Tashfiyah
Tashfiyah

membersihkan najis pada tempat najis

6 tahun yang lalu
baca 7 menit
Membersihkan Najis Pada Tempat Najis

Soal: Jika pakaian dalam saya terkena tetesan air kencing dan waktu shalat sudah tiba, apakah boleh bagi saya untuk mengucek tempat yang terkena najis dengan air hingga yakin kencing tersebut telah hilang atau saya harus mengganti baju saya yang terkena najis?
Jawab: Jika pakaian terkena air kencing dan engkau ingin shalat menggunakannya, wajib bagimu untuk mencucinya dengan air. Yaitu, engkau cuci tempat yang terkena najis dengan air hingga engkau yakin hilangnya najis (dengan tidak adanya warna, bau dan rasa dari najis tersebut, red.). Setelah itu, engkau bisa shalat dengan menggunakan baju tersebut. Engkau tidak harus mengganti baju. Ketika engkau sudah mencuci tempat najis tersebut dan engkau yakin najisnya sudah hilang, shalatmu sah Insya Allah. Karena, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang bajunya terkena darah haid untuk mencuci tempat terkena najis tersebut lalu shalat dengan baju tersebut (yakni, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mengganti bajunya, red.). Wallahu a’lam. [Dialihbahasakan dari Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan, kumpulan fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan].

Apakah Shalat Dengan Tayamum Harus Diulang Jika Mendapatkan Air?

Soal: Jika seorang shalat dengan bertayamum karena tidak ada air lalu menyelesaikan shalatnya, apakah wajib baginya untuk meng-qadha` (mengulangi) saat mendapati air atau hilang alasannya untuk bertayamum?
Jawab: Jika seorang muslim bertayamum karena suatu alasan syar’i -seperti karena tidak adanya air, tidak mampu disebabkan sakit, takut membahayakan dirinya jika menggunakannya untuk wudhu karena saking hausnya, atau alasan yang dibenarkan syar’i lainnya- lalu dia shalat, maka shalatnya sah, bersucinya juga sah. Karena Allah menjadikan tanah sebagai ganti air dan menjadikannya sebagai penyuci, sebagaimana Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Dan dijadikan tanah bagiku (dan umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.) sebagai tempat bersujud dan alat bersuci.” [H.R. Al-Bukhari di dalam Kitab Shahih beliau]. Tayamum menduduki kedudukan wudhu jika dibutuhkan. Shalat dengan tayamum tetap sah seperti shalat dengan wudhu. Lantas, jika ada air, maka dia berwudhu dan bersuci dengan wudhu untuk shalat yang akan datang saja, adapun yang telah lalu, shalatnya sah dan diberi pahala, Insya Allah. [Dialihbahasakan dari Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan, kumpulan fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan].

Makmum Masbuk, Imam Lupa
Soal: Seorang imam salam dari shalatnya dan dia sebenarnya kurang satu rakaat. Lalu, di belakangnya ada makmum masbuk yang berdiri hendak menyempurnakan shalatnya. Ternyata, imam ingat bahwa dia kurang satu rakaat, lalu dia pun berdiri hendak menambah kekurangan shalatnya. Apakah makmum tersebut bergabung shalat bersama imam lagi atau melanjutkan menyempurnakan shalatnya? Apakah dia harus melakukan sujud sahwi atau tidak?
Jawab: Jika imam salam dan makmum masbuk tersebut berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang terlewat kemudian ternyata imam tersebut ingat bahwa dia rakaatnya kurang lalu berdiri untuk menyempurnakannya, maka makmum tersebut boleh memilih antara dua hal: dia menyempurnakan sendirian tanpa imam; atau dia bergabung shalat bersama imam dan mengikutinya pada sisa rakaat imam. Wallahu ta’ala a’lam. [Dialihbahasakan dari Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan, kumpulan fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan].

س2: هل يسمع النبي صلى الله عليه وسلم كل دعاء ونداء عند قبره الشريف أو صلوات خاصة حين يصلى عليه، كما في الحديث من صلى علي عند قبري سمعته إلى آخر الحديث. أهذا الحديث صحيح أو ضعيف أو موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم؟

ج2: الأصل: أن الأموات عمومًا لا يسمعون نداء الأحياء من بني آدم ولا دعاءهم، كما قال تعالى: { وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ } (1) ولم يثبت في الكتاب ولا في السنة الصحيحة ما يدل على أن النبي صلى الله عليه وسلم يسمع كل دعاء أو نداء من البشر حتى يكون ذلك خصوصية له، وإنما ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه يبلغه صلاة وسلام من يصلي ويسلم عليه فقط، سواء كان من يصلي عليه عند قبره أو بعيدًا عنه كلاهما سواء في ذلك؛ لما ثبت عن علي بن الحسين بن علي رضي الله عنهم « أنه رأى رجلًا يجيء إلى فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو فنهاه، وقال: ألا أحدثكم حديثًا سمعته من أبي عن جدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: “لا تتخذوا قبري عيدًا ولا بيوتكم قبورًا، وصلوا علي فإن تسليمكم يبلغني أين كنتم » (2) .
أما حديث: « من صلى علي عند قبري سمعته، ومن صلى علي بعيدًا بلغته » فهو حديث ضعيف عند أهل العلم (1) .
وأما ما رواه أبو داود بإسناد حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: « ما من أحد يسلم علي إلا رد الله علي روحي حتى أرد عليه السلام » (2) فليس بصريح أنه يسمع سلام المسلم، بل يحتمل أنه يرد عليه إذا بلغته الملائكة ذلك، ولو فرضنا سماعه سلام المسلم لم يلزم منه أن يلحق به غيره من الدعاء والنداء.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو // عضو // نائب رئيس اللجنة // الرئيس //

عبد الله بن قعود // عبد الله بن غديان // عبد الرزاق عفيفي // عبد العزيز بن عبد الله بن باز //
Soal: Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seluruh doa dan seruan yang dipanjatkan di dekat kuburan beliau, ataukah shalawat saja? Sebagaimana di dalam hadits, “Barangsiapa bershalawat atasku di sisi kuburanku, niscaya aku mendengarnya…” hingga akhir hadits. Apakah hadits ini shahih, dha’if, atau maudhu’ (palsu) diatasnamakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab: Secara asal, orang-orang yang telah mati secara umum tidak bisa mendengar seruan dan doa dari manusia yang masih hidup. Hal ini sebagaimana Allah lSubhanahu wa ta’ala sebutkan (yang artinya), “… dan engkau tidak bisa memperdengarkan orang yang ada di dalam kubur.” [Q.S. Fathir:22]. Dan tidak ada yang shahih dalam hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar setiap doa atau seruan manusia sehingga terhitung sebagai kekhususan beliau. Yang shahih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah, shalawat dan salam dari orang yang mendoakan shalawat dan salam bagi beliau bisa sampai kepada beliau. Sama saja, orang itu memanjatkan shalawat dan salam di dekat kuburan beliau atau jauh dari kuburan beliau. Hal ini sebagaimana telah shahih dari Ali bin Husain bin Ali [bin Abi Thalib] g, bahwasanya dia melihat seseorang datang ke sebuah celah di dekat kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia pun memasukinya dan berdoa di dalamnya. Ali bin Husain pun melarangnya dan mengatakan, “Bagaimana jika aku katakan untukmu sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku, dari kakekku dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat berkumpul dan jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Dan bershalawatlah untukku, karena salam dari kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” [H.R. Abu Ya’la, juga diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dishahikan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah di dalam buku Ahkamul Jana`iz].
Adapun hadits yang artinya, “Tidak ada satu orang pun yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah akan mengembalikan ruhku, hingga aku membalas salamnya.” [H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah]. Hadits ini tidak tegas menyatakan bahwa beliau mendengar salam dari seorang muslim. Tapi, hadits ini mengandung kemungkinan bahwa beliau membalasnya jika ada malaikat yang menyampaikan kepada beliau. Seandainya beliau mendengar salam dari seorang muslim, hal ini tidak berkonsekuensi masuknya doa dan seruan ke dalam hadits ini.
[Dialihbahasakan dari Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta`, kumpulan fatwa Komite Tetap Urusan Riset Ilmu Syariat dan Fatwa diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah no. 4283 soal kedua].