SEBUAH RENUNGAN BAGI PARA PENDAKI GUNUNG
“Di mana sih enaknya?” Pertanyaan itu sering terlontar dari sebagian kawan yang penasaran. Dilihat di satu sisi, mendaki gunung memang bukan hal yang begitu menarik; menyita waktu, membuat badan linu-linu, dingin malam menusuk tulang, terik mentari panas menghajar, belum lagi badai dan cuaca yang tak menentu. Kalau lagi menjadi-jadi yang akan terlintas di benakmu adalah sebungkus nasi kucing hangat di bawah temaram sinar lampu petromaks, atau selimut tebal plus bantal empuk yang menemani hangatnya malam di kamar.
Namanya hobi memang nggak bisa diinterupsi. Jangan heran meski sedemikian ‘sadis’ kondisi, para petualang sejati tak kenal kata kapok mendaki. Sulit diungkapkan kenapa rasa rindu itu terus ada. Padahal bukan hal mudah menyabar-nyabarkan kaki untuk terus melangkah naik dan naik.
Mendaki bukan sekadar mengolah badan. Kata orang, mendaki itu adalah perjalanan hati. Banyak pelajaran dan inspirasi baru di setiap nafas yang tersengal, kaki yang terluka, dan detik demi detik menghirup kebebasan sementara. Mungkin inilah yang membuat keinginan mendaki terus ada selepas ‘turun ke bumi’.
Alam Mengajakmu Berbicara
Sejuknya udara, hijau segarnya pepohonan, dan kicauan burung hutan menyambut awal perjalanan. Saat di mana semangat itu sedang menggebu, saat kamu melihat tanda-tanda kebesaran-Nya. Saat itu segala yang kamu rasakan begitu selaras. Mata ini merasa sejuk dengan hijaunya alam, dada ini serasa begitu luas dan puas menghirup udara bebas, dan telinga ini merasakan keheningan luar biasa, yang tak akan kamu dapatkan dengan hanya duduk di kamar.
Saat itu kamu bisa rasakan alam ini berbisik tentang kemuliaan Allah, memuji-Nya, dan bertasbih kepada-Nya.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” [Q.S. Al-Isra: 44]
“Baik dari makhluk hidup yang bisa bicara atau tidak, dari pepohonan, tumbuhan dan benda-benda, baik yang hidup atau pun yang mati, “Tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,” dengan lisanul hal (bahasa tubuh) dan lisanul maqal (suara). “Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka”, yaitu tasbih makhluk-makhluk yang berbeda bahasa dengan kalian, Allah Yang Maha Mengetahui alam gaib, mengetahuinya.” (As-Sa’di, Taisir Karimir Rahman)
“Allah mengumumkan (kepada hamba) dengan pengaturan-Nya yang menakjubkan dan keadaan-keadaan yang demikian sempurna pada makhluk-Nya, bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Dia. [Inilah di antara bentuk tasbih semua makhluk di muka bumi]” (ucapan Ibnu Kaisan, dikutip dalam Syarh Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz)
Ya, alam ini mengajakmu berbicara, mengingatkanmu bahwa Allah saja satu-satunya Pencipta. Mengajakmu bertasbih dan bersyukur atas karunia-Nya, mengajakmu bersujud dan beribadah untuk-Nya saja.
“Baik dari makhluk hidup yang bisa bicara atau tidak, dari pepohonan, tumbuhan dan benda-benda, baik yang hidup atau pun yang mati, “Tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,” dengan lisanul hal (bahasa tubuh) dan lisanul maqal (suara). “Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka”, yaitu tasbih makhluk-makhluk yang berbeda bahasa dengan kalian, Allah Yang Maha Mengetahui alam gaib, mengetahuinya.”
(As-Sa’di, Taisir Karimir Rahman)
Bumi Allah Masih Luas, Kawan
Diam di tempat membuat pikiranmu sempit, terlebih jika datang waktu-waktu sulit. Problema hidup yang datang silih berganti dan kegagalan-kegagalan yang kadang menorehkan luka hati, seringkali membuat bumi ini terasa begitu sempit. Pikiran-pikiran negatif pun bermunculan saat berbagai solusi dirasa tersumbat dan tak mungkin dilakukan.
Manusia memang sering lupa. Kebahagiaan hebat bisa membuatnya lupa bahwa itu hanya sementara. Ujian sekejap dalam hidupnya bisa membuatnya lupa segala kebahagiaan yang pernah dia rasa. Solusi-solusi positif pun terusir; tersisa ‘pintu belakang’ menuju lorong gelap yang penuh dengan dosa dan cela.
Di tengah pendakian, kamu akan melihat bahwa bumi Allah benar-benar luas, langit yang menjulang, hamparan bukit yang hijau, aliran sungai, dan bunga-bunga abadi di tengah padang rerumputan.
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [Q.S. Al Baqarah:22]
Masih begitu banyak jalan-jalan halal untuk menyelesaikan masalah. Kamu hanya butuh berhenti sejenak; menghela nafas, mengencangkan tali sepatumu, dan maju lagi dengan optimisme dan yakinmu akan pertolongan-Nya.
“Semangat! Tinggal Dua Tingkat Lagi, Kok…”
Kalimat kawan sejalan itu benar-benar menghibur, meski puncak masih sejauh mata memandang. Teman yang solid memang keindahan lain yang melengkapi alam ini. Darinya kita belajar tentang sebuah persahabatan, kerjasama, dan solidaritas pertemanan. Teman adalah yang selalu ada saat kamu membutuhkan tangannya, di mana pun posisinya; yang membantumu naik dengan menarikmu dari atas atau dengan mendorongmu dari bawah.
Tentu bukan hanya kerjasama tak bermakna, tapi kerjasama menuju arah yang benar; membahu bersamamu menuju puncak tinggi, bukan menyeret dan mendorongmu tersungkur di jurang curam tak bertepi.
“Carilah saudara-saudara yang jujur, kamu bisa hidup dalam perhatian mereka. Mereka adalah penghias bahagia dan bekal di saat duka. Positiflah selalu dalam memandang baik saudaramu, sampai benar-benar ada faktor yang mengharuskanmu membencinya. Tinggalkan musuhmu dan hati-hati dari temanmu yang tidak amanah! Tidak ada yang amanah kecuali yang takut kepada Allah. Jangan bersahabat dengan seorang fajir (buruk amalannya) sehingga kamu belajar dari keburukannya. Jangan biarkan dia mengetahui rahasiamu. Dan bicarakanlah masalahmu kepada mereka yang takut kepada Allah”. (Umar bin Al- Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dikutip dari kitab Muhkhtasar Minhajil Qasidin).
Di Atas Puncak Masih Ada Langit
Sampai di puncak bukanlah akhir dari perjalanan. Karena itu bukan satu-satunya tujuan utama pendakian. Sedemikian tinggi, kokoh, dan kerasnya sebuah gunung, ada tantangan yang lebih terjal dari jurangnya, lebih curam dari tebingnya, dan lebih keras dari bukit cadasnya; yaitu hati kita. Hati manusia yang tak mengenal Pencipta-Nya, hati manusia yang sombong untuk patuh dan mengingat-Nya, hati manusia yang buta dan terlena dengan riuhnya dunia.
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” [Q.S. Al Baqarah:74]
Sekuntum Mawar Di Atas Awan
Ibarat sekuntum mawar, dari satu sudut pandang bisa membuat jemarimu terluka, terlebih jika kamu tak berhati-hati memetiknya. Namun di balik durinya yang tajam, rona merahnya melambangkan tantangan dan keberanian, kelembutannya adalah ketenangan, dan wanginya menjadi inspirasi para petualang sejati. Jangan biarkan mawar itu layu, petiklah dengan jiwa ragamu!
Ingat, kawan. Mendaki gunung bisa menjadi hal yang inspiratif tergantung bagaimana kamu memandangnya dan menjalaninya. Jangan kotori kegiatan positif itu dengan melanggar batas agama. Nggak ragu lagi, meski jauh dari keramaian kota, kegiatan mendaki sering jadi ajang meremehkan dosa; dari foto bersama, ikhtilath, khalwat, pacaran, bahkan pergaulan bebas, dan zina, na’udzubillah.
Percuma kamu taklukkan gunung tinggi, kalau kamu hancurkan dirimu sendiri. “It is not the mountain we conquer but ourselves.” Bukan gunung yang harus kita taklukan, melainkan diri kita sendiri.
[Ustadz Abu Hanifah Fauzi]