وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“… Padahal, barangkali kalian membenci sesuatu padahal hal itu baik bagi kalian dan barangkali kalian menyukai sesuatu padahal hal itu buruk bagi kalian. Dan Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui.” [Q.S. Al-Baqarah:216].
Mayoritas kebaikan bagi manusia ada pada perkara yang mereka benci. Sebagaimana, mayoritas kemudharatan bagi mereka ada pada perkara yang mereka cintai. Hal ini, tidak lain karena keterbatasan manusia yang diciptakan secara asal ‘zhaluman jahula’, sangat zalim lagi sangat bodoh. Ya, manusia diciptakan sangat bodoh hingga terkadang tidak mengetahui mana yang bermanfaat bagi dirinya.
Seorang ayah mencekoki anaknya agar lahap makan di usia pertumbuhannya, meski si anak meronta dan menangis menolaknya. Seorang ayah juga melarang anaknya agar aman dari marabahaya meski hal itu disukai anaknya. Inilah kesempurnaan kasih sayang ayah kepada anaknya, memerintahkan apa yang anak benci dan melarangnya dari bahaya demi kemaslahatan si anak. Demikian halnya dengan Allah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya, Yang Maha Mengetahui kebaikan hamba-Nya, Yang Maha Bijaksana dalam semua aturan-Nya. Karena rahmat Allah kepada kita lah, Allah mengatur kita, memerintahkan yang wajib dan melarang yang haram. Karena, Allah menginginkan kebaikan pada diri kita.
Maka, seorang yang pandai tidak akan menyerahkan kebaikan dirinya kepada akalnya semata. Dia tahu bahwa aturan Allah pasti berisi kebaikan dan tidak mungkin berisi kebatilan. Dia pun menyerahkan dirinya kepada aturan Allah demi kemaslahatan dirinya. Dia tahu, tidak pantas dirinya menuduh Allah tidak adil dalam menetapkan hukum. Apalagi malah mengakali (baca: mengkritik dengan timbangan akal) hukum syariat. Allahu a’lam bish shawab. (Ustadz Abdurrahman)
Sumber: Al-Fawaid, karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah.