Tashfiyah
Tashfiyah

mujahirun tidak diampuni

8 tahun yang lalu
baca 7 menit
Mujahirun Tidak Diampuni

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

“Setiap umatku akan terampuni kecuali al mujahirun (orang yang terang-terangan berbuat dosa). Di antara bentuk terang-terangan dalam bermaksiat adalah seorang melakukan maksiat di malam hari, Allah telah menutupinya pada waktu pagi, namun ia justru mengatakan, ‘Hai Fulan, semalam saya melakukan ini dan itu.’ Ia melewati malam dalam keadaan Allah menutupi dosanya, namun masuk waktu pagi, ia justru menyingkap tutup Allah darinya.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu].

Sungguh Mahaluas rahmat-Mu ya Allah…!
Manusia memang penuh alpa dan dosa. Setiap saat tersalah dan jatuh dalam maksiat. Namun, Allah subhanahu wata’ala senantiasa membuka pintu rahmat dan ampunan-Nya. Tentunya bagi mereka yang senantiasa kembali kepada-Nya, bertaubat dengan taubat nashuha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam hadis ini bahwa semua umat beliau akan diampuni. Kecuali mereka yang tidak malu-malu berbuat dosa, terang-terangan melakukan maksiat. Terlebih Al Mujahirun, orang yang sudah Allah subhanahu wata’ala tutupi aib dan celanya berupa perbuatan dosa, ia justru malah menampakkannya.

Pembaca, aib dan cela nampaknya bisa menjadi komoditi di zaman ini. Setidaknya, itu menjadi hiburan yang dinikmati. Ironis memang! Atau, apakah sebegitu jauh rusaknya moral, sehingga aib dan cela adalah biasa saja? Tidak perlu risau dan enggak usah gelisah. Faktanya, konflik keluarga adalah acara yang ditunggu dalam program infotainment stasiun televisi. Gosip atau tepatnya ghibah diminati ribuan mata bahkan jutaan dalam berita-berita media massa. Tingkah selebriti yang bangga dengan kehamilan di luar nikah sebagai ajang sensasi, ‘siapakah calon bapak si jabang bayi?’ Yang lainnya tidak mau kalah -bejatnya- berlibur dengan pria lain padahal belum sah cerai dengan suami. Bahkan tanpa malu, menghina dan melecehkan suami di depan media.

“Wajarlah itu ‘kan selebriti! Selalu saja cari sensasi. Kalau perlu dari tidur sampai tidur lagi aktivitasnya diberitakan dan dinikmati oleh publik.” Pembaca, ternyata bukan hanya artis yang ingin seperti itu. Sadar atau tidak, orang sekarang ingin aktivitasnya dikomentari orang lain. Mereka sangat senang dan menikmati hal itu. Ya, fenomena itu bernama Facebook. Setiap saat para Facebooker mengupdate statusnya agar bisa dilihat dan dikomentari orang lain. Tidak peduli dengan perkara yang sebenarnya bersifat pribadi. Lupa bahwa aib harus disimpan rapi dan ditutupi. Sedang di warung tulis status, jalan-jalan update lagi, di rumah sendirian tulis di Facebook. Semuanya seolah ingin dilihat orang lain. Ada yang mengarah kepada perkara mesum dan tabu, ada pula yang lebih parah, bangga meng-update status saat bersimpuh di depan Ka’bah. Jadilah Facebook ajang berbangga akan perbuatan maksiat termasuk ajang riya’ dan pamer ibadah. Minimalnya obrolan yang tidak jelas pangkal ujungnya. Ya, menyia-nyiakan waktu, dan tenggelam dalam perbuatan sia-sia. Sekarang, mari kita perhatikan nukilan dari Imam Asy Syafi’i t, “Jiwamu, apabila engkau tidak menyibukkannya dengan kebenaran, ia akan menyibukkanmu dengan kebatilan.” [Ad Da’u wa Ad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah].

Sejak kemunculannya, Facebook memang banyak diminati orang. Website komunitas terbesar dunia ini menarik banyak lapisan masyarakat. Tua, muda, pria, wanita rela meluangkan porsi besar waktunya untuk Facebook. Update status, upload foto, mengobrol, atau sekadar melihat dinding orang lain bisa sangat mengasyikkan dan membuat lupa waktu. Situs web Facebook memang memungkinkan pemakainya menerima permintaan pertemanan dari siapa saja. Teman sekolah, teman lama, kerabat, atau siapa saja. Bahkan orang yang tidak dikenal sebelumnya pun bisa mengajak berteman melalui Facebook. Facebooker bisa juga memasukkan foto, kemudian menandai siapa saja dari pertemanannya yang diinginkan untuk melihat foto tersebut.

Dengan fitur ini, sangat memungkinkan seorang Facebooker mencari teman sebanyak-banyaknya. Yang ia kenal sebelumnya atau tidak ia kenal. Di sinilah kemudian banyak orang yang salah pilih teman. Betapa sering kita mendengar seorang gadis belia hilang dari rumah dibawa lari teman Facebooknya. Banyak pula rumah tangga yang retak karena Facebook. Kata-kata romantis yang dikirim teman Facebook tidak jarang memicu pertengkaran suami istri. Atau komunikasi yang sangat akrab sering membuat saling cerita masalah yang bersifat pribadi. Terjadilah perselingkuhan. Ini bukan berita baru, bukan pula cerita basi.

Inilah di antara dampak buruk Facebook. Padahal kita dituntut untuk selektif mencari teman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu sesuai agama temannya, maka lihatlah kepada siapa kalian berteman.” [H.R. Abu Dawud dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud]. Bukankah Abu Thalib mati di atas kekafiran karena pengaruh teman? Demikian pula mayoritas tokoh kafir Quraisy yang menentang waktu itu adalah karena lingkungan di sekitar mereka. Karena pertemanan. Teman bisa membentuk keyakinan agama seseorang. Apalagi akhlaknya!

Selain itu, mustahil Facebook lepas dari gambar foto. Baik dari pertemanan, atau minimalnya gambar foto iklan yang muncul di dindingnya. Padahal, kenyataannya para Facebooker menampilkan gambar mereka sendiri. Foto narsis, nampang dengan model cukuran artis, berpakaian gaul dengan celana pensil yang musbil. Wanita berpose dengan pakaian dan dandanan norak tanpa malu. Seandainya kita kaitkan dengan hadis di atas, maka ini termasuk terang-terangan dalam kemaksiatan. Bahkan bangga dengan maksiat yang dilakukan. Bukankah cukuran rambut meniru orang kafir adalah tasyabuh yang haram? Demikian pula pakaian dan celana musbil-nya? Bukankah seluruh tubuh wanita adalah aurat yang harus ditutupi? Sementara di Facebook, justru bangga dengan memajang foto noraknya. Senang dengan banyaknya like dari pertemanannya.

Keluarga harmonis yang hancur karena foto Facebook pun tidak sedikit. Keluarga yang awalnya tenang, hidup rukun bersama anak-anak yang manis dan lucu bersama istri tercinta. Tiba-tiba ada teman lama yang meng-tag foto masa sekolah SMA-nya, saat masih jauh dari hidayah, bercampur baur laki-laki perempuan, atau foto bersama mantan pacar. Padahal, aib saudara seiman harusnya ditutupi. Apalagi telah bertaubat dan meninggalkan masa-masa kelamnya. Bayangkan, berapa pelanggaran agama dalam kasus ini? Menyebarkan aib saudaranya, merusak ikatan keluarga, memajang foto, dan yang lainnya.

Tentang hukum gambar sendiri, sebenarnya ancamannya sangat mengerikan. Fitrah yang masih lurus pasti akan merinding takut mendengarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

“Manusia paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah para tukang gambar.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu]. Dalam hadis lain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

“Setiap tukang gambar di neraka. Gambar yang ia buat akan dihidupkan untuk mengazabnya di neraka.” [H.R. Muslim dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu]. Dua hadis ini sekadar contoh saja, yang lainnya sangat banyak. Semua menunjukkan bahwa menggambar makhluk bernyawa adalah dosa besar. Asy Syaikh Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hukuman berlapis bagi tukang gambar adalah hal-hal berikut: orang yang paling keras azabnya pada hari kiamat, Allah subhanahu wata’ala akan menghidupkan lukisannya kemudian akan mengazab di neraka dengannya, dan ia dipaksa menghidupkan lukisannya. Hukuman-hukuman ini menegaskan bahwa tukang gambar di neraka, terlaknat sebagaimana riwayat Al Bukhari dari hadis Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu. [Al Qaulul Mufid, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah].

Mungkin ada yang beralasan bahwa ulama berselisih pendapat tentang foto. Sebagian membedakan dengan melukis. Kita jawab, benar Syaikh Utsaimin rahimahullah membedakan antara melukis dan fotografi. Namun, untuk menyimpannya beliau tetap mengharamkan. Apalagi dipajang untuk pamer agar dilihat orang. Sebagai seorang muslim, menghadapi perbedaan cara pandang ulama seperti dalam masalah ini, seharusnya memilih jalur hati-hati. Yaitu keluar dari perselisihan. Toh menyimpannya pun haram, kenapa meributkan perbedaan ulama tentang fotografi dan melukis. Jadi, tidak ada dalil untuk memasang foto di Facebook. “Alhamdulillah, saya tidak pasang foto.” Apakah Anda bisa menjamin bebas foto dari pertemanan Anda? Atau kiriman tag teman Anda? Atau iklan yang ada? Apabila Anda tidak malu, berbuatlah semau Anda!

Pembaca, tentu ini hanya sekilas tentang mudarat Facebook. Kita belum menyinggung masalah penipuan, virus, kloning status untuk tindak kriminal, caci maki cela mencela, menghasut dan provokasi, mobilisasi masa demonstrasi, menyebarkan syubhat agama, mendukung sekte sesat seperti Syiah, ISIS, Al Qaida, JI, Islam Nusantara, JIL, dan yang lainnya.

Lalu, haramkah Facebook? Menjawab pertanyaan ini bukan wilayah kita. Namun, dikembalikan kepada para ulama. Yang jelas Facebook sebagai media mujaharah bil fisq, ajang mengumbar maksiat, bangga berbuat dosa. Ini secara keumuman.

Di sinilah terbedakan orang yang cerdas, dengan melihat secara menyeluruh. Membandingkan antara maslahat dan mudarat. Apalagi ketika ada alternatif lain yang jauh lebih aman.

Dengan melihat ancaman untuk al mujahirun dalam hadis di atas, hendaknya berpikir seribu kali untuk membuat akun Facebook.

[Ustadz Farhan]