Untuk suksesnya sebuah cita-cita, dibutuhkan perencanaan sebaik mungkin. Seseorang yang ingin bepergian jauh berkendara sepeda motor, minimalnya harus siap fisiknya. Kesehatan kalau bisa 100% mendukung. Kendaraannya pun dalam keadaan prima. Pastikan oli mesin masih layak, mesin tidak ada kendala, lampu tidak ada masalah, ban dan rem juga berfungsi optimal. Jas hujan, uang saku, alat komunikasi tidak boleh ketinggalan.
Lain lagi bagi yang ingin membangun rumah. Tentu perencanaannya akan lebih rumit dan sedetail mungkin. Agar tidak ada misplanning, pembengkakan biaya, dan yang pasti rumah tersebut benar-benar nyaman dan fungsional. Waktu, pikiran, dan tenaga dalam persiapannya akan semakin tersita. Semakin baik dan sempurna persiapannya, risiko kesalahan akan semakin kecil, dan peluang keberhasilannya pun semakin besar. Ini semua setelah takdir Allah l tentunya.
Ya, semakin besar sebuah rencana, butuh persiapan lebih matang. Semakin besar tanggung jawab beban amanah, memang semakin membutuhkan tingkat kemampuan yang lebih tinggi.
Menjadi kepala keluarga adalah tanggung jawab yang besar. Kurang cakap dalam mengemban amanah ini akan berakibat fatal. Apalagi yang menyia-nyiakannya. Bukan sekadar resiko ban kempes, rumah bocor, dan semacamnya. Namun, bisa jadi rumah tangga hancur, ketenangan raib tidak bisa diraih. Tidak ada kesejahteraan apalagi kedamaian hati. Bukan hanya gagal dalam kehidupan dunia, bisa jadi akan menjadi keluh kesal dalam penyesalan berkepanjangan di akhirat. Akibat berat ini hendaknya selalu dingat. Selamat darinya harus menjadi inti target sebuah hidup.
Maka wajib sadar sepenuhnya bahwa anak adalah tanggung jawab orang tua. Hanya dengan pendidikan agama yang maksimal beban amanah itu tertunaikan. Sehingga sebagai orang tua harus memiliki modal dasar dalam pendidikan mereka, yaitu ilmu. Ilmu agama. Ini mutlak. Terutama materi tauhid dan akidah yang menjadi dasar ilmu terpenting. Akhlak dan adab juga tidak boleh dikesampingkan. Karena orang tua akan banyak mengajarkan kepada anak melalui prilakunya. Artinya anak akan menyerap segala yang ia lihat dan ia dengar di rumahnya. Bagaimana ayah bicara kepada ibu, bagaimana ibu menjawabnya, cara makan, duduk, dan semuanya. Sejak anak keluar menghirup udara dunia, ia mulai belajar dengan alam sekitar. Oleh sebab itu, ia akan sangat terbentuk menyesuai lingkungan terdekatnya, dalam hal ini kedua orang tua.
Perhatikan, Rasulullah ` bersabda:
“Setiap anak terlahir di atas fitrahnya. Maka kedua orang tuanya yang menjadikkan Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]. Anak akan berinteraksi dengan orang tuanya. Ia akan banyak menyerap akhlak dari orang tua, bahkan termasuk agama. Mereka akan menirunya. Pengaruh orang tua sangat besar terhadap anak. Pada masa anak-anak inilah mereka banyak belajar. Jadi, pelajaran dan pembelajaran itu tidak terikat waktu maupun format tertentu. Sepanjang saat anak akan belajar. Dari sini orang tua harus cerdas, dengan memberikan keteladanan akhlak mulia kepada anak. Bicara dengan santun, makan minum sambil duduk tidak terburu-buru, tidak menampakkan luapan marah kepada istri atau suami, adalah akhlak terpuji yang akan memberikan dampak positif terhadap pembelajaran anak.
Hanya dengan pendidikan agama yang maksimal beban amanah itu tertunaikan. Sehingga sebagai orang tua harus memiliki modal dasar dalam pendidikan mereka, yaitu ilmu. Ilmu agama. Ini mutlak. Terutama materi tauhid dan akidah yang menjadi dasar ilmu terpenting. Akhlak dan adab juga tidak boleh dikesampingkan. Karena orang tua akan banyak mengajarkan kepada anak melalui prilakunya.
Orang tua yang bijak akan menampakkan peran sebagai ayah atau ibu. Artinya, anak akan merasa sebagai anak yang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua. Bukan hanya makan dan pakaian yang terpenuhi, namun ketenangan dan kebahagian anak tidak terabaikan. Karena hal ini sangat penting dalam mendukung keberhasilan tarbiyah pada anak. Jangan sampai anak merasa terkungkung dalam sistem pendidikan yang akan membuat tertekan dan bosan. Di samping kreativitas orang tua dalam menyajikan materi yang dituntut bervariatif dan tidak menjemukan.
Saat harus marah atau menghukum anak karena pelanggaran atau kesalahan tidak boleh mengakibatkan anak trauma dan anti kepada orang tua. Sebagaimana tidak berlebihan dalam memenuhi keinginan anak, agar tidak membentuk tabiat yang manja dan senang dilayani. Menanamkan kemandirian sejak dini pun harus selalu dengan dibantu dan diarahkan.
Menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada lembaga pendidikan dan pondok pesantren, kemudian berlepas tangan, seolah telah menunaikan tanggung jawab adalah cara berpikir yang salah. Bagaimanapun amanah itu tetap berada di atas pundak orang tua. Yang Allah l sebutkan dalam Surat At Tahrim ayat enam adalah orang tua, bukan pihak yang lain. Madrasah dan pondok pesantren sifatnya hanyalah membantu. Orang tua harus ikut memantau tahap demi tahap, dan mengevaluasi setiap perubahan dan perkembangan. Di sisi lain agar hubungan kejiwaan antar orang tua dan anak tetap terjalin. Pondok pesantren bukanlah wilayah isolasi bagi anak yang memisahkan dari kasih sayang dan perhatian orang tua.
Setelah komunikasi terjalin baik, kerja sama antara orang tua, ustadz pengajar, serta pengurus pondok harus terbangun sempurna. Ini semua akan membantu tarbiyah anak. Sekaligus bagian dari pelaksanaan amanah sebagai orang tua.
Pembaca, anak adalah penyejuk mata dan kedamaian jiwa bagi orang tua. Apabila anak tersebut tertarbiyah dalam adab dan ilmu Islam. Anak yang berbakti, patuh serta penurut, santun dalam bertutur kata, sopan dalam tindak tanduk, itulah penyejuk mata. Anak yang berakhlak mulia, rajin bertaawun, giat beribadah, kuat ilmu agamanya, itulah ketenangan jiwa. Bukan! Sekali-kali bukanlah anak yang berderet titelnya, bukan yang tinggi status sosialnya, bukan pula yang sukses menumpuk harta.
Perhatikan doa berikut ini! “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [Q.S. Al Furqan:74]. Inilah doa orang saleh yang Allah l sebutkan dalam ayat-Nya. Anak sebagai penyenang hati adalah mereka yang bertakwa. Bukan yang sukses dalam dunia.
Apalagi, kesalehan anak tersebut terbentuk melalui perantara kita secara langsung sebagai orang tua. Kita yang membimbingkan akhlak islami kepada mereka, kita yang mengajarkan doa makan dan bangun tidur, kita yang mentalkin (menuntun) hafalan Juz ‘Amma, kita pula yang mengajarkan pokok tauhid dasar, maka kita akan banyak meraup pahala. Insya Allah. Karena kita akan mendapat dua poin dari sabda Rasulullah ` berikut:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang mati, terputuslah amalannya kecuali dari tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” [H.R. Muslim dari Sahabat Abu Hurairah z]. Seorang yang dengan sabar menuntun anaknya dalam pembelajaran akidah, ibadah, dan seluruh bagian Islam ini, maka diharapkan akan mendapat pahala tanpa putus dari dua arah; yaitu ilmu yang beranfaat dan anak saleh. Sebuah peluang besar pahala melimpah yang sangat sayang terlewatkan. Sungguh, jangan terlewatkan! Rugi besar!
Jadi, mutlak tidak bisa ditawar lagi. Bahwa persiapan ilmu keagamaan bagi orang tua adalah keharusan. Bukan hanya penguasaan teori, bahkan pengamalannya sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat tarbiyah kepada anak bukan sebatas pengajaran teori saja. Bahkan keteladanan itulah yang paling mudah diserap oleh mereka.
Perjalanan safar dengan sedikit kendala, atau rumah yang kurang sesuai dengan rencana adalah kesalahan yang biasa. Sangat ringan dan mudah mengatasinya. Namun, jangan sekali-kali menganggap ringan dan mudah dalam kegagalan tarbiyah anak dan keluarga. Berbahaya!
Demikianlah prinsip Ahlu Sunnah wal Jamaah; berilmu sebelum berucap dan beramal. Maka, siapkan planning terbaik untuk kesuksesan menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Semoga Allah l memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Kemudahan dan pahala dalam memikul amanah sebagai orang tua. Amin ya rabbal ‘alamin.