Beriman kepada perkara yang gaib merupakan akidah yang harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim. Meskipun terkait dengan sesuatu yang belum pernah dilihat, didengar atau bahkan diluar jangkauan akal manusia. Mengimaninya adalah wajib selama beritanya bersumber dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Nah, di antara keyakinan yang wajib dimiliki setiap muslim adalah adanya mizan di hari kiamat nanti.
Mizan secara etimologi bahasa bermakna sesuatu yang digunakan untuk mengukur berat dan ringannya sesuatu. Adapun pengertiannya secara syar’i adalah sesuatu yang Allah lletakkan untuk menimbang amalan hamba-hamba-Nya pada hari kiamat nanti. Para pembaca yang budiman, landasan hukum adanya mizan ini bersumber dari Al-Qur’an, hadits-hadits shahih dan bahkan kesepakatan para ulama. Allah lberfirman “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.” [Q.S. Al-Anbiya ‘: 47].
Adapun bentuk plural dari mizan adalah mawazin sebagaimana tersebut pada ayat di atas. Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya, “Kami akan meletakkan timbangan-timbangan keadilan pada hari kiamat nanti. Namun mayoritas kata timbangan ini disebutkan dalam bentuk tunggal. Disebutkan secara plural pada ayat di atas karena berbilangnya amalan-amalan yang akan ditimbang pada mizan.” Nabi n bersabda dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, “Ada dua kalimat yang disukai oleh Ar-Rahman, ringan untuk diucapkan dengan lisan namun timbangan keduanya berat dalam mizan. Dua kalimat tersebut adalah Subhnallah wa bihamdihi subhanallahil adzim.” Sementara itu para ulama telah bersepakat bahwa keberadaan mizan di hari kiamat kelak merupakan salah satu aqidah yang harus diyakini kebenarannya. Zuhair menuturkan, “Saya mendapatkan dari guru-guru kami semisal Malik, Sufyan, Fudhail, Isa bin Yunus, Ibnu Mubarak dan Waki’ibnu Jarrah. Mereka semua menyatakan bahwa mizan itu memang benar adanya.” Dengan demikian tidak sepantasnya seseorang muslim mengingkarinya karena dalilnya begitu jelas dan nyata.
Para ulama ahlus sunnah telah menjelaskan bahwa mizan tersebut adalah mizan yang hakiki. Tidak sebagaimana statmen yang suarakan oleh orang-orang mu’tazilah bahwa mizan tersebut adalah mizan maknawi. Mereka menafsirkan bahwa mizan yang tersebut dalam Al-Qur’an maupun hadits adalah penegakan keadilan. Karena obyek yang akan ditimbang adalah amalan manusia yang sifatnya maknawi (bukan inderawi) sehingga mizannya pun demikian. Inilah salah satu ciri khas pemikiran orang-orang mu’tazilah yang senantiasa mengedepankan akal daripada Al-Qu’ran dan Sunnah. Padahal Nabi n pernah berkisah bahwa mizan ini mempunyai dua daun timbangan. Beliau n bersabda dalam hadits bithaqah riwayat At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, “Lalu diletakkan catatan-catatan amalan pada sebuah daun timbangan dan bithaqah itu pada daun timbangan yang lain.” Sejatinya argumen orang-orang mu’tazilah sangat lemah dan begitu mudah dibantah. Karena mudah bagi Allah ta’ala untuk membuat amalan-amalan manusia menjadi sesuatu yang hissi (sesuatu yang bisa diindera) sehingga bisa ditimbang dalam mizan. Allah Maha Maha Mampu untuk membuat berbagai perkara yang maknawi menjadi hissi. Sebagaimana kelak di hari kiamat kematian akan didatangkan dalam wujud domba. Kemudian akan disembelih di antara surga dan neraka lantas dikatakan kepada mereka, “Wahai penduduk surga yang ada adalah kekekalan dan tidak ada kematian. Wahai penduduk neraka yang ada adalah kekekalan dan tidak ada kematian.”
Mizan tersebut akan menimbang segala amal yang pernah dilakukan oleh manusia. Sehingga amalan sekecil apapun meskipun sebesar dzarrah (semut yang sangat kecil) akan dibalas pada hari kiamat nanti. Oleh karenanya di antara buah keimanan terhadap mizan adalah tumbuhnya rasa takut kepada Allah luntuk melakukan amal kejelekan. Demikian halnya akan menumbuhkan motivasi besar untuk memperbanyak amal shalih. Sebagai upaya untuk memperberat timbangan amal kebaikan di akhirat nanti. Allahu a’lam. [Abu Hafy Abdullah]