Cahaya Islam mulai nampak menyusup sebagian anggota masyarakat Mekah. Lambat laun pemeluk agama Islam pun mulai bertambah. Hal ini berarti ancaman bagi agama kesyirikan yang dipeluk penduduk Mekah kala itu. Mulailah kaum musyrikin merasa gerah. Mereka berupaya dengan berbagai macam cara untuk memadamkannya. Sudah berbagai cara mereka tempuh, mulai dari sekedar mengolok-olok, mencaci maki, menuduh dusta, sampai dengan siksaan fisikpun telah mereka lakukan. Namun hal ini tidak mendapatkan hasil yang berarti. Tetap saja jumlah kaum muslimin bertambah banyak. Mulailah mereka bermusyawarah dan akhirnya mendapatkan keputusan untuk menugaskan dan memberikan hak kepada seluruh kepala kabilah untuk menyiksa masing-masing anggota kabilahnya yang memeluk agama Islam tersebut. Mulailah kaum muslimin mendapatkan siksa demi siksa, terlebih lagi bagi kaum lemah di antara mereka. Mereka mendapatkan siksaan yang orang tidak akan tega mendengar kisah penyiksaan mereka.
Akan tetapi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kaum musyrikin merasa enggan untuk berbuat yang tidak baik kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang memiliki keutamaan, wibawa serta kedudukan yang mulia di sisi masyarakat quraisy, terlebih lagi beliau dilindungi oleh Abu Thalib paman beliau yang termasuk pemimpin quraisy kala itu. Mereka tidak akan berani mencabut perlindungan Abu thalib kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat jahat kepada beliau secara sendirian. Oleh karenanya mereka mencari cara supaya Abu thalib mau mencabut perlindungannya kepada keponakannya itu.
Bujukan dan rayuan yang lembut telah mereka upayakan, ancaman pun telah mereka lakukan akan tetapi tetap saja Abu Thalib bersikukuh dengan pendiriannya untuk senantiasa melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Thalib mengajak Bani Hasyim dan Bani Muththalib, baik yang muslim atau yang kafir untuk melindungi dan membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada akhirnya kaum musyrikin membuat suatu kesepakatan dan perjanjian yang ditulis dalam lembaran dan berisi larangan untuk melakukan pernikahan dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib kecuali Abu Lahab dan Abu Jahal, larangan mengadakan hubungan perdagangan, dilarang pula duduk bermajelis dengan mereka, berbincang dan bercampur baur dengan mereka. Lembaran perjanjian itu akhirnya disepakati dan diletakkan di tengah ka’bah. Maka seketika itu pula Rasulullah beserta orang-orang yang melindungi beliau dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib tertahan di sebuah lembah. Mereka hidup dengan menggantungkan apa yang ada disisi mereka, tentu saja ini adalah perkara yang mustahil bagi bangsa Arab.
Waktu terus berjalan pemboikotan tersebut belum juga berakhir. Kaum musyrikin tidak membiarkan setiap makanan yang datang dari kafilah dagang melainkan mereka borong atau mereka beli dengan harga tinggi. Mereka tidak membiarkan makanan tersisa untuk dibeli orang-orang yang diboikot. Demikianlah keadaan yang terjadi. Hal ini mengakibatkan orang–orang yang terboikot tidak mendapatkan suplai makanan sama sekali dari luar. Padahal, kehidupan bangsa Arab sangat membutuhkan bahan kebutuhan pokok dari orang-orang di luar mereka. Demi mempertahankan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang terboikot pun harus rela untuk memakan daun serta kulit pohon yang ada. Hal ini mengakibatkan kesengsaraan yang sangat, terlebih bagi golongan yang lemah dari kalangan wanita dan anak-anak. Terdengarlah dari balik lembah tersebut suara rintihan para wanita dan anak-anak yang menahan lapar.
Sebagian penduduk Mekah ada yang merasa iba kepada mereka. Secara sembunyi-sembunyi mereka mengantarkan makanan kepada satu atau dua orang kerabat. Namun, makanan tersebut hanya didapatkan oleh orang tertentu, tidak kepada semua orang yang terboikot. Apalah artinya sesuap atau dua suap nasi bagi segolongan mereka sedangkan golongan yang lebih banyak masih menderita kelaparan dan kesedihan.
Setelah kurun waktu yang lama, yakni sekitar tiga tahun, mulailah ada dari kalangan kaum Quraisy orang-orang yang berkehendak untuk membatalkan perjanjian pemboikotan tersebut. Sebab sebenarnya ada dikalangan Quraisy yang membenci perjanjian yang berisi kedhaliman tersebut. Di antaranya adalah Zuhair bin Aswad beserta empat orang yang lain. Suatu ketika mereka bersepakat untuk membatalkan perjanjian tersebut. Mulailah mereka menyusun strategi. Maka pada pagi hari setelah penyusunan rencana tersebut keluarlah mereka menuju ka’bah. Setelah melakukan thawaf di ka’bah, mulailah Zuhair bin Aswad berdiri dan berteriak menyeru kepada manusia,”wahai penduduk Mekah apakah kita akan makan dengan enak, dan memakai pakaian yang bagus sedangkan bani Hasyim binasa!! kita tidak dibolehkan jual beli dengan mereka!! Demi Allah aku tidak akan duduk sampai lembaran perjanjian yang zalim itu disobek.” Maka tatkala Abu Jahal mendengar ucapan ini, ia menyanggahnya, “Engkau dusta, demi Allah kita tidak akan menyobeknya!!”
satu persatu empat orang yang melakukan kesepakatan ini pun akhirnya angkat bicara sehingga terjadilah perdebatan yang sengit di kalangan mereka.
Tatkala perdebatan terjadi, ternyata Abu Thalib telah berada di situ sebelumnya. Ia sengaja datang ke Ka’bah pagi itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kepadanya bahwa lembaran perjanjian tersebut telah rusak dimakan oleh rayap, kecuali kalimat yang menyebutkan nama Allah. Maka pada akhirnya Abu Thalib membuat kesepakatan dengan orang-orang Quraisy yang isinya adalah apabila benar apa yang dikatakan oleh Muhammad tersebut maka orang-orang Quraisy harus membatalkan perjanjian. Namun apabila salah, maka Abu Thalib akan melepaskan perlindungannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdirilah Math’am bin ‘Ady menuju lembaran perjanjian tersebut. Dan ternyata ia melihat lembaran tersebut telah rusak kecuali kalimat bismikallahumma (dengan menyebut nama-Mu ya Allah). Maka gugurlah perjanjian tersebut dan keluarlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang yag diboikot untuk menghirup napas kebebasan.
Sungguh, sebenarnya orang-orang musyrikin telah melihat tanda-tanda kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi mereka tetap tidak mau beriman dan buta mata hatinya sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena bukanlah mata-mata mereka buta namun yang buta adalah apa yang ada dalam hatinya.” [Q.S. Al Haj: 46].
Tanda-tanda tersebut tidaklah menyadarkan mereka, justru menjadikan mereka bertambah kafir dan membangkang kepada Allah. Wallahu a’lam. [Ustadz Hammam].
Referensi : Ar Rakhiqul Al Makhtum