuk masuk Islam. “Wahai paman, katakanlah ‘Laa ilaaha Illallah’, sebuah kalimat untuk aku membelamu di hadapan Allah.”

Namun, dua gembong musyrikin tadi tak tinggal diam. Mereka mengatakan, “Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?”

Rasulullah n mengulangi tawarannya, mereka berdua pun mengulangi ucapannya. Demikian berkali-kali terjadi. Akhirnya, Abu Thalib pun mati dalam keadaan masih memeluk agama Abdul Muththalib. [Muttafaq ‘alaih]
Perhatikanlah pembaca, hanya dengan kata, ‘agama Abdul Muththalib’ saja, sudah cukup untuk membuat Abu Thalib tetap bergeming dalam kekafiran. Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah tahu bahwa itu sudah manjur, mereka pun cukup mengulanginya untuk membantah kebenaran yang dibawa Rasulullah n. Padahal Abu Thalib yakin bahwa agama yang dibawa keponakannya itu adalah agama yang benar. Maka bisa kita tarik kesimpulan dari kisah ini, betapa bahayanya taklid terhadap nenek moyang. Wabillahit taufiq wal hidayah.

[Abu Yusuf Abdurrahman]